9 Bab II Tinjauan Pustaka Pada bab ini, akan dijelaskan studi literatur mengenai Pembangunan Berkelanjutan, Bangunan Hijau, kebijakan Bangunan Hijau, serta kerangka teori yang menjadi landasan penelitian ini. II.1 Pembangunan Berkelanjutan Peningkatan penggunaan energi global telah terjadi sejak revolusi industri, sejalan dengan peningkatan taraf hidup. Kesadaran akan masalah lingkungan juga semakin meningkat, terutama seiring dengan dampak negatif yang ditimbulkan oleh bahan bakar fosil terhadap lingkungan (Bhowmik et al., 2017). Konsep pembangunan yang berkelanjutan muncul sebagai respons terhadap krisis energi, terutama yang berkaitan dengan kepedulian terhadap polusi lingkungan pada tahun 1970-an (Mao, Lu and Li, 2009). Ditambah dengan dorongan untuk mengurangi ketergantungan pada impor bahan bakar fosil dan perkembangan sumber energi hijau pada banyak negara, terutama yang sedang berkembang, sehingga dapat beralih ke sumber energi ramah lingkungan yang dapat menggantikan sumber energi konvensional (Bhowmik et al., 2017). Konsep keberlanjutan telah berkembang pesat sejak diperkenalkan oleh the World Commission on Environment and Development dalam publikasinya tahun 1987 berjudul "Our Common Future," pertama kali mendefinisikan Pembangunan Berkelanjutan sebagai “pembangunan yang memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan generasi masa depan” (Lemaitre, 2017). Istilah pembangunan berkelanjutan dapat dijelaskan sebagai peningkatan kualitas hidup, yang bertujuan memungkinkan hidup dalam lingkungan yang sehat serta meningkatkan kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan bagi generasi saat ini dan masa depan. Bangunan ini dirancang dan dibangun bertujuan untuk menggunakan energi dan sumber daya lebih sedikit dibandingkan bangunan konvensional serta meminimalkan dampaknya terhadap lingkungan (Hwang and Tan, 2012). II.1.1 Tujuan Sustainable Development Goals/SDGs Tantangan perkotaan cenderung terus meningkat meingingat area perkotaan semakin berkembang, dengan mempertimbangkan kebutuhan yang semakin 10 meningkat untuk energi, makanan, dan barang-barang komoditas lainnya. Oleh karena itu, adanya kebutuhan mendesak untuk desain bangunan yang dapat mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) (Scrucca et al., 2023). Pada bulan September 2015 ditandatangani kesepakatan politik tentang keberlanjutan global di masa depan. Agenda 2030 menetapkan kerangka kerja yang telah diakui dan diadopsi oleh sebagian besar negara di seluruh dunia. Kerangka kerja ini mencakup 17 SDGs yang menyediakan kerangka kerja komprehensif yang jelas menuju pencapaian keberlanjutan global untuk dekade mendatang. Kegiatan industri konstruksi sangat terkait dengan pencapaian SDGs, mengingat bahwa sektor ini telah berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi, namun sektor ini mengonsumsi sumber daya yang cukup besar dan menyebabkan permasalahan lingkungan (Wen et al., 2020). Tabel II. 1 Deskripsi umum dari 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/17 SDGs SDGs Deskripsi singkat tentang goals Tujuan dari goals SDG 1 Tidak Ada Kemiskinan Mengakhiri kemiskinan ekstrim untuk semua orang di seluruh dunia pada tahun 2030 SDG 2 Tidak Ada Kelaparan Mencapai keamanan pangan, meningkatkan gizi, dan mempromosikan pertanian berkelanjutan. SDG 3 Kesehatan dan Kesejahteraan Memastikan kehidupan yang sehat dan meningkatkan kesejahteraan untuk semua usia. SDG 4 Pendidikan Berkualitas Memastikan semua orang mendapatkan pendidikan yang inklusif, setara, dan berkualitas serta kesempatan belajar sepanjang hayat. SDG 5 Kesetaraan Gender Mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan SDG 6 Air Bersih dan Sanitasi Memastikan ketersediaan dan pengelolaan air bersih dan sanitasi yang berkelanjutan SDG 7 Energi Terjangkau dan Bersih Memastikan akses terhadap energi yang terjangkau, berkelanjutan, dan modern SDG 8 Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi Mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, inklusif, dan berkesinambungan, serta pekerjaan yang produktif dan layak SDG 9 Industri, Inovasi, dan Infrastruktur Membangun infrastruktur yang tangguh, mempromosikan industrialisasi yang inklusif dan 11 berkelanjutan, serta mendorong inovasi. SDG 10 Pengurangan Ketidaksetaraan Mengurangi ketimpangan pendapatan di dalam dan antara negara SDG 11 Kota dan Komunitas Berkelanjutan Membuat kota dan pemukiman manusia yang inklusif, aman, tangguh, dan berkelanjutan. SDG 12 Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab Memastikan pola konsumsi dan produksi yang berkelanjutan SDG 13 Aksi Iklim Mengambil tindakan mendesak untuk mengatasi perubahan iklim dan dampaknya dengan mengatur emisi dan mempromosikan pengembangan energi terbarukan. SDG 14 Kehidupan di Bawah Air Melestarikan dan menggunakan laut dan sumber daya laut secara berkelanjutan untuk pembangunan berkelanjutan. SDG 