Hasil Ringkasan
8 Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Penelitian Terdahulu Metode inversi gabungan dari data yang berbeda pertama kali dilakukan oleh beberapa peneliti seperti Vozzof dan Jup (1975), Meju (1996) dan Harinarayana (1999) dengan mengkombinasikan data resistivitas, magnetotelurik dan transient electromagnetic (TEM) dalam prosedur inversi gabungan. Data-data yang digunakan tersebut sensitive pada model resistivitas yang sama. Kis (2002) melakukan studi inversi gabungan dari data seismik dan resistivitas. Dalam kasus ini batas pelapisan litologi bawah permukaan diasumsikan sama untuk metode geolistrik dan seismik, sehingga dapat dilakukan inversi gabungan dengan parameter umumnya merupakan ketebalan lapisan. Studi inversi gabungan dalam kasus air tanah sudah banyak dilakukan, salah satunya oleh Santos dkk (2006) dan Sultan dkk (2009) mengkombinasikan data graviatsi dan geolistrik dengan metode inversi gabungan sehingga diperoleh parameter densitas dan resistivitas bawah permukaan dalam menentukan kedalaman zona akuifer dan delineasi struktur. Ansari dkk (2021) menggunakan inversi gabungan data gravitasi dan geolistrik dengan partial differential equation (PDE) untuk menyelesaikan kendala inversi under-determined. Pendekatan ini berdasarkan hubungan antara parameter densitas dan resistivitas dari sedimen melalui porositas. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa inversi gabungan lebih akurat daripada interpretasi individual pada masing- masing metode dan mampu meningkatkan kesesuaian dengan geologi di lapangan secara signifikan dengan mengurangi tingkat ambiguitas respon model. Inversi gabungan data gravitasi dan geolistrik telah terbukti mampu dalam delineasi zona akuifer. Nugraha dkk. (2023) melakukan pengukuran ERT (Electrical Resistvity Tomography) dan seismic refraksi di Cikole-Lembang untuk menganalisis hidrostratigrafi zona resapan air tanah. Penelitian tersebut dilakukan ketika musim hujan. Berdasarkan penelitian tersebut, area penelitian diklasifikasikan kedalam tiga jenis lapisan batuan, yaitu Tangkubanparahu Pyroclastic Fall 2 (Tjp 2) yang berasosiasi dengan zona resistivitas rendah dan medium dan kecepatan medium; Tangkubanparahu lava (TI) yang berasosiasi dengan resistivitas tinggi dan kecepatam tinggi; dan Tangkubanparahu Fall 1 (Tjp 1) yang berasoisiasi dengan resistivitas medium dan kecepatannya yang tidak dapat diketahui karena batasan kedalaman investigasi pada seismic refraksi. Penulis memperkirakan bahwa lapisan Tjp 2 merupakan unconfined aquifer yang berada pada lapisan Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian 9 paling atas, sedangkan Tjp 1 merupakan confined aquifer, karena berada dibawah lapisan unpermeable yaitu lapisan TI. Akuifer Tjp 2 memiliki ketebalan sekitar 70 meter dan menipis ke arah barat menjadi sekitar 30 meter. Hasil dari penelitian ini menunjukkan adanya pelapisan air tanah di area Lembang. II.2 Dasar Teori II.2.1 Sistem Air Tanah Gambar II.1 Model konseptual sistem air tanah (Alley dkk, 1999) Sumber alami air tanah diantaranya berasal dari area resapan hasil curah hujan yang meresap melalui zona tak jenuh (unsaturated) menuju water table, serta berasal dari air sungai dan air permukaan lainnya seperti danau dan tanah basah. Bagian atas dari pelapisan air tanah disebut sebagai water table, yang umumnya berada di bawah permukaan tanah. Permukaan dari water table ini dapat berfluktuasi secara musiman dan dari tahun ke tahun sebagai respons terhadap perubahan resapan curah hujan. Dalam skala regional, konfigurasi permukaan water table umumnya mengikuti topografi permukaan tanah.