1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perizinan merupakan upaya Pemerintah dalam mengatur dan mengendalikan kegiatan masyarakat yang memiliki peluang menimbulkan gangguan bagi kepentingan umum (Zulkaidi dan Natalivan, 2006, Sutedi, 2011). Perizinan dalam konteks pengendalian pembangunan, diyakini prosesnya dapat digunakan sebagai perangkat pengelolaan kota untuk memastikan bahwa pelaksanaan pemanfaatan ruang berlangsung sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan (Ibrahim, 1998). Perizinan dalam konteks pelayanan publik merupakan tindakan administrasi atau tindakan hukum oleh pemerintah sesuai peraturan perundang-undangan, sebagai landasan hukum, menjamin kepastian hukum, kepastian hak, alat bukti dalam hal klaim, kemudahan fasilitas, dan melindungi kepentingan pemerintah maupun masyarakat yang ditujukan atas kepentingan hak atas tanah, pencegahan kerusakan/ pencemaran lingkungan, dan pemerataan distribusi barang tertentu (Ridwan dan Sodik, 2008, Pudyatmoko, 2009, dan Sutedi, 2011) Penilaian masyarakat terhadap pelayanan perizinan masih kurang baik, karena pelayanan berbelit-belit, tidak memiliki prosedur yang jelas, tidak transparan, waktu penyelesaian dan biaya yang tidak jelas (Laporan Tahunan Penyelenggaraan Pelayanan Perizinan Provinsi Jawa Barat, 2012). Reformasi pelayanan perizinan dalam rangka mengatasi kondisi tersebut, mengamanatkan penyelenggaraan perizinan yang dilaksanakan dalam sistem pelayanan terpadu, dengan prinsip keterpaduan, ekonomis, koordinasi, pendelegasian (pelimpahan wewenang), akuntabilitas, dan aksesibilitas (Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik). Pelayanan perizinan di Provinsi Jawa Barat, sebagaimana tercantum dalam peraturan pelayanan terpadu Provinsi Jawa Barat, diamanatkan dintegrasikan 2 pelayanannya ke Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Provinsi Jawa Barat, untuk semua jenis perizinan (izin maupun non izin) yang menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Beberapa jenis pelayanan perizinan belum dapat menerapkan seluruh prinsip sistem pelayanan terpadu, walaupun rangkaian proses administrasinya tetap dilakukan melalui BPPT Provinsi Jawa Barat (Laporan Tahunan Penyelenggaraan Pelayanan Perizinan Provinsi Jawa Barat, 2012), salah satunya adalah jenis perizinan dalam bidang penataan ruang, yaitu rekomendasi pemanfaatan ruang Kawasan Bandung Utara (KBU). Penyelenggaraan perizinan pemanfaatan ruang KBU dalam memproses rekomendasi gubernur, mengacu pada peraturan Provinsi Jawa Barat terkait pengendalian pemanfaatan ruang KBU, dan pelayanan perizinan terpadu. Peraturan-peraturan tersebut menempatkan rekomendasi gubernur sebagai acuan seluruh izin pemanfaatan ruang yang diterbitkan oleh Bupati/Walikota di wilayah KBU. Penyelenggaraan proses rekomendasi gubernur mengacu pada mekanisme rekomendasi gubernur, yang berujung pada keputusan pemberian atau penolakan rekomendasi gubernur yang sesuai dengan tujuan umum pengendalian KBU, yaitu menjamin pembangunan yang berkelanjutan dan mewujudkan peningkatan fungsi lindung kawasan. Hingga saat ini, penyelenggaraan perizinan pemanfaatan ruang KBU sudah dilaksanakan sesuai pembagian peran provinsi dengan kabupaten/kota di wilayah KBU dalam perizinan, sebagaimana amanat peraturan pengendalian pemanfaatan ruang KBU tentang kegiatan pengendalian dan