1 Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Dibandingkan sedimen laut, sedimen danau terbentuk pada suatu sistem tertutup dan memiliki laju pengendapan yang relatif tinggi (Li dkk., 2006). Hal ini menyebabkan sedimen danau merupakan sampel yang sangat baik untuk menyimpan informasi mengenai sejarah perubahan iklim dan lingkungan di masa lalu (Vigliotti dkk., 2014). Salah satu pembawa informasi tersebut adalah mineral magnetik. Keberadaan mineral magnetik pada sedimen danau yang terletak pada suatu daerah dipengaruhi oleh jenis batuan yang berada di sekitar danau tersebut. Daerah yang berbatuan beku, misalnya batuan basal memiliki nilai suseptibilitas yang relatif lebih tinggi daripada daerah yang berbatuan sedimen, seperti batu gamping (Lu dkk., 2012; Hunt dkk., 1995). Hal ini disebabkan oleh batuan basal memiliki kandungan besi (Fe) yang lebih tinggi daripada batu gamping (Pellant, 1992). Danau Towuti dengan luas 561 km 2 dan kedalaman 203 m merupakan salah satu danau dari Malili Lake System (MLS), Sulawesi Selatan, Indonesia (Gambar I.1). Sistem ini terdiri dari lima danau, dimana 3 diantaranya merupakan danau besar (Danau Matano, Danau Mahalona, dan Danau Towuti) yang saling terhubung oleh Sungai Mahalona, dan dua danau kecil (Danau Lontoa dan Danau Masapi). Walaupun Danau Matano, Danau Mahalona, dan Danau Towuti saling terhubung tetapi terdapat kemungkinan bahwa tidak semua material sedimen yang berada pada Danau Matano terbawa hingga ke Danau Towuti. Hal ini dikarenakan perbedaan keadaan fisik dari danau-danau tersebut seperti kedalaman danau, luas area, dan laju aliran. Sedimen Danau Towuti memiliki karakteristik magnetik yang cukup menarik karena daerah tersebut memiliki batuan dasar ultramafik (Costa dkk., 2015). Proses pelapukan dari batuan ultramafik menghasilkan tanah laterit (Moon dkk., 2006) yang memiliki kandungan Fe yang relatif tinggi (Crowe dkk., 2008) sehingga meningkatkan nilai suseptibilitas yang tinggi (Zhang dkk., 2011). Tanah laterit yang memiliki kandungan Fe yang tinggi kemudian masuk ke dalam Danau Towuti dengan bantuan sungai-sungai yang berada di sekeliling danau. 2 Gambar I.1 Peta geologi daerah penelitian di sekitar Danau Matano, Danau Mahalona, dan Danau Towuti. Satuan batuan dari peta geologi diambil dari Costa dkk. (2015). Pada tahun 2010, telah dilakukan pengambilan sampel sebanyak 10 core dengan kedalaman rata-rata 10 m melalui Indonesian Deep Lake Expedition (IDLE). Core sedimen ini telah menghasilkan beberapa publikasi ilmiah diantaranya Tamuntuan dkk. (2015) yang menyatakan bahwa berdasarkan nilai suseptibilitas magnetik, Danau Towuti dapat dibagi menjadi tiga zona (Gambar I.2). Zona 1 pada kedalaman 11.43 hingga 7.26 m dengan suseptibilitas rendah (182±44 × 10 -6 satuan internasional (SI)). Zona 2 pada kedalaman 7.25 hingga 2.81 m dengan suseptibilitas tinggi (588±126 × 10 -6 SI). Terakhir, Zona 3 pada kedalaman 2.81 hingga top dengan suseptibilitas menengah (229.12±74.81 × 10 -6 SI). Hal tersebut berhubungan dengan perubahan iklim atau keadaan di sekitar Danau Towuti. Tingginya nilai suseptibilitas umumnya berasosiasi dengan tingginya influx pada daerah penelitian, dengan kata lain terjadi pada musim penghujan. Namun, berdasarkan penelitian Russel dkk. (2014) dinyatakan bahwa pada Zona 2 tersebut terjadi pada musim kering yang ditandai oleh tingginya nilai karbon isotop 13 (d 13 Cwax) dan rendahnya konsentrasi titanium (Ti), sehingga pada zona tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh banyaknya influx yang terjadi tetapi juga oleh proses 3 lainnya pada danau. Proses tersebut antara lain tingginya precipitation atau dissolution yang terjadi pada mineral magnetik yang terdapat di Danau Towuti. Walaupun demikian sedimen tersebut dapat merekam intensitas relatif dari medan magnetik Bumi dengan cukup baik (Kirana dkk., 2018). Gambar I.2 Perbandingan antara parameter magnetik (suseptibilitas magnetik (a) dan saturation isothermal remanent magnetization, SIRM (b)) dengan proxy paleoklimat (konsentrasi Ti (c) dan d 13 Cwax (d)) dari penelitian Russell dkk., 2014 (Tamuntuan dkk., 2015). Tahun 2015 yang lalu, telah dilakukan pengemboran sedimen Danau Towuti pada 3 site yang berbeda. Penulis, turut serta dalam pengambilan sampel sedimen dengan panjang setiap core sekitar 150 m tersebut. Pengambilan sampel ini dikenal dengan Towuti Drilling Project (TDP) yang melibatkan puluhan peneliti yang berasal dari beberapa negara yaitu, Indonesia, Amerika, Swiss, dan Jerman. Russell dkk. (2016) telah mempublikasikan hasil yang diperoleh di scientific drilling. Selain core, pada kegiatan TDP ini juga diambil sampel sedimen permukaan Danau Towuti. Sampel tersebut diambil dengan menggunakan alat sedimen grabber pada 84 titik sampel yang tersebar di seluruh dasar danau, baik di bagian Utara maupun di bagian Selatan (Gambar I.3). Sedimen permukaan tersebut telah dimanfaatkan dalam penelitian Morlock dkk. (2019) yang menunjukkan bahwa sedimen permukaan ini dicirikan oleh konsentrasi magnesium (Mg) yang tinggi di bagian utara dan rendah di bagian 4 selatan danau (Gambar I.4). Pada Gambar I.4 juga ditunjukkan distribusi aluminium (Al), Fe, Ti, rasio mineral kaolinit/serpentinit, serta rasio unsur Al/Mg bagian utara yang relatif lebih rendah dibandingkan bagian selatan. Rasio Al/Mg dapat digunakan sebagai proxy untuk perubahan level danau, yang memberikan sinyal sedimen dominan untuk perubahan hidroklimat regional. Hasberg dkk. (2019) mengkonfirmasi tingginya konsentrasi Mg dengan melakukan analisis geokimia menghasilkan major element (Ti, kalium (K), Al, silikon (Si), Mg, kalsium (Ca), dan Mg) dan trace element (kromium (Cr) dan mangan (Mn)), dimana distribusinya dapat dilihat pada Gambar I.5. Distribusi tersebut juga menunjukkan tingginya konsentrasi Ca dalam sedimen permukaan dari bagian utara Danau Towuti. Konsentrasi tinggi Mg dan Ca dalam sedimen ini mengejutkan dalam pengaturan lingkungan Danau Towuti yang masih asli. Konsentrasi Mg dan Ca yang tinggi sering ditemukan di danau yang terkena dampak antropogenik seperti pemukiman manusia dan lahan pertanian (Potasznik dan Szymczyk, 2015).