1 Bab I Pendahuluan Bagian ini akan menjelaskan terkait latar belakang, persoalan penelitian, tujuan dan sasaran, manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian, kebaruan penelitian, dan sistematika penulisan pada disertasi ini. I.1 Latar Belakang Perencanaan kota memiliki peran esensial dalam mendorong proses pengembangan lahan dan properti yang efisien melalui berbagai instrumen pembangunan (O’Brien dkk., 2020). Dengan meningkatnya keterlibatan sektor privat dalam mengembangkan dan mengelola proyek-proyek pembangunan, terdapat urgensi untuk memahami proses pengembangan lahan dan properti serta peran perencanaan di dalamnya (Gore dan Nicholson, 1991; Healey, 1991). Beragam aktivitas perencanaan dilakukan dalam proses tersebut mulai dari membentuk kerangka regulasi, menstimulasi dan mengatur pasar, serta meningkatkan kapasitas aktor pada berbagai tahapan seperti pembebasan lahan, perencanaan infrastruktur, urusan legalitas, desain proyek, pembiayaan, hingga proses konstruksi (Alexander 2001; Batbileg, 2010; O'Brien dkk., 2020). Seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk dan aktivitas perkotaan, pengembangan lahan dan properti diimplementasikan dalam bentuk proyek skala besar pada kawasan pinggiran perkotaan atau yang disebut dengan “large-scale land development” (Archer, 1977; Pratomo dkk., 2020; Shatkin, 2016; Winarso dkk., 2015). Pada awalnya, penguasaan dan pengembangan lahan secara terpadu melalui proyek skala besar dianggap mampu mengatasi permasalahan dalam konversi lahan perdesaan menjadi perkotaan yang tidak efisien di kawasan pinggiran, khususnya terkait dengan adanya fragmentasi kepemilikan lahan (Archer, 1977). Menurut Archer (1977), inefisiensi konversi lahan tersebut terjadi akibat kegagalan sistem perencanaan dan pasar lahan berupa ketidakpastian dalam kerangka kebijakan, banyaknya spekulasi lahan, serta keterlambatan dalam penyediaan utilitas dan infrastruktur publik. Namun, di sisi lain, praktik pengembangan lahan skala besar sering kali dilakukan oleh pemerintah maupun sektor swasta untuk menangkap keuntungan dari kenaikan nilai lahan yang dihasilkan (Shatkin, 2016; Winarso dkk., 2015). Selain itu, ketersediaan lahan yang 2 luas dengan harga relatif lebih rendah di kawasan pinggiran menjadi daya tarik bagi para pengembang lahan dan properti (Winarso & Firman, 2002). Konseptualisasi proyek skala besar sebagai moda pengembangan lahan kemudian berkembang pada literatur dalam beberapa terminologi seperti “large-scale land development”, “megaproject-based land development”, “mega-project-based approach”, dan “urban real estate megaproject” (Aoun, 2016; Archer, 1977; Pratomo dkk., 2020; Qiu dan Xu, 2017; Shatkin, 2017; Zeković dkk., 2018). Pada perkembangan literatur terakhir, konseptualisasi terkait pengembangan lahan skala besar merujuk pada area pembangunan luas dengan nilai investasi tinggi dari sektor publik maupun swasta, yang terwujud dalam beberapa bentuk perubahan guna lahan yang beragam seperti kota baru, perumahan skala-besar, industri skala besar, infrastruktur skala besar, dan sebagainya (Archer, 1977; Pratomo dkk., 2020). Lahan tersebut dikembangkan menjadi kawasan dengan fungsi campuran (mixed- use), seperti pembangunan kota baru yang mencakup kawasan perumahan, kawasan industri, kawasan perkantoran, kawasan komersial, beserta fasilitas pendidikan, kesehatan, hiburan di dalamnya; maupun fungsi tunggal, seperti kawasan pariwisata, kawasan sains dan teknologi, pusat pemerintahan, dan proyek infrastruktur perkotaan besar (Nasrollahzadeh dan Koramaz, 