1 I Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Secara umum, ruang publik terbuka adalah area yang mendukung kebutuhan manusia untuk berkumpul dan berinteraksi dalam melakukan kegiatan bersama, menyediakan tempat-tempat yang sesuai untuk kegiatan tersebut (Made et al., 2021). Pada dasarnya, ruang publik adalah zona yang mampu menjadi tempat beragam kegiatan komunal, baik yang dilakukan secara individu maupun kolektif. Dengan terjadinya pertemuan dan hubungan antar individu, kemungkinan adanya beragam kegiatan di ruang terbuka tersebut menjadi lebih besar (Budihardjo & Sujarto, 2009). Ruang ini memiliki sifat yang dinamis dan merupakan unsur penting dalam perkembangan suatu wilayah karena berperan sebagai penyedia aksesibilitas yang optimal, membentuk jalur komunikasi antara penduduk, dan menyediakan tempat umum yang mendukung kegiatan bermain dan bersantai (Hartoyo & M.T, 2018). Ruang publik dianggap sebagai fasilitas atau tempat di mana kehidupan komunal suatu daerah terjadi. Tempat-tempat ini dapat berupa jalan, taman, plaza, atau alun-alun yang berfungsi sebagai wadah untuk menampung pergerakan dan aliran manusia. (Carr, 1992). Salah satu indikasi dari karakter ruang publik kota adalah adanya aktivitas di area luar ruang (Gehl, 1987). Dengan asumsi bahwa tindakan manusia tidak sembarangan, individu memiliki kecenderungan rasional untuk menyukai kegiatan luar ruang yang berkualitas tinggi. Lebih lanjut, kualitas ini dapat diartikan berdasarkan komponen-komponen yang membuat ruang publik berhasil, yaitu tingkat kenyamanan, citra atau persepsi positif, aksesibilitas, konektivitas, dan tingkat pemanfaatan serta interaksi sosial (Carmona, 2010). Ruang yang sukses memiliki beragam aktivitas sosial yang tinggi dalam intensitas yang berbeda-beda dan setidaknya penggunanya memiliki kontak mata (Gehl, 1987). Ada hubungan langsung antara kegiatan yang diperlukan, opsional dan sosial dengan kualitas area luar ruangan. Artinya, ketika kualitas area luar ruangan baik, aktivitas opsional akan semakin sering dilakukan. Selain itu, ketika tingkat aktivitas opsional meningkat, jumlah aktivitas sosial biasanya meningkat secara substansial (Gehl, 1987). Di kawasan yang sukses, spektrum aktivitas sosial dan 2 opsional lebih dapat diprediksi. Pengulangan penggunaan dan lamanya tinggal di ruang mempunyai hubungan langsung dengan keberhasilan ruang. Peningkatan waktu tinggal dan pengulangan penggunaan ruang mempengaruhi frekuensi pertemuan dan berbicara serta berakibat pada peningkatan aktivitas sosial. Terakhir, seperti yang dijelaskan Montgomery, perkotaan yang sukses harus memadukan kualitas dalam tiga elemen penting: ruang fisik, pengalaman indrawi, dan aktivitas (Montgomery, 1998). Keberadaan ruang terbuka publik di lingkungan perkotaan sangat penting karena potensinya untuk meningkatkan kualitas hidup penduduk secara keseluruhan, yang mencakup kelestarian lingkungan, kesejahteraan masyarakat, dan perencanaan kota. Hal ini dapat dicapai dengan memanfaatkan area-area ini, yang menawarkan banyak keuntungan termasuk fasilitas rekreasi, ruang terbuka hijau, dan fasilitas olahraga. Ketika merancang ruang publik untuk lingkungan perkotaan, sangat penting untuk mempertimbangkan banyak faktor yang mempengaruhi. Selain itu, pemahaman karakteristik penggunaan ruang yang responsif terhadap kebutuhan pengguna juga menjadi penting sebagai ciri khas dari suatu ruang publik. Kehadiran ruang publik di kota-kota besar, termasuk di Palembang, memiliki peran yang sangat penting bagi masyarakat. Ruang terbuka publik sangat penting di Palembang