1 Bab I Pendahuluan Pada bab ini akan membahas mengenai latar belakang penelitian ini diangkat, rumusan masalah, tujuan dan sasaran penelitian serta ruang lingkup penelitian baik ruang lingkup materi maupun ruang lingkup wilayah. I.1 Latar Belakang Dalam dua puluh tahun terakhir, kekhawatiran akan dampak perubahan iklim telah meningkat, seiring dengan meningkatnya perhatian terhadap isu lingkungan (Mustaffa, Mat Isa and Che Ibrahim, 2021). Pada tahun 2018, Indonesia menjadi salah satu dari sepuluh negara terbesar di dunia dalam hal pengahasil emisi karbon. Salah satu asal emisi karbon di Indonesia berasal sektor kehutanan, baik melalui kebakaran hutan atau perubahan fungsi lahan (Safitra and Suheri, 2022). Sebagian besar penggunaan energi di Indonesia berada pada rumah tangga yang didominasi oleh penggunaan fasilitas bangunan, seperti konsumsi energi yang mencapai 62% (Asian Development Bank, 2020). Tantangan ini akan semakin meningkat, terutama mengingat perkiraan yang mengkhawatirkan bahwa pada tahun 2050, 66% dari populasi dunia akan tinggal di perkotaan (Scrucca et al., 2023). Menurut International Energy Agency (IEA) menunjukkan bahwa bangunan bertanggung jawab atas 36% dari konsumsi energi global dan sekitar 38%‐50% emisi gas rumah kaca (Wu et al., 2019). Selain itu, bangunan bertanggung jawab 12% dari total konsumsi air tawar global, 30% dari konsumsi bahan baku global, serta menghasilkan hampir 20% limbah air dan 45-65% sampah pembuangan global (Scrucca et al., 2023). Dampak dari hal ini adalah munculnya tantangan signifikan terhadap lingkungan, seperti polusi udara dan air, yang berasal dari penggunaan bahan beracun dan proses berbahaya lainnya (Illankoon et al., 2017; Nduka, 2015). Hal ini berkontribusi besar terhadap perubahan iklim, kesehatan dan kesejahteraan manusia, bencana alam seperti kekeringan parah, kelangkaan air, dan banjir, serta kualitas seluruh ekosistem, baik secara lokal maupun global (Wu et al., 2019). 2 Bangunan Hijau merupakan praktik konstruksi yang bertanggung jawab terhadap penggunaan sumber daya yang efisisen sepanjang siklus hidupnya, mulai dari desain, konstruksi, operasional, pemeliharaan, dan pembongkaran. Pada proses desain dan konstruksi berlangsung, Bangunan Hijau menggunakan bahan daur ulang, mengurangi penggunaan air dan energi, serta menerapkan teknik efisiensi sumber daya. Bangunan Hijau juga mengadopsi desain yang sensitif terhadap air, mengurangi kerentanan terhadap banjir, dan mengurangi pelepasan zat pencemar ke dalam air, udara, dan tanah, sehingga meminimalisir dampak negatif terhadap lingkungan (Olubunmi, Xia and Skitmore, 2016). Berdasarkan hasil penelitian juga menegaskan bahwa peningkatan adopsi Bangunan Hijau dapat mengurangi emisi karbon dioksida (CO2) hingga 35%, mengurangi penggunaan energi total sebesar 30‐50%, menghemat limbah hingga 70%, serta mengurangi penggunaan air sebesar 40% (Wong et al., 2013). Penggunaan Bangunan Hijau memiliki potensi terbesar mengurangi emisi gas dibandingkan dengan sektor-sektor penghasil emisi utama lainnya. Melalui langkah-langkah seperti efisiensi energi, perubahan bahan bakar, dan penggunaan energi terbarukan dapat menghemat emisi karbon hingga 84 gigaton pada tahun 2050 (Mustaffa, Mat Isa and Che Ibrahim, 2021). Meskipun membangun Bangunan Hijau memerlukan investasi awal lebih besar, manfaatnya mencakup penghematan sepanjang masa pakai bangunan, serta memberikan dampak positif pada ekosistem, kesehatan, dan masyarakat sekitar (Say, 2008). Konsep Bangunan Hijau dipandang sebagai metode untuk mengurangi dampak lingkungan dari pembangunan dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, kualitas lingkungan, dan keadilan sosial (Ade and Rehm, 2020). Untuk mendukung perancangan Bangunan Hijau, beberapa sistem evaluasi Bangunan Hijau telah dibentuk, masing-masing menitikberatkan berbagai aspek lingkungan seperti material, energi, dan air. Contoh-contoh sistem tersebut termasuk Leadership in Energy