2022; Qiu dan Xu, 2017; Shatkin, 2017). Pembahasan mengenai pengembangan lahan skala besar beririsan dengan literatur terkait megaproyek (“megaproject”) yang cukup ekstensif di dalam beberapa disiplin ilmu lain seperti geografi perkotaan, manajemen proyek, maupun studi organisasi. Kedua cabang literatur tersebut berfokus pada fenomena terkait berbagai jenis pembangunan proyek skala besar yang menghasilkan transformasi penggunaan lahan perkotaan melalui serangkaian tahapan proses pembangunan yang kompleks dan keterlibatan berbagai aktor (Shatkin, 2017; Silvestre & Jajamovich, 2022). Terdapat perbedaan perspektif dan detail pada tahapan atau siklus pembangunan pada kedua cabang literatur. Namun, isu terkait dinamika institusional dalam proses pembangunan menjadi salah satu fokus pembahasan, khususnya seiring dengan perkembangan tata kelola perkotaan neoliberal dimana pengembangan lahan skala besar didesain untuk memfasilitasi kepentingan 3 investasi dan meningkatkan daya saing perkotaan (del Cerro, 2019; Hawken dkk., 2021; Shatkin, 2017; Swyngedouw dkk., 2002; Zeković dkk., 2018). Penggunaan sumber daya yang masif dan penanganan dampak dari pengembangan lahan skala besar melibatkan jaringan pengambilan keputusan berbagai aktor swasta maupun publik di berbagai tingkatan pemerintahan (Aaltonen dan Kujala, 2010; Healey, 1991; Salet, 2008). Keterlibatan aktor dengan berbagai kepentingan dan strateginya mengakibatkan proses pengembangan lahan dipenuhi dengan dinamika kekuasaan, di mana koalisi elit sering kali menggunakan kekuasaan khusus untuk mengubah tatanan institusional seperti peraturan dan kebijakan (Sorensen, 2015; Swyngedouw dkk., 2002; Clegg, dkk., 2017). Akibatnya, keputusan-keputusan dalam perubahan tatanan institusional kemudian membentuk alternatif pembangunan di masa depan, yang pada akhirnya dapat memengaruhi hasil dan dampak pembangunan jangka panjang (Sorensen, 2016, 2018a; Thelen, 1999). Beberapa dampak yang dihasilkan, antara lain kenaikan harga lahan, pemindahan masyarakat, perubahan lapangan kerja, degradasi lingkungan, dll (Douglass, 2010; Swyngedouw dkk., 2002; Winarso dkk., 2015). Dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan sering kali terjadi pada jangkauan yang lebih luas dari area pembangunan, bahkan hingga memengaruhi struktur perkotaan (Dogan & Stupar, 2017; Hanakata & Gasco, 2018; Lehtonen, 2014). Dalam menjalankan proses pengembangan lahan skala besar yang sesuai dengan hasil dan dampak yang diharapkan, dibutuhkan suatu kerangka institusional yang membentuk konteks dan mengatur perilaku aktor menuju tujuan bersama, serta mengatasi perbedaan kepentingan dari koalisi kekuasaan (Clegg dkk., 2017; Salet, 2008; Levitt dan Scott, 2017). Oleh karena itu, teori dan analisis institusional pada pengembangan lahan dikembangkan untuk mengidentifikasi detail hubungan aktor yang terlibat di dalam negosiasi proyek pembangunan, mengeneralisasi perilaku aktor dan signifikansi kejadian di dalam proses pembangunan, serta menjelaskan hubungan antara kepentingan aktor, kejadian, dan struktur ekonomi dan politik yang lebih luas (Healey, 1991, hlm. 219-220). Dalam melakukan analisis institusional terkait proses pengembangan lahan, telah dikembangkan beberapa kerangka teoretis dan model dari beberapa pendekatan yang berbeda (Aldalbahi, 2020; Ball, 1986,1998; Bassett dan Short, 1980; Batbileg, 2010; Gore dan 4 Jicholson, 1991; Han dan Wang, 2003; Healey, 1991, 1992; Kauko, 2019; Li, 2019; Li dkk., 2018; Malik dan Tariq, 2021; Purkarthofer dan Stead, 2023; Squires dan Heurkens, 