11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Kerjasama Pemerintahan dan Badan Usaha (KPBU) atau Public Private Partnerships (PPP) II.1.1. Pengertian KPBU atau PPP Dikutip dari Delmon (2011), PPP atau KPBU adalah berbagai bentuk kontrak atau relasi kontraktual atau relasi hukum antara pihak publik/pemerintah dan pihak badan usaha, dengan tujuan untuk meningkatkan atau melebarkan layanan infrastruktur, tapi tidak dikerjakan langsung oleh pemerintah. KPBU menunjukan sebuah upaya untuk meningkatkan infrastruktur yang sungguh berbeda dari pengadaan tradisional oleh pemerintah, dengan tantangan tertentu. Menurut World Bank, dkk. (2014), KPBU adalah mengadakan aset dan layanan baru maupun membangun aset dan layanan yang telah eksis, dengan melibatkan pihak badan usaha yang dibayar melalui pembangunan aset dan layanan tersebut, dan pihak pemerintah melakukan pembayaran dari situ. Proyek KPBU tersebut memfungsikan pihak badan usaha sebagai pihak yang mengerjakan desain, konstruksi, keuangan, operasi dan pemeliharaan sesuai kontrak, tapi dengan syarat pihak badan usaha tersebut akuntabel untuk proyek tersebut, dan dapat menanggung risiko yang signifikan serta bertanggung jawab atas manajemen proyek tersebut. Pembangunan infrastruktur adalah hal lumrah dalam kegiatan di dalam suatu negara. Pembangunan tidak selalu harus bermodalkan dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) ataupun Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Salah satu metode pemodalan bisa melalui Public Private Partnership (PPP) atau Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). Skema KPBU atau PPP sebenarnya sudah diadopsi pada tahun 1974 di Indonesia, untuk pembangunan jalan tol Jakarta-Bogor-Ciawi. Pada saat itu sumber pembiayaan berasal dari pinjaman luar negeri, bukan dari swasta dan proyek tidak dilelang secara terbuka melainkan penunjukkan langsung. Pada pemerintahan Indonesia di masa proposal tesis ini disusun, Indonesia diperkirakan akan menjadi negara dengan populasi terbanyak keempat di dunia. Indonesia mengalami pertumbuhan PDB yang signifikan dalam 9 tahun, dari 165 Juta USD pada tahun 2000 menjadi 1.119 Juta USD pada tahun 2019. Untuk mempertahankan pertumbuhan PDB tersebut, dibutuhkan modal sebesar 6.445 Triliun Rupiah dalam membangun infrastruktur sedangkan kemampuan pemerintah dalam membangun infrastruktur hanya bisa sampai 2.385 Triliun Rupiah atau 37% dari kebutuhan (BAPPENAS, 2021). KPBU atau PPP sebagai kebijakan publik memiliki tujuan tertentu yang ingin dicapai, yaitu menutup kesenjangan finansial (financial gap) yang terjadi 12 akibat ketidakcukupan anggaran Pemerintah Indonesia dalam membiayai infrastruktur (Toyib and Nugroho, 2018). Melalui PPP, swasta diharapkan dapat memberikan pelayanan publik yang lebih baik dari pemerintah. Mengingat selama ini pihak swasta umumnya lebih efisien dalam menerapkan manajemen pengelolaan yang modern, biaya yang lebih murah dan terjangkau (Adji, 2010). Secara umum, terdapat beberapa tahap dalam pelaksanaan proyek KPBU. Yescombe dan Farquharson (2018) mengatakan bahwa ada 4 tahap dalam pelaksanaan proyek KPBU, yaitu: • Initial Feasibility • Procurement Phase • Construction Phase • Operation Phase Initial Feasibility adalah tahap awal dalam pelaksanaan KPBU. Pihak pemerintah membuka kasus pembangunan untuk memutuskan apakah proyek pembangunan tersebut akan dilaksanakan dengan skema KPBU atau tidak. Proses ini melewati langkah seperti penyusunan rencana anggaran biaya awal dan juga presentasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan untuk mendapatkan persetujuan secara politik. Pihak pemerintah membutuhkan struktur proyek manajemen dalam hal ini. Procurement Phase adalah tahap setelah proyek akhirnya disetujui untuk dilaksanakan dengan skema KPBU. Pada tahap ini, dicari berbagai badan usaha sebagai peserta yang akan menjalankan kontrak dengan melalui tender. Pihak pemenang tender wajib untuk melaksanakan kewajiban seperti pembangunan konstruksi