karena beberapa alasan berikut: sebagai tujuan wisata yang terjangkau, untuk memfasilitasi interaksi antar warga, dan sebagai aset estetika dan pendidikan. Salah satu contoh ruang publik yang terletak di pusat Kota Palembang adalah kawasan Benteng Kuto Besak (BKB), yang terletak di pinggir Sungai Musi. Kawasan Benteng Kuto Besak (BKB) di Kota Palembang merupakan salah satu kawasan yang memiliki nilai historis yang tinggi. Kawasan ini menyajikan daya tarik wisata melalui bangunan bersejarah, infrastruktur fisik, dan artefak peninggalan bersejarah. Keberadaan plaza BKB turut mendukung sebagai ruang terbuka publik (RTP) yang di fungsikan untuk tempat berkumpul dan pelaksanaan berbagai kegiatan wisata di kawasan tersebut. Transformasi berbagai destinasi wisata di kawasan BKB menjadi landmark sejarah atau budaya di Palembang telah dijelaskan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Palembang (2014). Benteng Kuto Besak, Museum Sultan Mahmud Badaruddin II, Monumen Perjuangan 3 Rakyat, Masjid Agung Palembang, dan Kantor Walikota Palembang adalah beberapa di antaranya. Kawasan BKB juga memiliki lokasi strategis, berbatasan dengan Sungai Musi di selatan dan menghadap Jembatan Ampera, landmark Kota Palembang. Bangunan peninggalan sejarah di kawasan BKB dibangun pada abad ke-18 dan berfungsi sebagai pusat administrasi Kesultanan Palembang Darussalam. Pembangunan benteng ini dimulai pada tahun 1780 di bawah arahan Sultan Mahmud Badaruddin I, yang berkuasa dari tahun 1724 hingga 1558. Penyelesaian pembangunannya dilakukan di bawah kepemimpinan Sultan Mahmud Bahauddin, penggantinya dari tahun 1776 hingga 1803. Pemerintah Kota Palembang kemudian merapihkan area pelataran di depan Benteng Kuto Besak, menjadikannya sebuah plaza atau alun-alun yang dapat digunakan oleh wisatawan untuk berbagai aktivitas sedangkan bagian dalam merupakan markas Komando Daerah Militer (Kodam) Sriwijaya. Kawasan BKB telah diidentifikasi sebagai kawasan pariwisata bersejarah sesuai RTRW Kota Palembang 2012-2032. Sebagai warisan sejarah dengan nilai tinggi, BKB mendukung deklarasi Palembang sebagai Kota Pusaka sejak 2012. Menurut Rencana Aksi Kota Pusaka (RAKP) Palembang tahun 2012, warisan sejarah sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia dan perencanaan. Peraturan Walikota Palembang No. 48/2015 menetapkan Pasar 16 Ilir, Pasar Sekanak, dan Kuto Besak sebagai bagian dari kawasan cagar budaya BKB. Oleh karena itu, penataan kawasan wisata dan cagar budaya diperlukan untuk meningkatkan kualitas kunjungan. Pada tahun 2008, Kota Palembang mulai dikembangkan sebagai kota tepian air melalui inisiatif "Visit Musi 2008" yang menata Kawasan BKB. Revitalisasi kawasan BKB terdiri dari pelestarian bangunan bersejarah, perbaikan lingkungan, dan perluasan alun-alun. Berfungsi sebagai sempadan sungai, lokasi kegiatan masyarakat, tempat berkumpul, dan ruang terbuka publik dengan pemandangan Jembatan Ampera, Plaza BKB memiliki banyak fungsi. Kawasan ini semakin menarik dengan pencahayaan malam hari yang mempercantik bangunan dan ornamen. Seperti yang dibuktikan oleh pengamatan di area studi, vandalisme dan pengelupasan cat terus menjangkiti bangunan-bangunan bersejarah. Plaza BKB 4 sebagai ruang terbuka publik dianggap kurang menarik pengunjung pada hari biasa atau saat libur tanpa acara tertentu. Namun, kawasan ini ramai saat ada acara rutin dalam Kalender Event tahunan, seperti Festival Sriwijaya. Kurangnya pohon peneduh membuat kawasan BKB sangat panas dan tidak nyaman pada siang hari, sementara kondisi jalur pejalan kaki tidak mendukung