87 Bab IV Hasil dan Pembahasan IV.1 Analisis Data Eksisting Setiap provinsi di Kalimantan memiliki kondisi yang berbeda-beda. Pada tahun 2020 Provinsi Kalimantan Barat memiliki jumlah penduduk terbanyak, kemudian secara berurutan Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan jumlah penduduk paling sedikit berada di Provinsi Kalimantan Utara. Sedangkan jumlah industri dan sektor sosial terbanyak berada di Provinsi Kalimantan Selatan. Meskipun Provinsi Kalimantan Timur menempati urutan ketiga terkait jumlah penduduknya, namun menempati jumlah pemakaian listrik tertinggi dibanding provinsi lainnya. Adapun jumlah pemakaian listrik di Provinsi Kalimantan Timur didominasi oleh sektor rumah tangga, industri, dan sosial. Provinsi Kalimantan Tengah memiliki rasio elektrifikasi terendah, dibanding empat provinsi lain di Kalimantan, yaitu sebesar 86,82% pada tahun eksisting 2020. Gambar IV. 1 Kebutuhan v.s. suplai listrik di lima Provinsi di Kalimantan pada tahun 2020 88 Pembangkit listrik yang ada di setiap provinsi di Kalimantan pun berbeda-beda. Di provinsi Kalimantan Selatan terdapat PLTU berdaya besar yang mendominasi sumber listrik di wilayah Kalimantan secara keseluruhan. Daya listrik total yang dihasilkan dari sektor pembangkit di Kalimantan Selatan tersebut kemudian masuk ke jaringan listrik, lalu dialirkan ke provinsi lain di Kalimantan. Adapun perbandingan antara suplai listrik terhadap kebutuhan listrik di kelima provinsi di Kalimantan pada tahun 2020 ditampilkan pada Gambar IV.1. Berdasarkan hasil analisis, jumlah listrik yang dibangkitkan oleh pembangkit di Provinsi Kalimantan Barat sebesar 234 GWh, yang didominasi oleh PLTD sebesar 72%. PLTD juga merupakan jenis pembangkit yang mendominasi suplai listrik di Provinsi Kalimantan Tengah dengan jumlah hampir 50 GWh. Berbeda dengan Provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, jumlah listrik yang dibangkitkan didominasi oleh jenis pembangkit PLTU batubara dengan persentase masing-masing 60% dan 46% dari total listrik yang dibangkitkan. Sedangkan di Provinsi Kalimantan Utara sekitar 74% listrik dihasilkan dari PLTMG, dan sisanya berasal dari PLTD. Pembangkit listrik “lainnya” antara lain yang berasal dari biomasa, biogas, dan biofame dalam jumlah yang tidak signifikan. Terdapat defisit listrik mencapai hampir 2000 GWh, dimana jumlah konsumsi listrik lebih besar dari listrik yang dihasilkan oleh pembangkit yang ada. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan listrik di wilayah Kalimantan perlu dilakukan impor listrik dari Sistem Serawak (Malaysia) sebesar 180 MW, atau sekitar 1260 GWh. Akan tetapi impor listrik sekalipun ternyata masih belum bisa memenuhi kebutuhan listrik di Kalimantan secara menyeluruh. Oleh karena itu, di wilayah Kalimantan cukup banyak rumah atau industri yang memiliki genset pribadi untuk mengantisipasi permasalahan suplai listrik (PLN, 2021). IV.2 Beban Emisi Eksisting Perhitungan beban emisi dari pembangkit listrik mengacu pada jenis bahan bakar yang digunakan sebagai data aktivitasnya. Emisi GRK dan pencemar udara dari sektor pembangkit di wilayah Kalimantan berasal dari penggunaan bahan bakar batubara pada PLTU, bahan bakar minyak pada PLTD dan sebagian kecil PLTG/GU/MG, serta bahan bakar gas pada PLTG/GU/MG 89 IV.2.1 Beban Emisi Batubara Eksisting Hasil perhitungan emisi gas rumah kaca dan zat pencemar udara primer dari aktivitas bahan bakar batubara pada sektor pembangkit listrik di wilayah Kalimantan ditampilkan pada Gambar IV.2. Gambar IV. 2 Emisi GRK dan pencemar udara primer eksisting dari aktivitas batubara sektor pembangkit listrik Kalimantan pada tahun 2020 IV.2.2 Beban Emisi BBM Eksisting Hasil perhitungan emisi gas rumah kaca dan zat pencemar udara primer dari aktivitas bahan bakar minyak pada sektor pembangkit listrik di wilayah Kalimantan ditampilkan pada Gambar IV.3. Gambar IV. 3 Emisi GRK dan pencemar udara primer eksisting dari