penetapan pemanfaatan ruang di KBU yang dikoordinasikan bersama Gubernur dengan Bupati/Walikota di wilayah KBU. Sejalan dengan waktu, pelaksanaan kedua produk perizinan pemanfaatan ruang KBU, baik yang diterbitkan provinsi maupun kabupaten/kota di wilayah KBU, belum berdampak pada kondisi pemanfaatan ruang KBU yang berkelanjutan dan mempertahankan fungsi lindung. Evaluasi pemanfaatan ruang KBU yang dilakukan pada tahun 2010 mengidentifikasi ketidaksesuaian pemanfaatan ruang dengan arahan pemanfaatan ruang yang ditetapkan dalam peraturan KBU maupun dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota di wilayah KBU. 3 Identifikasi persoalan penyebab ketidaksesuaian pemanfaatan ruang KBU tersebut belum dilakukan, sehingga belum diketahui persoalan-persoalan yang harus ditangani, termasuk pada persoalan yang mungkin sudah terjadi pada saat penyelenggaraan perizinan di provinsi. Penyelenggaraan perizinan pemanfaatan ruang KBU yang tidak efektif dan efisien, dapat menjadi awal dari seluruh permasalahan tidak tercapainya tujuan umum pengendalian pemanfaatan ruang KBU. Atas dasar tersebut, akan dilakukan penelitian mengenai identifikasi persoalan dalam penyelenggaraan perizinan pemanfaatan ruang KBU khususnya yang dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat. 1.2 Rumusan Persoalan Penelitian Pelibatan pemerintah provinsi dalam penyelenggaraan perizinan pemanfaatan ruang KBU, dilaksanakan dalam rangka pembagian tanggungjawab dengan Kabupaten/Kota di wilayah KBU sebagai pihak yang berwenang menerbitkan izin sesuai ketentuan perundang-undangan. Walaupun provinsi tidak berwenang dalam penerbitan izin (rekomendasi termasuk jenis non izin yang bersifat pertimbangan/saran), namun sesuai peraturan pembagian urusan pemerintahan dan penataan ruang, memiliki kewenangan dalam pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang sesuai RTRW Provinsi, di lintas wilayah kabupaten/kota atau kawasan strategis provinsi (KSP) berdasarkan nilai strategisnya. Keterbatasan kewenangan tindakan administrasi/tindakan hukum perizinan yang bersinggungan dengan kewenangan dalam pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang tersebut menjadi bagian dari persoalan yang ingin diidentifikasi dalam penyelenggaraan perizinan pemanfaatan ruang KBU di Provinsi Jawa Barat. Pada aspek pelaksanaan perizinan, penyelenggaraan perizinan pemanfaatan ruang KBU di Provinsi Jawa Barat tidak menerapkan seluruh prinsip-prinsip dalam sistem pelayanan terpadu. Pertimbangan khusus atas sifat strategis perizinan pemanfaatan ruang KBU membedakan perizinan ini dengan perizinan lain yang diberikan dengan prinsip pelayanan publik secara umum. Mekanisme perizinan 4 yang diacu dalam penyelenggaraan perizinan pemanfaatan ruang KBU di Provinsi Jawa Barat, belum mengantarkan keputusan rekomendasi gubernur yang cukup operasional untuk acuan izin (wawancara beberapa narasumber kabupaten/kota di wilayah KBU, 2013), dan belum memberi penegasan terkait hal-hal yang harus dilakukan Gubernur maupun Bupati/Walikota di wilayah KBU, khususnya dalam mewujudkan tujuan umum pengendalian pemanfaatan ruang KBU (dalam contoh surat rekomendasi gubernur dan surat penolakan permohonan rekomendasi gubernur, terlampir). Kondisi tersebut menjadi bagian dari persoalan yang berkaitan dengan pelaksanaan perizinan, yang ingin diidentifikasi dalam