15 Kehidupan di Daratan Melindungi, memulihkan, dan mempromosikan penggunaan lahan ekosistem daratan yang berkelanjutan, mengelola hutan secara berkelanjutan, melawan penggurunan, dan menghentikan serta membalikkan degradasi lahan dan kehilangan keanekaragaman hayati. SDG 16 Perdamaian, Keadilan, dan Institusi yang Kuat Mempromosikan masyarakat yang damai dan inklusif untuk pembangunan berkelanjutan, memberikan akses terhadap keadilan untuk semua, dan membangun institusi yang efektif, bertanggung jawab, dan inklusif di semua tingkat. SDG 17 Kemitraan untuk Tujuan Memperkuat sarana implementasi dan merevitalisasi kemitraan global untuk pembangunan berkelanjutan. Sumber: Wen et al., 2020 II.1.2 Definsi Bangunan Hjau dan Bangunan Berkelanjutan Gerakan konstruksi berkelanjutan membentuk ulang sektor konstruksi konvensional dalam semua aspek termasuk perencanaan, desain, konstruksi, pemeliharaan, renovasi, dekonstruksi, pembiayaan, asuransi, kebijakan, pemasaran, manajemen, dll (Mao, Lu and Li, 2009). Bangunan Hijau dibangun berdasarkan prinsip konstruksi berkelanjutan, yang mengatasi masalah lingkungan, sosial, dan ekonomi (Hwang and Tan, 2012). Penelitian Parkin menggabungkan ketiga tujuan ini dalam sebuah model tunggal dan menyebutnya sebagai 'triple bottom line' dari Pembangunan Berkelanjutan yang menyatakan, 12 pembangunan bangunan berkelanjutan tidak hanya mempertimbangkan dampak lingkungan (termasuk konsumsi energi) dari bangunan, tetapi juga mempertimbangkan dampak sosial (termasuk kesehatan dan kesejahteraan penghuni) dan dampak ekonomi (termasuk biaya siklus hidup bangunan) (Illankoon et al., 2017). Meskipun konsep Bangunan Berkelanjutan dan Bangunan Hijau sering dikaitkan dan sering disamakan, keduanya sebenarnya memiliki perbedaan. Bangunan Berkelanjutan lebih memperhatikan keberlanjutan ekonomi dan sosial daripada berkaitan dengan dampak bangunan terhadap lingkungan. Sementara menurut beberapa definisi Bangunan Hijau menekankan pada persyaratan dalam hal konservasi sumber daya, perlindungan ekologi, dan pengurangan polusi di setiap fase pembangunan (Illankoon et al., 2017). Berdasarkan definisi ini Bangunan Hijau bertujuan untuk mempromosikan implementasi bangunan yang berkelanjutan dalam siklus hidupnya dan berfokus pada peningkatan kinerja lingkungan bangunan (Wen et al., 2020). Kibert menyatakan bahwa Bangunan Hijau adalah bagian dari bangunan berkelanjutan. Kinerja energi dari Bangunan Hijau memiliki efek besar terhadap pembangunan berkelanjutan lingkungan binaan (Mao, Lu and Li, 2009). Kredit dan prasyarat yang terdapat dalam sistem rating Bangunan Hijau dapat membantu mencapai SDGs, terutama dengan cara mengurangi paparan terhadap bahan kimia berbahaya dan polusi udara, mengurangi konsumsi air dan meningkatkan efisiensi penggunaan air, serta mengurangi konsumsi energi dan mengatasi masalah lingkungan (Scrucca et al., 2023). Bangunan Hijau menekankan untuk mengurangi konsumsi energi dalam hal pemanasan, pendinginan, listrik, dan melalui penerapan sumber energi terbarukan. Dalam konteks kinerja energi yang berkelanjutan dari Bangunan Hijau, penerapan energi terbarukan dalam bangunan menjadi kriteria yang sangat penting. Sistem keberlanjutan surya secara khusus selalu menjadi faktor kunci dalam pengembangan Bangunan Hijau (Ghaffarianhoseini et al., 2013). 13 II.2 Kota Hijau Ghorab dan Shalaby (2016) mengidentifikasi tiga pendekatan untuk pengembangan kota berkelanjutan: kota hijau, eco-city, dan kota yang layak huni. Kota hijau berfokus pada pengurangan dampak kerusakan lingkungan. Eco-city berorientasi pada pengelolaan lingkungan melalui kebijakan yang mendukung keberlanjutan. Kota yang layak huni bertujuan memastikan kesejahteraan dan kenyamanan penduduknya (Astriani, Julaeni Yuhan and Bony Parulian Josaphat, 2023). Konsep Kota Hijau adalah salah satu respons terhadap pembangunan kota secara masif pada beberapa tahun terakhir. Istilah 'hijau' sering digunakan secara umum untuk merujuk pada keberlanjutan lingkungan atau konsep ramah lingkungan. Oleh karena itu, konsep kota hijau mencerminkan visi dan tujuan pembangunan perkotaan yang berkelanjutan, dengan penekanan pada isu-isu lingkungan (Brilhante and Klaas, 2018). Ide-ide awal untuk studi terkait kota hijau muncul pada tahun 2015 di Workshop Biodiversitas dan Konservasi Alam Sino-Jerman ke-8, yang diselenggarakan bersama oleh Akademi Ilmu Lingkungan China (CRAES) dan Badan Federal Jerman untuk Konservasi Alam (BfN) (Grunewald, 2018). Konsep ini merupakan upaya membantu kota menjadi lebih berkelanjutan (lebih hijau), lebih terpusat, dan lebih layak huni (Brilhante and Klaas, 2018). Perencanaan kota hijau bisa dicapai melalui aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan yang berkelanjutan. Pace et al. (2016) menyebutkan bahwa kota hijau adalah konsep multidimensional yang mencakup aspek finansial, lingkungan, dan sosial.