aktivitas BBM sektor pembangkit listrik Kalimantan pada tahun 2020 90 IV.2.3 Beban Emisi BBG Eksisting Hasil perhitungan emisi gas rumah kaca dan zat pencemar udara primer dari aktivitas bahan bakar gas pada sektor pembangkit listrik di wilayah Kalimantan ditampilkan pada Gambar IV.4. Gambar IV. 4 Emisi GRK dan pencemar udara primer eksisting dari aktivitas BBG sektor pembangkit listrik Kalimantan pada tahun 2020 IV.2.4 Beban Emisi Eksisting Total Hasil perhitungan beban emisi GRK dan zat pencemar udara primer dari sektor pembangkit listrik di kelima Provinsi Kalimantan pada tahun dasar 2020 ditampilkan pada Gambar IV.5. Gambar IV. 5 Beban emisi GRK dan pencemar udara primer eksisting dari sektor pembangkit listrik di kelima provinsi di Kalimantan pada tahun 2020 91 Emisi CO2, sebagai gas rumah kaca, yang dihasilkan sektor pembangkit listrik mencapai sekitar 6,5 juta ton. Sedangkan emisi zat pencemar udara didominasi oleh SO 2 dengan jumlah mencapai lebih dari 87.000 ton. Energi listrik yang dibangkitkan oleh pembangkit listrik yang ada di wilayah Kalimantan pada tahun 2020 sebesar 9.535,78 GWh. Untuk mengetahui berapa banyak emisi yang terlepas dari setiap daya yang dihasilkan pembangkit listrik di wilayah Kalimantan selama tahun 2020, maka total emisi GRK dan pencemar udara primer dibagi dengan total energi listrik yang dibangkitkan. Dengan demikian faktor emisi CO 2 dari sistem pembangkit listrik di kelima Provinsi di Kalimantan pada tahun 2020 rata-rata sebesar 681,34 ton CO 2/MWh. Sedangkan faktor emisi gas SO2, NOx, CO, PM10, dan PM 2.5 sebagai pencemar udara primer yang dihasilkan oleh sistem pembangkit listrik di kelima Provinsi di Kalimantan pada tahun 2020 masing-masing sebesar 9,13 ton SO 2/MWh; 1,50 ton NOx/MWh; 0,11ton CO/MWh; 0,05 ton PM10/MWh; dan 0,02 ton PM 2.5/MWh. IV.3 Skenario Pemenuhan Kebutuhan Listrik di Kelima Provinsi Kalimantan Perancangan skenario pemenuhan kebutuhan listrik di kelima Provinsi Kalimantan dilakukan setelah dilakukan analisis data proyeksi/roadmap yang sudah ada. Data proyeksi yang tersedia antara lain yaitu proyeksi yang dilakukan oleh Kementerian ESDM, PT. PLN, dan BATAN. Setelah analisis tersebut dilakukan, maka skenario pemenuhan kebutuhan listrik dalam penelitian ini dapat dirancang, sehingga lebih relevan dengan kondisi yang direncanakan pemerintah. IV.3.1 Analisis Data Proyeksi Bauran Energi Listrik PT. PLN telah membuat suatu proyeksi pemenuhan kebutuhan energi listrik nasional dengan merencanakan penyediaan pembangkit-pembangkit listrik pada tahun 2021 hingga tahun 2030. Tambahan kapasitas pembangkit selama 10 tahun mendatang untuk seluruh Indonesia sebesar 40,6 GW, atau penambahan kapasitas rata-rata mencapai 4 GW per tahun. Penambahan pembangkit EBT akan mendominasi jenis pembangkit yang akan dibangun yaitu sebesar 20,9 GW atau 51,6 %, terdiri dari PLTA/Pusat Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) sebesar 10,4 GW (25,6%), disusul oleh PLTS sebesar 4,7 GW (11,5%), PLTP sebesar 3,4 GW 92 (8,3%), EBT lainnya sebesar 1,5 GW (3,7%) berupa Pusat Listrik Tenaga Bayu (PLTB), Pusat Listrik Tenaga Sampah (PLTSa), Pusat Listrik Tenaga Biogas (PLTBg), Pembangkit Listrik Tenaga Bakar Nabati (PLTBn) dan Pusat Listrik Tenaga Biomasa (PLTBm). Dalam RUPTL 2021-2030 pengembangan PLTU batubara lebih kecil dibanding RUPTL 2019-2028, yaitu sebesar 13,8 GW atau 34,1%. Berdasarkan proyeksi tersebut, Pemerintah mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya energi baru dan energi terbarukan untuk pembangkit listrik. Penambahan PLTU hanya untuk proyek yang telah berkontrak dan sudah dalam tahap konstruksi. Selain itu, operasional PLTGU dihentikan setelah usia 30 tahun. Dengan demikian, listrik yang dihasilkan dari PLTU pada tahun 2057 dan PLTGU pada tahun 2054 akan tersisa kurang dari 1 GW. Tambahan pembangkit setelah 2030 hanya dari EBT, diantaranya PLTS, PLTB dan Pusat Listrik Tenaga Arus Laut (PLTAL).