1 Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Peningkatan jumlah penduduk di suatu wilayah secara otomatis akan meningkatkan berbagai kebutuhan di wilayah tersebut, salah satunya kebutuhan energi listrik. Jumlah penduduk di lima provinsi di Kalimantan mengalami peningkatan dengan laju pertumbuhan penduduk rata-rata dari tahun 2011 hingga tahun 2020 sebesar 1,82% per tahun. Sejalan dengan itu, kebutuhan listrik sektor rumah tangga di seluruh Kalimantan mengalami peningkatan dari 3.556 GWh pada tahun 2011 menjadi 6.955 GWh pada tahun 2020, dengan laju pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 7,84%. Jika diakumulasi dengan sektor lain, diantaranya sektor industri, bisnis, sosial, dan lainnya, total kebutuhan listrik Kalimantan pada tahun 2020 mencapai 11.534 GWh. Sedangkan daya mampu yang dihasilkan sebesar 9.536 GWh, sehingga masih diperlukan impor listrik untuk memenuhi kebutuhan listrik (PLN, 2021). Impor listrik terutama ditujukan untuk memenuhi kebutuhan listrik sektor rumah tangga. Sedangkan untuk sektor industri dan bisnis/komersil ada diantaranya yang memiliki pembangkit listrik sendiri (captive power) sebagai sumber tenaga utama dalam proses produksinya, dan tidak menutup kemungkinan sektor rumah tangga juga menggunakannya sebagai cadangan jika sumber listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) mengalami pemadaman (Candranurani dkk., 2015; PLN, 2020). Kebutuhan listrik di wilayah Kalimantan diprediksi akan meningkat cukup pesat berkaitan dengan rencana pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) dari Jakarta ke Kalimantan, yang akan dimulai pada tahun 2024 (BPS, 2021b). Hingga tahun 2020, bauran energi listrik di wilayah Kalimantan didominasi oleh Pusat Listrik Tenaga Uap (PLTU) sebesar 55,12%, Pusat Listrik Tenaga Diesel (PLTD) 14,87% dan Pusat Listrik Tenaga Gas (PLTG) 12,75%, sementara beberapa pembangkit lainnya berada kurang dari 18%. Dengan kata lain, sumber energi listrik di wilayah Kalimantan masih didominasi oleh penggunaan bahan bakar fosil yang dapat mengemisikan gas rumah kaca (GRK) serta zat pencemar udara. Adapun emisi GRK dari pembangkitan listrik yang ada di Kalimantan pada tahun 2021 berkisar 15,8 juta ton CO 2, dengan faktor emisi 1,13 tonCO2/MWh (PLN, 2 2021). Sementara, data terkait emisi zat pencemar udara (seperti SO 2, NOx, CO, PM 10, dan PM2.5) dari sektor pembangkit listrik, khususnya di wilayah Kalimantan, belum tersedia. Mengingat dampak dari pencemaran udara yang dapat membahayakan kesehatan maupun merusak ekosistem, maka hal ini menjadi penting untuk diperhitungkan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini tidak hanya emisi GRK yang akan diperhitungkan, tetapi juga emisi zat pencemar udara primer dari sektor pembangkit listrik juga akan diperhitungkan. Jika tidak dilakukan pembatasan penggunaan bahan bakar fosil, maka dapat dipastikan emisi GRK dan pencemaran udara akan meningkat dengan pesat. Sebagai bagian dari dunia, Indonesia memiliki tanggung jawab untuk menjaga lingkungan dari pemanasan global. Dalam hal ini, implementasi infrastruktur berkelanjutan harus bisa mengurangi efek rumah kaca, salah satunya yaitu mengurangi emisi CO 2 (Hermawan dkk., 2017). Sebagai upaya pengendalian perubahan iklim, Pemerintah Indonesia telah menyepakati Paris Agreement to United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) dan COP26 the Glasgow Climate Pact. Kesepakatan tersebut menyatakan komitmen pembatasan temperatur global hingga 1,5°C dengan menekankan pada pemenuhan komitmen dan dilaksanakannya tindakan nyata (United Nation, 2021). Indonesia menargetkan untuk meningkatkan penurunan emisi GRK dari semua sektor menuju tahun 2050, dan berambisi mencapai net-zero emission (NZE) pada tahun 2070 (KLHK, 2021b). Hal ini pun diangkat pada forum diskusi Indonesia Green Summit 2021, dengan topik Green National Policy, yang menargetkan NZE pada tahun 2060. Sebagai upaya untuk mencapai target NZE, pemerintah dan PLN melakukan pengembangan kelistrikan di sisi pembangkit dengan teknologi yang ramah lingkungan dengan mempertimbangkan tiga pilar. Ketiga pilar tersebut yaitu affordability (biaya paling rendah), security of supply (keandalan), dan acceptability (pertimbangan lingkungan). Berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030, tidak direncanakan pengembangan PLTU baru, kecuali untuk PLTU yang sudah dalam tahap konstruksi atau financial closing. Selanjutnya akan dilakukan retirement PLTU batubara secara bertahap 3 mulai tahun 2030 sesuai dengan umur tekno-ekonomis dan berakhirnya kontrak Power Purchase Agreement (PPA). Kedepannya pemerintah memprioritaskan pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) melalui pengembangan pembangkit EBT. Adapun target bauran energi dari EBT minimal sebesar 23% pada tahun 2025 dan penambahan pada tahun-tahun berikutnya, serta menargetkan bauran energi dari batubara tidak lebih dari 55% pada tahun 2025. Namun hingga saat ini besarnya energi yang dapat dihasilkan dari EBT masih sangat kecil, bahkan kurang dari 1% dibandingkan dengan potensinya (Dirjen EBTKE ESDM, 2019). Untuk dapat mencapai target bauran energi nasional dan bersaing dengan pembangkit batubara, tentu implementasi EBT akan memerlukan waktu, upaya, dan biaya yang tidak sedikit. Di sisi lain, terdapat suatu sumber energi yang saat ini belum digunakan di Indonesia tetapi banyak digunakan di negara maju. Energi tersebut berasal dari bahan bakar nuklir, yaitu Pusat Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Namun, dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) energi nuklir dipertimbangkan sebagai pilihan terakhir dalam memasok energi nasional skala besar dan mengurangi emisi GRK. Padahal dalam hal kemampuan pembangkitan energi listrik, PLTN mampu menghasilkan daya yang besar sebagaimana PLTU batubara namun tidak menghasilkan emisi GRK selama operasi pembangkitan (Harjanto, 2008). Pengembangan PLTN hingga saat ini masih belum termasuk dalam RUPTL PLN. Pengambilan keputusan membangun PLTN perlu mempertimbangkan banyak aspek, seperti keekonomian, profitabilitas, politik, penerimaan sosial, budaya, dan lain-lain, sehingga program PLTN hanya dapat diputuskan oleh pemerintah.