penyelenggaraan perizinan pemanfaatan ruang KBU di Provinsi Jawa Barat. Peraturan Provinsi Jawa Barat terkait pengendalian pemanfaatan ruang KBU, dan mekanisme rekomendasi gubernur mengatur penyelenggaraan perizinan pemanfaatan ruang KBU di Provinsi Jawa Barat dalam beberapa tahapan koordinasi. Rangkaian koordinasi perizinan pemanfaatan ruang KBU yang panjang di Provinsi Jawa Barat, mendapatkan penilaian masyarakat dan pemerintah kabupaten/kota di wilayah KBU yang kurang baik. Penyelesaian rekomendasi gubernur yang tidak sesuai target waktu penyelesaian (Laporan Tahunan Penyelenggaraan Pelayanan Perizinan Provinsi Jawa Barat, 2012), serta keputusan rekomendasi gubernur yang tidak sesuai dengan ekspetasi kabupaten/kota (wawancara beberapa narasumber kabupaten/kota di wilayah KBU, 2013), menjadi bagian dari persoalan yang berkaitan dengan koordinasi, yang ingin diidentifikasi dalam penyelenggaraan perizinan pemanfaatan ruang KBU di Provinsi Jawa Barat. 1.3 Tujuan dan Sasaran Penelitian Tujuan penelitian adalah mengidentifikasi persoalan penyelenggaraan perizinan pemanfaatan ruang KBU di Provinsi Jawa Barat, khususnya persoalan yang terkait dengan kewenangan pemerintah provinsi dalam perizinan, persoalan yang terkait dengan pelaksanaan perizinan yang mengacu pada mekanisme perizinan yang diacu, dan persoalan koordinasi perizinan yang dilaksanakan dalam 5 penyelenggaraan perizinan pemanfaatan ruang KBU . Tujuan tersebut dicapai dengan sasaran, yang meliputi : - Terumuskannya kerangka teoritik dan indikator penyelenggaraan perizinan pemanfaatan ruang yang efektif dan efisien, untuk mendapatkan ketentuan teoritik dan normatif yang baik dan ideal dan dapat digunakan sebagai indikator dalam menyelenggarakan perizinan pemanfaatan ruang yang efektif dan efisien, sesuai aspek pembagian urusan pemerintahan, penataan ruang dan pelayanan publik. - Teridentifikasinya persoalan penyelenggaraan perizinan pemanfaatan ruang KBU di Provinsi Jawa Barat, sehingga mendapatkan deskripsi indikator- indikator penyelenggaraan perizinan pemanfaatan ruang yang efektif dan efisien yang tidak dipenuhi, dan dapat merumuskan usulan tindak lanjut dari setiap persoalan yang teridentifikasi. - Terumuskannya rekomendasi penyelenggaraan perizinan pemanfaatan ruang KBU yang efektif dan efisien, berupa perbaikan mekanisme perizinan pemanfaatan ruang KBU di Provinsi Jawa Barat berdasarkan tindaklanjut yang diusulkan untuk mengatasi persoalan yang teridentifikasi, dan saran-saran bagi Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam mewujudkan penyelenggaraan perizinan pemanfaatan ruang KBU yang lebih efektif dan efisien. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian, meliputi : - Bagi bidang ilmu PWK adalah mendapat gambaran kerangka teoritik yang digunakan dalam penelitian. - Bagi Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kabupaten/Kota di wilayah KBU adalah mendapatkan informasi tentang persoalan yang dihadapi dan masukan untuk penyelenggaraan perizinan pemanfaatan ruang KBU yang efektif dan efisien ke depan. - Bagi masyarakat adalah mendapat gambaran persoalan penyelenggaraan perizinan pemanfaatan ruang KBU di Provinsi Jawa Barat. 