karena jalan rusak atau terhalang kegiatan perdagangan. Lokasi parkir yang jauh juga memaksa pengunjung berjalan cukup jauh untuk mencapai kawasan BKB. Banyaknya pengamen sering mengganggu kenyamanan pengunjung. Meskipun penerapan zona bebas kendaraan di depan BKB untuk meningkatkan kenyamanan pejalan kaki, pengalihan arus lalu lintas memperparah kemacetan yang sudah ada dan menambah titik-titik kemacetan baru. Dengan mengalihkan arus lalu lintas ke plaza atau area utama BKB, arus dua arah di Jalan Merdeka dikurangi menjadi jalur satu arah yang lebih sempit di Jalan dr. AK Gani, yang bersebelahan dengan Kantor Pos Pusat. Kondisi ini menciptakan ketidaknyamanan bagi wisatawan, ditambah dengan penataan parkir di Jalan dr. AK Gani yang mempersempit ruang lalu lintas kendaraan. Hingga kini, pemerintah terus membenahi Kawasan BKB untuk menjadikannya tujuan wisata yang kaya akan sejarah dan budaya. Upaya yang telah dilakukan meliputi pengaturan lalu lintas bebas kendaraan di depan BKB, Pemeliharaan bangunan bersejarah, penertiban pedagang kaki lima (PKL), penataan taman Monpera dan kawasan di bawah Jembatan Ampera, penyediaan fasilitas pendukung, dan restorasi serta penambahan street furniture di alun-alun BKB. Tujuan tersebut di atas dimanifestasikan dalam program Palembang EMAS 2018, yang bertujuan untuk meningkatkan status Palembang sebagai kota metropolitan yang makmur dan beradab dalam skala internasional (Pemerintah Kota Palembang, 2013). Hal ini menunjukkan bahwa Kawasan BKB dianggap sebagai area wisata yang terus diperbarui, sejalan dengan upaya penataan kawasan wisata tepian Sungai Musi dan manajemen objek wisata oleh Pemerintah Kota Palembang. Citra pariwisata Kota Palembang yang dikenal dengan "Sungai Musi yang penuh misteri dan Tanah Sriwijaya" semakin mempertegas arti penting Kawasan BKB sebagai Kawasan Pengembangan Pariwisata Nasional (KPPN) dan Destinasi 5 Pariwisata Nasional (DPN) Palembang-Babel, sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional. Melestarikan dan menjaga benda-benda cagar budaya merupakan hambatan utama bagi pertumbuhan pariwisata sejarah dan budaya, sehingga pelestarian cagar budaya menjadi komponen penting dalam upaya pengembangan pariwisata sektor ini. (Lussetyowati, 2015). Upaya pelestarian perlu disokong oleh regulasi perlindungan cagar budaya, terutama menghadapi pertumbuhan ekonomi perkotaan. Dalam konteks ini, Pemerintah Kota Palembang telah menginisiasi Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Pelestarian Lingkungan Cagar Budaya untuk memastikan bahwa perkembangan pariwisata di Kawasan BKB tidak merusak bangunan-bangunan bersejarah. Kawasan ini sudah terdapat ruang terbuka namun kurangnya pendefinisian fungsi ruang terbuka publik itu sendiri seperti kurangnya kegiatan-kegiatan yang mendukung dan belum maksimalnya infrastruktur dan fasilitas pada ruang terbuka yang ada. Selain itu, kawasan ini ditandai dengan penampilan yang kurang menarik sehingga masyarakat kurang tertarik untuk datang. Oleh karena itu, perlu ada sebuah penelitian guna mengukur keberhasilan ruang terbuka publik (RTP) dengan menggunakan pendekatan tindakan petanaan berbasis cagar budaya untuk mengembalikan identitas kawasan. Pasal 7 Ayat 6 dari Rencana Pembangunan Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Palembang mengamanatkan penyertaan kawasan Sungai Musi dalam upaya untuk mengembangkannya menjadi tujuan pariwisata yang sedang berkembang dan meningkatkan status kota sebagai pusat perdagangan dan jasa internasional. Karena kontribusi yang signifikan dari area ini terhadap perluasan