2016; Van der Krabben, 1995; Van der Krabben dan Lambooy, 1993). Pendekatan ekonomi neoklasik dan ekonomi politik Marxist yang pada awalnya banyak mendasari perkembangan model pengembangan lahan dan properti telah memperoleh kritik, dan pada akhirnya mendorong para peneliti untuk mempertimbangkan pendekatan institusionalisme di dalam proses pembangunan. Pemahaman dominan dari ekonomi neoklasik yang menganggap harga dan output di pasar tanah dan properti sebagai hasil interaksi antara permintaan dan penawaran yang dibentuk oleh maksimisasi utilitas perilaku konsumen individu dan maksimalisasi keuntungan perusahaan telah diterapkan dalam model pengembangan tanah dan properti. Beberapa teori dan model telah berusaha untuk menguji dampak dari sistem perencanaan terhadap harga tanah, kepadatan pemukiman, dan akses terhadap pekerjaan untuk memahami bagaimana perencanaan dapat mengintervensi sisi penawaran dan permintaan hingga keseimbangan tercapai (Berkovec & Fullerton, 1992; Cheshire & Sheppard, 1995; Markusen & Scheffman, 1978, O’Brien dkk., 2020). Karena beberapa kritik menyoroti keterbatasan model-model tersebut dalam menjelaskan kompleksitas proyek pembangunan, model berbasis peristiwa yang mencoba untuk menangkap urutan peristiwa kronologis dalam proses pembangunan dibangun (Healey, 1991; Gore dan Nicholson, 1991). Namun, model sekuensial berbasis peristiwa kurang memperhatikan rincian peran, strategi, dan kepentingan yang berbeda antaraktor dalam proses pengambilan keputusan yang mengarah pada dinamika pembangunan. Beberapa peneliti telah mengembangkan kerangka dan model institusional pengembangan lahan skala besar dari ketiga cabang teori new institutionalism yaitu rational choice, sociological institutionalism, dan historical institutionalism yang masing-masing berakar dari ilmu ekonomi, sosiologi, dan ilmu politik. Dari cabang rational choice, model transaction-cost minimising cukup banyak digunakan dalam menjelaskan biaya transaksi dalam proses pembangunan (Alexander, 2001; Buitelaar, 2004; 2007). Sociological institutionalism juga menjadi cabang teori dimana terdapat beberapa pengembangan jenis model seperti model agency 5 (Craven, 1969; Kaiser dan Weiss, 1970; Drewett, 1973; Bryant dkk., 1982; McNamara, 1983;1988; Ambrose, 1986) dan structure (Massey dan Catalano, 1978; Ball, 1986; Healey, 1992). Perdebatan teoretis dari kerangka teoretis dan model yang dikembangkan dari kedua cabang tersebut mengarah pada kritik akan keterbatasan kerangka dalam menjelaskan dinamika kekuasaan antaraktor di dalam proses pengembangan lahan (Gore dan Nicholson, 1991; Healey, 1991). Dengan menggunakan perspektif institusional, institusi atau rules of the game adalah hasil dari kompromi yang dibuat di tempat-tempat tertentu, pada waktu tertentu, dan sering kali merefleksikan keseimbangan kekuasaan yang ada saat peraturan tersebut dibentuk (Sorensen, 2015). Kekuasaan eksklusif yang dibangun dan digunakan oleh sektor swasta dalam pengembangan lahan skala besar merupakan hasil dari kemampuan mereka dalam mengelola dan memelihara kepentingannya (khususnya kepentingan kolektif melalui asosiasi bisnis) dan relasi yang kuat dengan partai politik dan pemerintah (Kenicihiro, 2015). Pada keberjalanannya, sektor swasta lebih sadar akan pentingnya memelihara, mengembangkan, dan mereproduksi relasi kekuasaan dibandingkan para perencana, pejabat publik, maupun politisi sehingga muncul suatu relasi asimetris antara rasionalitas pemerintah yang lemah dan kekuasaan swasta yang lebih kuat (Flyvbjerg, 1998). Akibatnya, sektor swasta