1 Bab I Pendahuluan Pendahuluan merupakan bagian awal yang berfungsi untuk memberikan gambaran terkait konteks dan pentingnya penelitian ini dilakukan. Pada bagian ini, penulis memaparkan topik penelitian yang tercermin dalam latar belakang penelitian, rumusan masalah penelitian, tujuan dan sasaran penelitian, proposisi, manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian, kerangka pemikiran, dan ditutup oleh sistematika penulisan tesis. I.1 Latar Belakang ”…kita menyaksikan kebangkitan neoliberalisme otoriter, yang berakar pada konfigurasi ulang negara menjadi entitas yang kurang demokratis melalui perubahan konstitusi dan hukum yang berupaya mengisolasi negara dari konflik sosial dan politik” – Ian Bruff, 2014 – Di era globalisasi kapitalis saat ini, neoliberalisme telah membentuk dan meningkatkan keterikatan jejaring masyarakat dunia melalui domain ekonomi dan politik yang terhubung secara global (Beck & Germann, 2019; Beck, 2009; Went, 2000). Neoliberalisme telah menjadi ideologi kuat dalam mengatur tatanan ekonomi dunia melalui peningkatan peran sektor privat dalam mempromosikan pertumbuhan ekonomi serta pengurangan intervensi negara untuk melihat kemungkinan dan peluang yang didasarkan pada keinginan pasar (McDounough dkk., 2010; Ryan, 2017). Melalui proses globalisasi dan neoliberalisasi, pergerakan kapital, investasi, dan perdagangan lintas negara menjadi lebih mudah dan mendorong berbagai negara untuk menstrukturkan kebijakan mereka dalam rangka mempercepat pertumbuhan ekonomi yang sejalan dengan pembangunan dan perkembangan dunia (Went, 2000). Neoliberalisme merupakan ideologi politik dan ekonomi versi lanjut dari pemikiran ekonomi liberal klasik yang dominan di Amerika Serikat dan Inggris sebelum depresi besar tahun 1930-an (Kotz, 2002; McDounough dkk., 2010; Plehwe dkk., 2 2006). Neoliberal mengklaim bahwa sistem kapitalis seharusnya tidak diatur (ekonomi pasar bebas), sehingga cita-cita kebebasan pilihan individu dan optimalisasi kinerja ekonomi sehubungan dengan efisiensi, pertumbuhan ekonomi, kemajuan teknis, dan keadilan distribusi dapat tercapai (Kotz, 2002; McDounough dkk., 2010). Neoliberalisme dalam menjalankan praktik politik, institusi, ekonomi, bahkan ideologi berjalan dan berdiri stabil hingga momen krisis ekonomi dunia tahun 2008 (Ryan, 2017). Namun, pasca krisis moneter 2008, eksistensi kekuatan neoliberalisme yang orisinal dipertanyakan oleh negara Benua Eropa dan Inggris (Ryan, 2017, 2019). Perdebatannya adalah bahwa negara dan ekonomi keduanya dianggap berada pada kondisi kritis akibat adanya krisis yang sedang berlangsung. Lebih jauh, para ilmuan dari kedua negara tersebut beranggapan bahwa neoliberal tidak dapat menjawab masalah yang terjadi (Ryan, 2017, 2019). Sehingga, neoliberalisme dipertanyakan keandalannya dalam menangkap kemungkinan kondisi pasca krisis tersebut (Bruff, 2014; Ryan, 2017, 2019; Tansel, 2017). Krisis ekonomi dunia pasca krisis yang ditandai dengan kegagalan kebijakan ekonomi menyebabkan inflasi, peningkatan utang publik dan swasta, tingkat pengangguran yang tinggi, dan angka investasi yang rendah (Ryan, 2017, 2019). Kasus-kasus tersebut menjadi alasan untuk menanyakan kelayakan neoliberalisme sebagai praktik manajemen dan mengatur ekonomi (Ryan, 2017). Bersamaan dengan periode krisis ekonomi dunia tersebut, khususnya bagi negara yang menganut sistem pemerintah demokrasi, aspirasi dalam berdemokrasi menghadapi berbagai tantangan (Bruff, 2014; Ryan, 2017, 2019; Tansel, 2017). Contohnya dapat dilihat melalui pengalaman yang terjadi di Turki yang mana keberhasilan