Hasil Ringkasan
115 Bab IV Gambaran Umum Penelitian ini mengambil studi kasus pada salah satu Pengembangan Lahan Skala Besar di Indonesia yaitu Proyek Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Gagasan proyek reklamasi yang memiliki luas sekitar 5.153 Hektar dan nilai investasi sebesar Rp 340.675.269.658.986 (340T) telah ada sejak era Soeharto pada tahun 1995. Penerbitan Keputusan Presiden No. 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta dan Peraturan Daerah No. 8 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Reklamasi dan Tata Ruang Kawasan Pantura Jakarta merupakan awal dari perencanaan reklamasi. Pada bagian ini akan dijelaskan gambaran umum terkait sistem politik, sistem perencanaan tata ruang (darat dan laut), serta kebijakan terkait reklamasi di Indonesia untuk memberikan konteks struktur makro pada lokasi studi. Kemudian, akan dibahas terkait profil dari studi kasus Reklamasi Pantai Utara Jakarta. IV.1 Sistem Politik Indonesia Sistem politik dan pemerintahan Indonesia telah mengalami beberapa kali pergantian pasca kemerdekaan dalam rangka mencari bentuk terbaik yang mampu menciptakan pemerintahan stabil dan demokratis serta masyarakat yang sejahtera (Purwoko, 2010). Menurut Sanit (2015), Indonesia telah berusaha menerapkan sembilan jenis sistem politik pasca kemerdekaan, yaitu empat varian demokrasi parlementerianisme, tiga varian demokrasi semi presidensialisme, serta dua varian demokrasi presidensialisme minimalis. Demokrasi parlementerianisme mulai ditandai dengan fungsionalisasi Komite Nasional Pusat, federalisme, berdasar UUD Sementara, dan Pemilu pertama tahun 1955 (Sanit, 2015). Pasca kemerdekaan pada tahun 1945-1949, berbagai tekanan internal dan eksternal mulai dari lemahnya kondisi ekonomi, turbulensi politik, hingga agresi militer Belanda I dan II belum sepenuhnya diatasi oleh pemerintah Indonesia (Purwoko, 2010). Pada masa itu, masih terjadi tumpang tindih kekuasaan pada lembaga negara yang menimbulkan berbagai polemik (Sugiharto, 2013; Noviati, 2013). Sebagaimana disebutkan dalam konstitusi Republik Indonesia yaitu UUD 1945, maka “sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Pertimbangan Agung, segala kekuasaan dijalankan oleh 116 Presiden dengan bantuan sebuah komite nasional”. Hal ini yang kemudian mendorong pembentukan Komite Nasional Pusat yang bertugas dalam membantu tugas kepresidenan sekaligus memiliki kekuasaan legislatif dan menetapkan Garis Besar Haluan Negara, sebelum terbentuknya MPR dan DPR (Sugiharto, 2013). Berdirinya Komite Nasional Pusat (KNIP) menandai cikal bakal badan legislatif di Indonesia, sehingga hari jadi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesiapun jatuh pada tanggal 29 Agustus 1945 yang merupakan tanggal pembentukan KNIP (www.dpr.go.id). Upaya Belanda untuk mengembalikan kekuasaannya masih terus dilakukan hingga dalam pelaksanaan Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada tanggal 24 Agustus 1949 yang memutuskan bahwa Indonesia harus menanggung beban utang Hindia Belanda dan berubah menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai bentuk negara federal (Purwoko, 2010). Hal ini lantas menimbulkan berbagai pergolakan internal. Akhirnya, pada tanggal 16 Agustus 1950, Presiden Soekarno menetapkan pembubaran RIS dan pembentukan kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia serta Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yang melahirkan bentuk pemerintahan berdasarkan demokrasi parlementer (Purwoko, 2010). Masa demokrasi parlementer atau yang sering disebut dengan demokrasi liberal terjadi pada tahun 1949-1959. Pada masa tersebut, sistem pemerintahan parlementer berlandaskan Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia tahun 1950 menetapkan bahwa para menteri bertanggungjawab kepada parlemen (Hakiki, 2014).