6 1.5 Lingkup Penelitian Berdasarkan rumusan persoalan, tujuan dan sasaran penelitian, lingkup penelitian mengkaji penyelenggaraan perizinan pemanfaatan ruang dari aspek pembagian urusan provinsi, pelaksanaan perizinan dan koordinasi yang baik, sehingga diperlukan kajian yang mencakup kajian teoritis dan empiris. A. Kajian teoritis mencakup teori, konsep, dan norma yang digunakan untuk memperoleh standar penyelenggaraan perizinan pemanfaatan ruang yang baik diukur dari efektivitas dan efisiensi, meliputi pengendalian pembangunan sebagai dasar perizinan, kelembagaan sebagai dasar koordinasi, serta norma terkait pembagian urusan pemerintahan, penataan ruang dan pelayanan publik yang berlaku di Indonesia. Perumusan indikator penyelenggaraan perizinan pemanfaatan ruang yang efektif dan efisien dibantu teori pengukuran efektif dan efisien organisasi. - Pengendalian pembangunan (development control) sebagai dasar pengendalian pemanfaatan ruang adalah sebagian dari lingkup pengendalian pembangunan (development control), yang bertujuan untuk memastikan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Salah satu perangkat yang digunakan oleh pemerintah adalah perizinan, untuk mengatur kegiatan-kegiatan yang berpeluang mengganggu kepentingan umum (Natalivan dan Zulkaidi, 2006). Penetapan dan penerbitan izin merupakan tindakan hukum pemerintah, dalam menjalankan fungsi pengaturan dan pelayanan sesuai peraturan perundang-undangan (Sutedi, 2011). Konsep pengendalian pembangunan menyajikan dasar-dasar pengendalian pembangunan, perangkat pengendalian pembangunan termasuk perizinan, dan penegakan hukum pelanggaran perizinan. - Kelembagaan merupakan kerangka kerja untuk mengelola eksternalitas, dampak sekunder dan tersier, baik positif atau negatif, dari berbagai yurisdiksi untuk menyelesaikan persoalan bersama (Cohen, 2001). Koordinasi dalam lingkup kelembagaan termasuk dalam unsur pengelolaan bentuk, struktur, dan kewenangan suatu kebijakan untuk mencapai tujuan dan menyelesaikan persoalan bersama (Cohen, 2001, Hurst, 1977 dalam 7 Oetomo, 2013). Koordinasi mengarahkan pelaksanaan untuk menghasilkan suatu tindakan yang seragam dan harmonis pada sasaran yang telah ditentukan (G.R Terry, 1968). Konsep koordinasi antarorganisasi mengedepankan perlunya pertukaran sumberdaya dengan semua organisasi yang lain yang memiliki hubungan saling ketergantungan (Alexander, 1995). Konsep koordinasi antarwilayah yang berbeda wilayah hukum, muncul karena keterbatasan kewenangan tingkat pemerintahan yang lebih tinggi sehingga menciptakan lingkungan yang bersedia untuk saling bekerjasama (Edelman, 1997). Teori dan konsep kelembagaan menyajikan substansi koordinasi sebagai sistem manajemen dalam sebuah organisasi pelaksana kebijakan yang memerlukan tindakan harmonis, serta faktor keberhasilan koordinasi antarorganisasi dan koordinasi antardaerah berbeda wilayah hukum. - Norma dasar penyelenggaraan perizinan pemanfaatan ruang merupakan peraturan perundang-undangan yang mengatur pembagian urusan pemerintahan, penataan ruang, dan pelayanan publik di Indonesia. Norma pembagian urusan pemerintahan merujuk pada kewenangan pemerintah provinsi dalam bidang penataan ruang, norma penataan ruang merujuk pada penyelenggaraan perizinan secara terkoordinasi, dan norma pelayanan publik merujuk pada prinsip pelaksanaan penyelenggaraan perizinan. B. Kajian empiris mendeskripsikan penyelenggaraan perizinan pemanfaatan ruang dari studi kasus, untuk mengeksplorasi peraturan dan kondisi yang sebenarnya terjadi.