mampu membatasi pilihan para pengambil keputusan (Winters, 1999); dan kemampuan sektor swasta dalam mereproduksi relasi kekuasaan dan membentuk koalisi elit sangat memengaruhi proses pengembangan lahan skala besar (Swyngedouw dkk., 2002). Beberapa penelitian yang telah mempertimbangkan relasi kekuasaan dalam pengembangan lahan skala besar, seperti structural dan structure-agency model dinilai masih memiliki kekurangan dan belum mampu menjelaskan bagaimana pengaruh perubahan institusional dan relasi kekuasaan terhadap proses pengembangan lahan skala besar (Biesenthal dkk., 2017; Hooper, 1992; Ball, 1998; Guy dan Henneberry; 2000; Li, 2019). Oleh karena itu, penelitian ini menjelaskan hubungan perubahan struktur institusional dan perilaku aktor terkait relasi kekuasaan dalam memengaruhi proses pengembangan lahan skala besar melalui kerangka teoretis yang dikembangkan berdasarkan pendekatan historical institutionalism yang diintegrasikan dengan teori relasi kekuasaan three- 6 dimensional power dari Steven Lukes. Historical institutionalism berfokus pada fenomena temporal yang membantu mengungkap konsekuensi dari perubahan institusi yang memiliki sifat kekuasaan politik serta strategi, preferensi, dan identitas aktor dari waktu ke waktu (Fioretos dkk., 2016). Oleh karena itu, historical institutionalism dianggap sebagai suatu pendekatan analitis untuk memahami kekuasaan dan agensi yang diperkuat dengan tujuan dan metodologinya untuk meneliti kondisi saat ini terkait dependensinya dengan kejadian di masa lalu (Triantafillou, 2016). Meskipun pendekatan historical institutionalism mulai digunakan dalam bidang perencanaan (Buitelaar et al., 2007, Sorensen, 2015), pendekatan ini belum benar-benar diterapkan pada riset terkait pengembangan lahan dan properti (Woestenburg, 2020) Selanjutnya, pendekatan three-dimensional power membantu menjelaskan pendetailan pada dimensi individual dimana para aktor menggunakan kekuasaannya untuk saling mempengaruhi kepentingannya. Pendekatan ini dibutuhkan karena pendekatan historical institutionalism belum cukup menjelaskan kekuasaan pada level individual, melainkan kekuasaan pada level institusional dan struktural. Pada penelitian sebelumnya yang menggunakan historical institutionalism, penjelasan terkait kekuasaan hanya mampu menjelaskan adanya struktur kekuasaan dari kelas atau kelompok ruling-elite yang mendominasi pembangunan. Dengan integrasi dengan three-dimensional power, maka memungkinkan penjelasan detail terkait proses perubahan institusional dengan menggunakan kekuasaan aktor dalam ruang pengambilan keputusan maupun pada diskursus serta perubahan kepentingan aktor yang berada di balik perubahan institusional dari waktu ke waktu. Relasi kekuasaan yang terus direproduksi dari waktu ke waktu menimbulkan kesulitan dalam analisisnya karena bagaimana sebenarnya kekuasaan bekerja tidak dapat terefleksikan dari kondisi yang terlihat saat ini. Namun, Pierson (2016) merujuk kepada penelitian Gaventa di tahun 1980 terkait analisis kekuasaan bahwa pengaruh politik dapat dideteksi melalui penelusuran proses historis dengan meneliti kontestasi mengenai pengaturan institusional dalam jangka waktu lama. Gaventa (1980) telah menunjukkan bahwa implikasi dari kekuasaan yang ada 7 memiliki struktur temporal yang jelas sehingga dimensi kekuasaan yang tersembunyi dapat dibuka melalui analisis historis. Selain itu, pada konteks pengembangan lahan skala besar di Indonesia, relasi kekuasaan telah terbentuk secara historis dari waktu ke waktu dan membawa konsekuensi yang saling terkait di masa depan. Regulator, investor, dan pejabat negara di Indonesia terikat dalam relasi kekuasaan asimetris yang sifat path- dependentnya berakar dari sejarah dan konflik sosial (Davidson, 2010). Penelitian ini mengangkat studi kasus pada salah satu pengembangan lahan skala besar di Indonesia, proyek Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Gagasan proyek reklamasi yang memiliki luas sekitar 5.173 Hektar ini telah ada sejak era Soeharto pada tahun 1995. Penerbitan Keputusan Presiden No. 