and Environmental Design (LEED), UK Building Research Environmental Assessment Method (BREEAM), Green Mark, Green Star, dan Hongkong Building Environmental Assessment Method (HK-BEAM) (Fan, Chan and Chau, 2018). Di banyak negara maju, pemerintah telah mengesahkan undang-undang yang mewajibkan langkah-langkah Bangunan 3 Hijau. Contohnya, Direktif Kinerja Energi Bangunan (Energy Performance of Buildings Directive/EPBD) di Uni Eropa mewajibkan bangunan untuk memenuhi standar kinerja energi minimal dan mendapatkan sertifikasi energi sejak tahun 2006. Di Amerika Serikat, legislasi Bangunan Hijau mengharuskan memenuhi standar LEED dalam konstruksi. Singapura juga menerapkan Peraturan Pengendalian Bangunan pada tahun 2008, yang meminta semua bangunan baru dan renovasi memenuhi standar keberlanjutan lingkungan. Akibatnya, semakin banyak pengembang, baik pemerintah maupun swasta, beralih ke pemBangunan Hijau dan berkelanjutan karena tekanan regulasi pemerintah (Hwang and Tan, 2012). Keterjangkauan pada konstruksi hijau merupakan tantangan signifikan, pemberian insentif menjadi salah satu faktor penting dalam meningkatkan keterjangkauan dalam mendorong konstruksi hijau (Fan, Chan and Chau, 2018). Untuk mendorong pembangunan berkelanjutan di sektor konstruksi, dalam beberapa tahun terakhir, banyak pemerintah yang telah menerapkan insentif Bangunan Hijau untuk mengatasi rintangan dan mendorong adopsi Bangunan Hijau (Fan and Hui, 2020). Tujuan dari insentif untuk memberikan motivasi kepada para pemangku kepentingan dalam industri konstruksi, seperti desainer, kontraktor, konsultan, dan pengembang swasta, agar mereka terlibat dalam proyek-proyek Bangunan Hijau. Selain itu, upaya ini juga dilakukan untuk meningkatkan ketertarikan masyarakat terhadap proyek-proyek Bangunan Hijau (Saka, Olanipekun and Omotayo, 2021a). Sejumlah negara, termasuk Amerika Serikat, Hong Kong, Singapura, Malaysia, dan India, telah sukses menerapkan insentif untuk mendorong pengembangan Bangunan Hijau. Beberapa model insentif yang efektif meliputi bonus kepadatan, pajak properti, pinjaman dengan bunga rendah, subsidi, dan diskon (Basten et al., 2018; Wu et al., 2019). Dalam upaya mendorong pembangunan Bangunan Hijau di Indonesia, pemerintah memberikan regulasi terkait kompensasi kepada para pemangku kepentingan yang terlibat dalam proyek Bangunan Hijau, dengan pemberian insentif baik berupa insentif fiskal maupun insentif struktural (Safitra and Suheri, 2022). Pemerintah melalui Permen PUPR No.2 Tahun 2015 menguraikan kriteria yang harus dipenuhi oleh sebuah bangunan agar dapat disebut sebagai Bangunan Gedung 4 Hijau (BGH) (PUPR, 2015). Pusat Penelitian dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman Kementerian PUPR (PUSKIM), berkontribusi dengan menyediakan "Sistem Rating BGH," yang mencakup fase perencanaan, konstruksi, dan penggunaan. Sistem ini dilengkapi dengan indikator-indikator penilaian dan perangkat lunak berbasis excel untuk memudahkan proses penilaian (Puslitbang, 2015). Tahap awal dalam perencanaan kompensasi untuk Bangunan Hijau adalah dengan mengidentifikasi tantangan implementasi Bangunan Hijau, beberapa penelitian telah membahas tantangan adopsi Bangunan Hijau pada berbagai negara dan di Indonesia. Setelah itu, para pemangku kepentingan dapat meningkatkan pemahaman tentang bentuk, skema dan mekanisme pemberian insentif. Meskipun demikian, sangat sedikit studi yang secara eksplisit mengidentifikasi tantangan implementasi Bangunan Hijau serta bentuk insentif yang diberikan. Karena itu, banyak pemangku kepentingan mengalami kesulitan dalam memahami operasi pemberian insentif yang telah diterapkan oleh berbagai negara (Saka, Olanipekun and Omotayo, 2021). Oleh karena itu, studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor yang menjadi tantangan dalam implemntasi Bangunan Hijau dan prioritas alternatif bentuk insentif yang digunakan untuk mendorong keberlanjutan di sektor konstruksi di DKI Jakarta.