referendum mengakibatkan pembatasan pada kebebasan berpolitik (Ryan, 2017). Ini menggambarkan pergerakan anti-establishment dan anti-statism di berbagai belahan dunia, begitu pula sejalan dengan kegunaan dari konstitusi dan mekanisme legal untuk membatasi cakupan dari politik demokrasi (Ryan, 2017, 2019). Dalam menghadapi krisis, neoliberalisme menjadi tangguh (resilience) melalui penetrasinya yang mengakibatkan perubahan tertentu terhadap negara (Bruff, 2014; Ryan, 2019). Negara sebagai sistem sosial berubah dengan perlahan dan tidak 3 secara keseluruhan (Althusser, 2015). Masing-masing bidang organisasi sosial yang dimiliki oleh negara berubah dengan tingkat dan logika perubahan yang berbeda (Althusser, 2015). Perubahan pada negara ditujukan untuk mencegah adanya konflik sosial dan politik melalui rekonfigurasi struktur kelembagaan dan tata kelola yang menjadi kurang demokrasi dengan bantuan instrumen konstitusi dan hukum (Bruff, 2014). Akibatnya adalah negara-negara demokrasi yang kapitalis mulai menjadi otoriter dalam menjalankan negaranya (Bruff, 2014; Ryan, 2017, 2019). Praktik neoliberalisme yang dilakukan secara otoriter oleh negara kemudian dikenal dengan istilah neoliberalisme otoriter (authoritarian neoliberalism). Neoliberalisme otoriter sering digunakan dalam ilmu politik untuk menjelaskan keterkaitan antara krisis ekonomi global tahun 2008 dengan perilaku pemerintah yang semakin otoriter dalam menjalankan negaranya (Bruff, 2014; Bruff & Tansel, 2019; Ryan, 2017; Tansel, 2017). Praktik neoliberalisme otoriter menyebar tidak hanya di Benua Amerika dan Eropa, tetapi juga dirasakan hingga seluruh dunia (lihat Duckett, 2020; Harrison, 2019; Juego, 2018; Springer, 2009). Sekarang, meskipun tidak terkait langsung dengan kondisi krisis yang terjadi tahun 2008, praktik neoliberalisme otoriter di berbagai negara telah teridentifikasi dan eksistensinya masih berterus berkembang dan bermutasi sesuai dengan konteks sistem sosial dan geografi di mana kasus tersebut berada (Althusser, 2015; Ryan, 2017). Di Indonesia, perilaku pemerintah pada satu dekade terakhir dianggap mencerminkan praktik neoliberalisme dan (neo)otoritarianisme (Pangestu, 2020; Power, 2018; Warburton, 2016). Praktik neoliberalisme oleh pemerintah Indonesia sering diasosiasikan dengan model pembangunan baru “new developmentalism” yang ditunjukkan oleh orientasi kebijakan pembangunan infrastruktur yang materialistis dan pragmatis (Pangestu, 2020; Warburton, 2016). Praktik ini mengacu pada hubungan pemerintah dan pasar dalam mendukung berbagai macam proyek pembangunan yang terjalin erat melalui ekstraksi sumber daya (Gellert, 2019). Hal ini dapat terjadi karena banyak pengusaha yang menyokong penguasa dan terlibat langsung dalam pembuatan kebijakan sehingga mengakibatkan 4 dominasi yang signifikan oleh para oligarki dalam pemerintahan dan perumusan berbagai macam peraturan (Warburton, 2016). Di sisi lain, masifnya pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh pemerintah ditopang oleh peraturan yang menguatkan kontrol pemerintah, represif terhadap minoritas, pelemahan terhadap beberapa institusi penopang keadilan, hingga pembatas terhadap pers yang menjaga kondisi kondusif bernegara (Pangestu, 2020; Power, 2018). Power (2018) menyampaikan bahwa perilaku pemerintahan Indonesia selama paruh kedua masa Presiden Joko Widodo menunjukkan adanya penurunan dalam proses demokrasi “authoritarian turn”. Hal tersebut berimplikasi bukan hanya pada sistem politik bangsa, tapi juga terhadap tata kelola/kelembagaan termasuk di dalamnya pada proses pembangunan (Muchadenyika & Williams, 2017; Power, 2018). Perilaku pemerintah dalam menjalankan pemerintah dan proses pembangunan ini menjadi instrumen kunci dalam melihat sebuah proyek pembangunan yang terjadi pada suatu negara. Salah satunya adalah pembangunan mega proyek Ibu Kota Negara (IKN) Indonesia. I.2 Rumusan Masalah Pemerintah Republik Indonesia melalui Presiden Joko Widodo mengumumkan untuk memindahkan Ibu Kota Negara (IKN) Indonesia pada 16 Agustus 2019. Nusantara, nama Ibu Kota baru Negara Indonesia, bisa dilihat sebagai sebuah lambang dari peningkatan jumlah kota-kota di Asia yang sedang dibangun selama beberapa dekade terakhir (Al Faruq, 2021; Farida, 2021; Syaban & Appiah-Opoku, 2023). Tren ini merupakan bagian yang lebih luas dari keterlibatan negara-negara di Asia sebagai kontributor dalam urbanisasi yang bersifat membangunan dengan melibatkan aktor swasta dan juga negara (Al Faruq, 2021; Syaban & Appiah- Opoku, 2023). Urbanisasi yang developmentalisme menghasilkan bentuk-bentuk kota yang unik dengan melibatkan hubungan antar aktor yang kompleks, yaitu negara, pemilik kapital (elite), dan pemain dalam politik pertanahan (Al Faruq, 2021; J. H. Chan dkk., 2016). Jaringan hubungan itu secara khusus menghasilkan gelombang proyek yang mengarahkan pada jalan-jalan baru yang inovatif untuk mendorong penciptaan sebuah kota melalui berbagai skema perencanaan, desain, 5 dan pembangunan yang terjadi sebagai bagian dari globalisasi kapital (Al Faruq, 2021; Weber, 2002). Selama ini, publikasi terkait pembangunan IKN Indonesia hanya sebatas memaparkan rasionalitas pembangunan IKN dari perspektif teknis dan pendekatan prosedural. Misalnya berkaca pada rencana yang ditetapkan oleh pemerintah “Buku Saku IKN” yang dikeluarkan oleh Bappenas, penekanan publikasi ini adalah alasan yang mendorong pemindahan IKN yang berfokus pada kelemahan Jakarta sebagai faktor pendorong dan alasan yang menjadi penarik kota yang akan dijadikan ibu kota penggantinya (Bappenas, 2021). Tidak jauh berbeda dengan apa yang dikeluarkan pemerintah, beberapa publikasi penelitian di awal pembangunan IKN juga bersifat normatif yakni sebatas pada konfirmasi alasan teknis yang disampaikan oleh pemerintah seperti pada publikasi Farida (2021) dan Syaban & Appiah-Opoku (2023); serta pembanding terhadap apa yang telah disampaikan pemerintah seperti pada publikasi Aziz (2020), Mubaroq & Solikin (2019), serta Rachmawati dkk (2021). Perspektif kritis diperlukan untuk melihat keputusan pemindahan IKN sebagai sebuah luaran politik “political outcomes” (Abusaada dkk., 2023; Ghalib dkk., 2021; Hudalah, 2023; Rossman, 2017; Schatz, 2003, 2004) Perspektif kritis dapat digunakan untuk melihat dualitas proses pemindahan IKN sebagai suatu hal yang kompleks (Ghalib dkk., 2021; Gilbert, 1989; Rossman, 2017; Schatz, 2003, 2004). Artinya proses pengambilan keputusan tidak dapat hanya dijelaskan dengan logika- logika teknis saja. Dalam perspektif kritis, perencanaan dan pembangunan IKN dapat dipahami secara menyeluruh dan seksama, yakni dengan mempersoalkan dalam sebuah diskusi yang terbuka, mulai dari proses perumusan keputusan pemindahan dilahirkan, interaksi antar aktor merumuskan kebijakan pemindahan berlangsung, hingga strategi pemerintah dalam menyukseskan pemindahan IKN. Oleh karena itu, penelitian ini mencoba mengeksplorasi bagaimana proses pemindahan ibu kota dari perspektif kritis yaitu menggunakan lensa neoliberalisme otoriter. 6 I.3 Tujuan dan Sasaran Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pengaruh pendekatan neoliberalisme otoriter dalam proses relokasi IKN Indonesia.