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta dan Peraturan Daerah No. 8/1995 tentang Penyelenggaraan Reklamasi dan Rencana Tata Ruang Kawasan Pantai Utara Jakarta merupakan awal dari perencanaan reklamasi. Hasil penelitian ini mampu menjelaskan bagaimana para aktor menggunakan kekuasaan mereka untuk merancang dan mengubah institusi, khususnya pada masa krisis (perubahan eksogen), dan secara timbal balik bagaimana institusi-institusi tersebut menjadi tahan lama (path-dependent) dan melanggengkan kekuasaan eksklusif dalam pengembangan lahan skala besar dari waktu ke waktu. Kemudian, perubahan institusional yang terjadi dalam konteks site pengembangan lahan skala besar dan struktur yang lebih luas saling terkait melalui relasi kuasa yang terhubung antar tingkat atau unit spasial yang berbeda karena adanya aktor-aktor pengembangan lahan yang sama yang membangun jejaring kekuasaan dan memegang peran kunci di berbagai tingkatan tersebut. Penelitian ini juga mengungkapkan bagaimana relasi kekuasaan yang kuat dan terbangun secara historis sejak hampir tiga dekade di antara kelompok pengembang dan kelompok “elit” di dalam struktur pemerintahan memiliki signifikansi terhadap pengembangan lahan skala besar tersebut saat ini. Secara historis, perencanaan dan pembangunan proyek reklamasi melibatkan berbagai aktor dengan kepentingan dan strategi yang memengaruhi proses pengambilan keputusan dari waktu ke waktu. Dalam peneltian ini, lebih jauh 8 terlihat adanya dinamika perubahan kepentingan individu, perilaku oportunis, dan penggunaan kekuasaan secara aktif dari waktu ke waktu ( adaptive interest/preference) yang tidak dijelaskan pada penelitian sebelumnya. Pada kasus ini, bukan hanya perubahan eksogen, namun juga perubahan endogen yang dipicu dari perilaku oportunis aktor internal pengembangan lahan yang berpengaruh besar terhadap jalur pengembangan lahan skala besar. I.2 Persoalan Penelitian Pengembangan lahan skala besar merupakan pembangunan pada area luas dengan nilai investasi tinggi dari sektor publik maupun swasta, yang terwujud dalam beberapa bentuk perubahan guna lahan yang beragam seperti kota baru, perumahan skala-besar, industri skala besar, infrastruktur skala besar, dan sebagainya (Archer, 1977; Pratomo dkk., 2020). Berbagai kepentingan dan strategi para aktor yang terlibat membuat pengembangan lahan skala besar dipenuhi dengan dinamika kekuasaan di mana koalisi elit membangun jaringan dan menggunakan kekuasaan khusus mereka untuk mengintervensi kebijakan (Sorensen, 2015; Swyngedouw dkk., 2002; Clegg, dkk., 2017). Oleh karena itu, dalam upaya pembingkaian terkait tujuan bersama untuk mengatasi koalisi kekuasaan dan perbedaan kepentingan banyak aktor, dibutuhkan analisis institusional untuk merencanakan dan mengelola pengembangan lahan skala besar (Salet, 2008; Biesenthal dkk., 2017; Scott dan Levitt, 2017) Analisis institusional pada proyek skala-besar digunakan untuk mengidentifikasi detail hubungan agen yang terlibat di dalam negosiasi proyek pembangunan, mengeneralisasi perilaku aktor