kotamadya, tahap awal yang harus dilakukan adalah menilai keefektifan inisiatif ruang terbuka publik dan upaya untuk merevitalisasi dan menata ruang tersebut. Hal ini dapat dicapai dengan meningkatkan karakter lingkungan dan bangunan, yang akan mendukung kegiatan ekonomi, sosial, dan budaya di kawasan ini. Dengan memanfaatkan potensi yang ada, kegiatan perencanaan kawasan berkontribusi pada pembentukan identitas yang berbeda untuk wilayah tersebut, yang 6 memungkinkannya untuk mencerminkan kekayaan budayanya dan menumbuhkan rasa cinta dan kebanggaan terhadap Kota Palembang. I.2 Rumusan Persoalan Penelitian Penataan ruang terbuka publik merupakan elemen kunci dalam mendukung keberhasilan kawasan cagar budaya. Namun, optimasi ini memerlukan perhatian khusus terhadap aspek-aspek yang unik dari warisan budaya yang ada di kawasan tersebut. Oleh karena itu, rumusan persoalan muncul mengenai bagaimana penataan ruang terbuka publik dapat dioptimalkan untuk secara efektif dan sensitif mendukung keberlanjutan dan pelestarian kawasan cagar budaya. Selain itu, diperlukan pengembangan alat ukur yang lebih spesifik guna membantu mengidentifikasi dan mengevaluasi kualitas kinerja ruang terbuka publik, yang dapat merespons keunikan dan kompleksitas cagar budaya. Penataan ruang terbuka publik dapat disusun untuk mencapai tujuan tersebut dengan mempertimbangkan aspek-aspek khusus dari cagar budaya yang bersangkutan. Namun untuk mencapai tujuan tersebut ada beberapa persoalan yang ada di wilayah studi seperti: a. Persoalan Pada Wilayah Studi Kondisi RTP di kawasan BKB memperlihatkan adanya persoalan-persoalan yang menyangkut penataan ruang terbuka publik. Berikut ini beberapa persoalan yang ditemui pada kawasan BKB. 1. Persoalan Fisik Lingkungan • Kondisi RTP kawasan BKB masih terbilang kering gersang karena kurangnya vegetasi. Akibatnya terjadi peningkatan suhu lokal dan masyarakat merasa tidak nyaman berada di RTP tersebut. • Lokasi parkir yang jauh sehingga menyulitkan pengunjung untuk datang. • Dibeberapa titik tidak terdapat pakir yang tertata sehingga mengakibatkan terjadinya parkir liar. 7 • Akses menuju ke RTP biasanya terhalangi dengan adaya kemacetan di daerah sekitar. • Jalur pejalan kaki yang tidak baik dikarenakan jalanan rusak. • Sungai Musi tercemar oleh buangan industri, sampah plastik, dan limbah dari berbagai kegiatan masyarakat. • kurangnya adanya kegiatan yang mendukung keberadaan RTP. • Masih banyak premanisme disekitar kawasan. 2. Persoalan Ekonomi • Terdapat kegiatan ekonomi informal seperti PKL dan lainnya yang berada di sekitar RTP yang mengganggu kenyamanan pengunjung. • Tidak semua pedagang merasakan manfaat dari RTP terhadap pendapatan. 3. Persoalan Sarana-Prasarana • Untuk menuju konsep RTP masih banyak belum tersedianya elemen utama dan elemen pendukung seperti toilet, tempat parkir, bangku taman, penandaan, pusat informasi maupun fasilitas lainnya. b. Persoalan Penelitian Penting untuk mencatat bahwa selama ini pengukuran kualitas ruang terbuka publik belum sepenuhnya memperhatikan konteks cagar budaya. Umumnya, pengukuran tersebut hanya mempertimbangkan aspek-aspek umum ruang terbuka publik tanpa memperhatikan kekhasan dan untuk mengelola ruang terbuka publik secara efektif di kawasan BKB, sangat penting untuk melakukan penelitian yang mempertimbangkan kualitas kinerja ruang-ruang tersebut dalam kerangka kawasan cagar budaya. Namun, tantangan yang dihadapi adalah bahwa alat ukur yang tersedia saat ini belum cukup spesifik untuk mencakup aspek-aspek khusus yang terkait dengan kawasan cagar budaya.