Hasil Ringkasan
89 Bab III Metodologi Penelitian III.1 Paradigma dan Pendekatan Penelitian Beberapa literatur terkait historical institutionalism yang menggunakan paradigma post-positivism sebagai kritik terhadap pendekatan positivism terhadap ilmu politik (Marsh dkk., 2004). Sebagaimana disebutkan oleh Ryan (2006) bahwa: “paradigma positivism dan modernisme yang terbatas membuat peneliti harus memahami kedudukannya di dunia dan apa yang dibawa ke penelitian melalui asumsi terkait pengetahuan”. Namun, hal ini masih menuai kritik karena paradigma post- positivism dianggap mendukung subjectivism dan relativism serta kekurangan standar yang membuat pekerjaan tidak berdasarkan (kaidah) penelitian yang tepat (Patomaki dan Wight, 2000). Terdapat dua hal utama yang menjadi kelemahan paradigma post-positivism khususnya jika digunakan dalam penelitian historical institutionalism untuk mengungkap relasi kekuasaan aktor terkait perubahan institusional pada Pengembangan Lahan Skala Besar. Pertama, post-positivists memiliki kesamaan struktur metafisika dengan positivists dari perspektif ontologis; dimana pendefinisian “nyata” atau real bagi positivist terkait hal yang telah dialami dan bagi post-positivist terkait bahasa/diskursus (Patomaki dan Wight, 2000). Post- positivists mengklaim bahwa “nothing exists outside of discourse” (Campbell, 1998:24-25 dalam Patomaki dan Wight, 2000), sehingga hal ini menimbulkan keraguan yaitu jika diskursus membentuk objek yang dirujuk oleh diskursus tersebut, maka diskursus itu sendiri tidak pernah salah mengenai keberadaan objeknya. Bhaskar (2008) menyebut adanya “epistemic fallacy” dimana epistemologi dan ontologi dari paradigma tersebut menjadi saling terikat; apa yang diketahui adalah apa yang dapat dialami dan/atau dilihat dan apa yang terjadi adalah apa yang dapat diketahui. Kedua, lebih lanjut, Bhaskar (2008) menjelaskan bahwa proses eksperimen dalam post-positivism sama halnya dengan positivism yang didasari konsep Humean terkait konjungsi konstan dan hukum kausal (jika x maka y) sehingga memiliki kekurangan dalam mengungkap realitas. Hal ini dikarenakan tradisi penelitian 90 tersebut berada dalam closed system dimana eksperimen merupakan proses produksi berbagai prakondisi yang diduga memicu munculnya peristiwa tertentu (Suryajaya, 2014). Dalam sistem tersebut, peneliti dapat memilih prakondisi mana yang memiliki hubungan kausal terhadap peristiwa melalui uji coba, sehingga dapat dikatakan bahwa konjungsi dibentuk oleh para peneliti (Suryajaya, 2014). Di tengah perdebatan dan kritik tersebut, critical realism muncul sebagai jalan tengah. Marsh dkk. (2004) menyebutkan bahwa cara terbaik dalam penelitian terkait historical institutionalism adalah dengan menggunakan paradigma critical realism untuk menjelaskan dualitas atau hubungan antara struktur dan agen/aktor yang interaktif. Menurut critical realism, dunia tidak hanya terdiri dari peristiwa, keadaan, pengalaman, kesan, dan diskursus, tetapi juga struktur, kekuasaan, dan kecenderungan yang mendasarinya, baik yang terdeteksi/diketahui maupun tidak, melalui pengalaman dan/atau diskursus (Patomaki dan Wight, 2000). Selanjutnya, critical realists mengajak untuk melihat realitas sebagai open system dimana terdapat keberagaman mekanisme atau struktur, kekuasaan, dan kecenderungan yang non empirik dan independen dari tahapan atau pola peristiwa (Bhaskar, 2008). Roy Bhaskar berargumen bahwa terdapat struktur real yang sering kali tidak terlihat dari pola-pola peristiwa aktual. Bhaskar kemudian memberikan stratifikasi pada tiga domain yaitu real, actual, dan empiris. Domain empiris mempertimbangkan pengalaman-pengalaman (indrawi). Selanjutnya, domain aktual dapat diungkap dengan mengaitkan peristiwa yang terjadi dengan pengalaman. Terakhir, untuk mengungkap domain real, maka perlu meneliti pengalaman, serangkaian peristiwa, serta mekanisme generatif atau cara-cara sesuatu bertindak di balik peristiwa aktual.