dan signifikansi peristiwa di dalam proses pembangunan, serta menjelaskan hubungan antara kepentingan aktor, peristiwa dalam pengembangan lahan skala besar, dan struktur ekonomi dan politik yang lebih luas (Healey, 1991, hlm. 219-220). Dalam melakukan analisis institusional terkait proses pengembangan lahan, telah dikembangkan beberapa kerangka teoretis dan model dari beberapa pendekatan yang berbeda (Aldalbahi, 2020; Ball, 1986,1998; Bassett dan Short, 1980; Batbileg, 2010; Gore dan Jicholson, 1991; Han dan Wang, 2003; Healey, 1991, 1992; Kauko, 2019; Li, 2019; Li dkk., 2018; Malik 9 dan Tariq, 2021; Purkarthofer dan Stead, 2023; Squires dan Heurkens, 2016; Van der Krabben, 1995; Van der Krabben dan Lambooy, 1993). Pendekatan neoklasik seperti dalam model equilibrium dan event sequence banyak digunakan pada awal perkembangan literatur. Model equilibrium yang berasal dari teori ekonomi neo-klasik mengasumsikan bahwa aktivitas pembangunan atau supply property terjadi akibat sinyal ekonomi mengenai demand efektif (demand akan properti baru). Model ini telah dikembangkan oleh Markusen dan Scheffman (1978), Cheshire dan Sheppard (1989), Berkovec dan Fullerton (1992). Model event sequence yang berfokus pada managemen tahapan proses pembangunan juga telah mengalami beberapa proses pengembangan oleh Cadman dan Austin-Crowe (1978), Ratcliffe (1978), Punter (1985), Barret dkk. (1978), Gore dan Nicholson (1985), serta Goodchild dan Munton (1986). Namun, pendekatan tersebut masih memperoleh banyak kritik karena mekanisme persaingan pasar ideal tidak sepenuhnya terjadi dalam pengembangan lahan properti dan perhatian akan perilaku aktor dan institusi dianggap perlu dikembangkan lebih lanjut. Para peneliti kemudian mempertimbangkan pendekatan institusionalisme atau new institutionalism di dalam proses pengembangan lahan. Beberapa peneliti telah mengembangkan kerangka teoretis dan model institusional dalam pengembangan lahan skala besar dari cabang teori new institutionalism yaitu rational choice, sociological institutionalism, dan historical institutionalism yang masing-masing berakar dari ilmu ekonomi, sosiologi, dan ilmu politik. Dari cabang rational choice, terdapat beberapa jenis model yaitu model transaction-cost minimizing dan structure of property right regime. Teori dan model transaction-cost minimising berpendapat bahwa institusi dan struktur organisasinya muncul untuk meminimimalisasi biaya transaksi yang berhubungan dengan produksi dan perdagangan (Healey, 1991). Alexander (2001) dan Buitelaar (2004) merupakan peneliti yang mengembangkan model transaction-cost minimizing. Sociological institutionalism juga menjadi cabang teori dimana terdapat beberapa pengembangan jenis model seperti model agency, structure, dan agency-structure. Model agency menekankan peran berbagai aktor dalam proses dan pentingnya keputusan dan tindakan yang mereka ambil dalam proses pembangunan (Gore dan 10 Nicholson, 1991). Pengembangan model ini dilakukan oleh beberapa peneliti, antara lain Craven (1969), Kaiser dan Weiss (1970), Drewett (1973), Bryant dkk. (1982), McNamara (1993), dan Ambrose (1986). Kemudian, terdapat model structure yang berusaha bergeser dari pandangan neo-klasik terkait mekanisme pasar ke arah kepentingan atau dorongan aktor; dimana pasar terbentuk dari relasi kekuasaan diantara pemilik modal, pekerja, dan pemilik lahan (Healey, 1991). Model ini dikembangkan oleh Massey dan Catalano (1978), Ball (1986), dan Healey (1992). Dari kerangka teoretis dan model institusional terkait pengembangan lahan yang