proyek, pelaksanaan operasional dan lain sebagainya, berhak untuk mendapatkan hak-hak dalam kontrak KPBU yang akan dilaksanakan, seperti berhak menarik revenue/pendapatan dari umum ataupun mendapatkan tipping fee dari pemerintah. Begitupun pihak pemerintah yang juga memiliki kewajiban tertentu seperti membayar tipping fee, menyediakan lahan dan lain sebagainya sesuai kontrak, serta mendapatkan hak tertentu sesuai kontrak. Pada tahap Construction phase, pihak badan usaha melaksanakan pembangunan sesuai kontrak yang telah ditetapkan. Selama tahap ini, seluruh modal yang berasal dari investor maupun bank, dikerahkan untuk pembangunan konstruksi. Jika konstruksi selesai, maka tanggal berdirinya konstruksi tersebut ditetapkan sebagai mulainya proyek KPBU beroperasional. Tahap selanjutnya adalah Operation phase yaitu tahap kontrak KPBU dilaksanakan. Pihak badan usaha akan mendapatkan revenue seperti yang telah dijanjikan dalam kontrak, yang keuntungannya akan menjadi milik badan usaha, investor maupun bank dengan melaksanakan kewajiban operasional, begitupun pihak pemerintah yang 13 berkewajiban untuk memberikan tipping fee sesuai yang telah dijanjikan dalam kontrak, dan akan mendapatkan fasilitas dari proyek KPBU tersebut jika kontrak telah selesai. Dalam kasus KPBU TPPAS Legok Nangka, jika berdasarkan tahap yang disebutkan di atas, maka KPBU TPPAS Legok Nangka berada di tahap procurement phase. Jika mengikuti dengan peraturan yang ada di Indonesia, maka tahap ini disebut dengan tahap transaksi yang berisi mengenai pengadaan Badan Usaha dan berlangsungnya tender, yang akan dijelaskan pada subbab II.2. II.1.2. Pengertian KPBU Sesuai Perpres No. 38 Tahun 2015 dan Permen PPN/Kepala Bappenas No. 2 Tahun 2020 KPBU di Indonesia diatur oleh Perpres No. 38 Tahun 2015 dan Peraturan Menteri PPN/Kepala Bappenas Nomor 2 Tahun 2020. Berdasarkan Perpres No. 38 Tahun 2015, KPBU adalah adalah kerjasama antara pemerintah dan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur untuk kepentingan umum dengan mengacu pada spesifikasi yang telah ditetapkan sebelumnya oleh Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah/Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yang sebagian atau seluruhnya menggunakan sumber daya Badan Usaha dengan memperhatikan pembagian risiko diantara para pihak. Jenis infrastruktur yang dapat dilakukan dengan skema KPBU juga diatur dalam Perpres No. 38 Tahun 2015. Infrastruktur yang dimaksud harus memiliki nilai ekonomi maupun nilai sosial. Infrastruktur tersebut di antaranya adalah Infrastruktur transportasi, Infrastruktur jalan, Infrastruktur sumber daya air dan irigasi, infrastruktur air minum, Infrastruktur sistem pengelolaan air limbah terpusat, Infrastruktur sistem pengelolaan air limbah setempat, Infrastruktur sistem pengelolaan persampahan, Infrastruktur telekomunikasi dan informatika, Infrastruktur ketenagalistrikan, Infrastruktur minyak dan gas bumi dan energi terbarukan, Infrastruktur konservasi energi, Infrastruktur fasilitas perkotaan, Infrastruktur fasilitas pendidikan, Infrastruktur fasilitas sarana dan prasarana olahraga serta kesenian, Infrastruktur kawasan, Infrastruktur pariwisata, infrastruktur kesehatan, Infrastruktur lembaga pemasyarakatan dan Infrastruktur perumahan rakyat. Setiap proyek KPBU bisa melaksanakan pembangunan 2 atau lebih jenis infrastruktur. Dalam kasus KPBU TPPAS Legok Nangka pembangunan infrastruktur menjadi dua jenis, yaitu infrastruktur sistem pengelolaan persampahan yang diintegrasikan dengan infrastruktur ketenagalistrikan dalam satu tempat. Dalam pelaksanaan KPBU terdapat aktor-aktor atau pemangku kepentingan di dalamnya, yaitu Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah sebagai Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK). Selain Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ataupun Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dapat menjadi PJPK. Penunjukan PJPK ini diatur sesuai dari peraturan perundang- 14 undangan sektor.