telah berkembang, Gore dan Nicholson (1991) dan Healey (1991) memberikan beberapa kritik. Pertama, model hanya dapat digunakan untuk jenis proyek pembangunan dalam kondisi stabil yang didorong oleh pasar properti aktif dan tidak didominasi oleh beberapa operator besar. Kedua, dimensi institusional seperti strategi dan kepentingan dari sisi produksi masih minim penjelasan. Ketiga, sisi produksi di bawah kendali banyak agen yang dapat menyebabkan dinamika kekuasaan di antara mereka sehingga membutuhkan penelitian lebih lanjut. Hal ini yang kemudian mendorong Healey (1992) mengembangkan model institusional proses pengembangan lahan berdasarkan structural model sebagai kerangka kerja untuk mempertimbangkan relasi kekuasaan. Namun, model yang dikembangkan Healey (1992) tersebut dinilai masih memiliki banyak kekurangan oleh Hooper (1992), Ball (1998), dan Guy dan Henneberry (2000), yaitu: (1) Belum adanya konseptualisasi yang baik terkait struktur institusional dan aktor dalam pengembangan lahan; (2) Institusi tidak bisa hanya dianggap sebagai hubungan perantara antara struktur dan agensi yang hanya memerlukan teori tentang hubungan sosial dan kemudian dihubungkan kembali ke dunia material melalui sebuah hubungan dengan produksi; (3) Gagal menjelaskan bagaimana struktur ekonomi politik memengaruhi strategi aktor dalam praktik pembangunan lokal. Hingga saat ini, teori-teori yang berkembang masih belum dapat memberikan kerangka kerja yang cukup untuk meneliti konfigurasi kekuasaan dengan mempertimbangkan secara bersama-sama pengaruh dan fungsi timbal balik dari konteks institusional eksternal yang lebih luas dan interaksi para agen (Li, 2019; Li 11 dkk., 2018). Li (2019) yang mencoba mengembangkan kerangka teoretis untuk menganalisis relasi kekuasaan dalam pengembangan lahan skala besar menggunakan teori strukturasi Giddens (1984) dan Ostrom (2005) masih memiliki beberapa kekurangan. Pertama, elemen waktu tidak dipertimbangkan dengan seksama sehingga perubahan relasi kekuasaan dan konflik khususnya dalam perubahan institusional secara historis tidak terlihat. Padahal, untuk memahami konteks institusional dalam proses pengembangan lahan seiring berjalannya waktu, diperlukan konsepsi terkait konteks institusional yang lebih dinamis dan perubahan komposisi kelompok aktor serta hubungan kekuasaan antara aktor tersebut dari waktu ke waktu (van der Krabben & Lambooy, 1993). Selain itu, dimensi kekuasaan yang tersembunyi dapat dibuka melalui analisis historis (Gaventa, 1980). Kemudian, pada pendekatan yang menganalisis aktor berbasis kelas sebagaimana dikembangkan dalam model Healey (1992), Li dkk. (2018), dan Li (2019), membatasi untuk melihat lebih jauh dinamika perubahan kepentingan aktor dari waktu ke waktu (adaptive interest/preference) dan perilaku oportunis aktor dengan kepentingan ambigu (yang tidak termasuk ke dalam kelas) namun memiliki dampak terhadap perubahan institusional (Mahoney dan Thelen, 2010). Dengan demikian, belum terdapat penelitian yang mampu menjelaskan dengan baik terkait pengaruh perubahan institusional dan relasi kekuasaan terhadap proses pengembangan lahan skala besar. Kerangka dan model institusional terkait proses pengembangan lahan skala besar sebagian besar diturunkan dari cabang rational choice dan sociological institutionalism. Sementara itu, historical institutionalism yang memiliki peluang untuk memberikan kontribusi besar pada pemahaman kekuasaan politik belum banyak dikembangkan dalam kerangka dan model institusional pengembangan lahan (Pierson, 2016; Biesenthal dkk., 2017).