Hasil Ringkasan
BAB 2 Nisa Zafirah

Jumlah halaman: 20 · Jumlah kalimat ringkasan: 50

13 Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Pengurangan Risiko Bencana (PRB) dan Manajemen Risiko Bencana UNDRR mendefinisikan Pengurangan Risiko Bencana (PRB) merupakan suatu konsep dan praktik upaya mengurangi risiko bencana melalui upaya sistematis untuk menganalisis risiko dampak dan mengurangi sebab-sebab terjadinya kerusakan dan kerugian dari terjadinya bencana (UNDRR). Pengurangan risiko bencana meliputi upaya mengurangi keterpaparan terhadap ancaman bahaya, upaya mengurangi kerentanan secara utuh (ekonomi, sosial, fisik dan lingkungan), dan meningkatkan kesiapsiagaan termasuk mengembangkan sistem peringatan dini yang bekerja cepat dan efektif dalam menerima, memproses dan menyalurkan informasi potensi bencana. Sendai Framework for Disaster Risk Reduction (SFDRR), sebuah kesepakatan hasil Konferensi PBB tahun 2015, menjabarkan target dan strategi upaya yang perlu dilakukan untuk tahun 2015-2030 yang berisikan 7 target dan 4 prioritas aksi untuk mengurangi risiko bencana, menguatkan tata kelola bencana dan meningkatkan kapasitas utamanya dalam mitigasi, kesiapsiagaan dan pencegahan, dan tanggap darurat bencana. Untuk mengurangi risiko bencana, kesepakatan SFDRR menekankan pentingnya pemahaman risiko bencana, pengurangan risiko bencana untuk ketahanan melalui investasi dan peningkatan kesiapsiagaan untuk menekan jumlah korban jiwa akibat bencana pada saat tanggap darurat. Dirumuskan dan disepakatinya target pengurangan risiko bencana dalam SFDRR berkaitan dengan konsep pembangunan berkelanjutan dalam Sustaineble Development Goals (SDGs) dimana keduanya bertujuan untuk membangun ketahanan dan mengarusutamakan pembangunan berkelanjutan. Perumusan kebijakan pembangunan yang ditujukan sejalan dengan indikator dalam SDGs memiliki relevansi dengan tujuan dan prioritas aksi PRB yang ada pada SFDRR dimana keduanya tidak bisa terlepas satu sama lain (Wen et al., 2023). Pengurangan risiko bencana dan pembangunan berkelanjutan keduanya memiliki keterkaitan erat dimana adanya kerusakan dan dampak yang diakibatkan oleh 14 suatu bencana termasuk bencana akibat perubahan iklim, tidak hanya dapat menyulitkan pencapaian pembangunan yang berkelanjutan tapi juga dapat menghapus upaya pembangunan terdahulu (Wen et al., 2023). Salah satu kasus di Sri Lanka mengenai kebijakan adaptasi perubahan iklim, pengurangan risiko bencana dan pembangunan berkelanjutan menunjukkan diperlukannya pendekatan dan koordinasi yang terintegrasi dalam membahas masalah pengurangan risiko bencana sekaligus mencapai SDGs dengan ditunjukkannya bagaimana keberhasilan implementasi kebijakan pengurangan risiko bencana berdampak positif dalam menekan kerugian ekonomi (Swaris et al., 2023). Eratnya hubungan antara pengurangan risiko bencana dan pembangunan berkelanjutan menekankan pentingnya pengintegrasian konsep pengurangan risiko bencana ke dalam upaya pembangunan berkelanjutan untuk membangun ketahanan dan mengurangi risiko bencana (Farhanrika et al., 2023). Dalam implementasinya, pengurangan risiko bencana dirumuskan menjadi target dan strategi manajemen risiko bencana. Manajemen risiko bencana oleh UNDRR diartikan sebagai aplikasi atau praktik dari kebijakan dan strategi pengurangan risiko bencana untuk mencegah terjadinya risiko bencana yang baru, mengurangi risiko bencana yang ada saat ini, dan mengelola risiko lainnya sebagai upaya penguatan ketahanan dan pengurangan kerugian akibat bencana. Secara teori, pengurangan risiko bencana memiliki fokus pada menekan atau mengurangi kerentanan dan dampak bencana, sedangkan manajemen risiko bencana memiliki fokus pada bagaimana merespon bencana meliputi kesiapsiagaan, tanggap darurat dan pemulihan (Chisty et al., 2022). Keduanya, pengurangan risiko bencana dan manajemen risiko bencana dibahas dalam kesepakatan SFDRR yang menekankan keterkaitan antar kedua konsep dan integrasi pendekatan pengurangan risiko bencana ke dalam kebijakan dan praktik manajemen risiko bencana. Dalam implementasinya, UNDRR menggambarkan siklus manajemen risiko bencana sebagai berikut. Sebelum terjadinya bencana, dilakukan upaya mitigasi dan pencegahan, dan upaya kesiapsiagaan, dan ketika terjadi bencana dilakukan tindakan respon dan dilanjutkan dengan upaya rehabilitasi dan pemulihan. 15 Konsep perencanaan dalam manajemen risiko bencana di Indonesia mengacu pada Undang-undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan Peraturan Kepala BNPB No. 4 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana. Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Sebagaimana didefinisikan dalam UU 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, penyelenggaraan Penanggulangan Bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi. Rangkaian kegiatan tersebut apabila digambarkan dalam siklus penanggulangan bencana adalah sebagaimana ditunjukkan pada gambar berikut. Gambar II-1Fase Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana (Sumber: Perka BNPB No. 4/2008 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana) Dalam kemudahan praktik dan pengarusutamaan dalam perumusan kebijakan, manajemen risiko bencana terbagi atas 3 fase utama yaitu pra bencana, tanggap 16 darurat dan pasca bencana. Fase pra bencana meliputi upaya dengan tujuan untuk mencegah terjadinya bencana, mengurangi dampak atau risiko yang mungkin terjadi, dan mempersiapkan kapasitas masyarakat dan pemangku kepentingan dalam menghadapi dan merespon fase tanggap darurat bencana, yang secara umum diklasifikasikan menjadi upaya mitigasi, pencegahan dan kesiapsiagaan. Fase tanggap darurat meliputi serangkaian upaya penyelamatan diri atau evakuasi dari tempat adanya bahaya ke tempat yang aman atau Tempat Evakuasi Sementara (TPS) dan Tempat Evakuasi Akhir (TPA) yang perencanaannya telah dilakukan pada fase pra bencana. Dalam implementasinya di Indonesia, manajemen risiko bencana dirumuskan ke dalam kebijakan serta diarusutamakan dalam rencana pembangunan baik pada tingkat nasional, provinsi maupun kota dan kabupaten. Diselaraskan, dan menjadi acuan bagi perencanaan pembangunan dan perencanaan tata ruang, kebijakan manajemen bencana diatur oleh pemerintah pusat dalam UU dan PP yang kemudian diturunkan pada Perda dan Pergub. Berikut kebijakan manajemen risiko bencana, perencanaan pembangunan dan perencanaan tata ruang secara umum pada tingkat nasional, dan secara khusus pada tingkat provinsi (Provinsi Banten) dan kota (Kota Cilegon). Tabel II-1 Kebijakan Manajemen Risiko Bencana, Perencanaan Pembangunan dan Perencanaan Tata Ruang Pada Tingkat Nasional, Provinsi Banten, dan Kota Cilegon Tingkat/ Tahun Manajemen Risiko Bencana Perencanaan Pembangunan Perencanaan Tata Ruang Nasional/ 2004- 2020 • UU No. 24/2007 (Penanggunangan Bencana) • PP No. 21/2008 (Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana) • PP No. 22/2008 (Pendanaan & Pengelolaan Bantuan Bencana) • PP No. 22/2008 (Peran Serta Lembaga Internasional dan • UU No. 25/2004 (Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional) • UU No. 17/2007 (Rencana PJPN 2005- 2025) • Perpres No. 59/2017 (Pelaksanaan Pencapaian Target Pembangunan Berkelanjutan) • Perpres No. 18/2020 (RPJMN 2020-2024) • UU No. 26/2007 (Penataan Ruang) • PP No. 26/2008 (Rencana Tata Ruang Nasional) • PP No. 15/2010 (Penyelenggaraan Penataan Ruang) • PP No. 8/2013 (Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang) • PP No. 68/2010 (Peran Masyarakat dalam Penataan 17 Sumber: Hasil Analisis, 2023 II.2 Tata Kelola Risiko Bencana Tata kelola risiko bencana (disaster risk governance) adalah alat yang digunakan pada pengambilan keputusan dan tindakan upaya dalam rangka melakukan persiapan, merespon dan melakukan pemulihan dengan tujuan untuk mengelola, menghadapi dan mengurangi risiko yang muncul akibat bencana melalui Asing Non Pemerintah dalam Penanggulangan Bencana) • Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2020-2024 Ruang) • PP No. 13/2017 (Rencana Tata Ruang Nasional) Provinsi Banten/ 2015 - 2020 • Perda No. 1/2015 (Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana • Perda No. 7/2017 (RPJMD Provinsi Banten Tahun 2017- 2022) • Pergub No. 47/2019 (Rencana Aksi Daerah Target Pembangunan Berkelanjutan Banten 2020-2022) • Perda No. 5/2017 (Rencana Tata Ruang Provinsi Banten Tahun 2010- 2030) Kota Cilegon/ 2010- 2021 • Rencana Kontijensi Kota Cilegon dalam Menghadapi Ancaman Gempa Bumi/Tsunami 2010 (BNPB) • Kajian Risiko Bencana Kota Cilegon Tahun 2016-2020 (BNPB) • Perwal No. 7/2017 (Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana) • Perwal No. 39/2017 (Pedoman Rehabilitasi Pasca Bencana) • Perwal No. 62/2017 (Pembagian Tugas Penanggulangan Bencana di Kota Cilegon) • Perda No. 7/2010 (RPJP Kota Cilegon 2005-2025) • Perda No. 7/2021 (RPJMD Kota Cilegon 2021-2026) • Perda No. 1/2020 (RTRW Kota Cilegon Tahun 2020-2040) 18 dibentuknya suatu rangkaian sistem, struktur dan proses (SFDRR, 2015; Danar, 2020). Tata kelola risiko bencana melibatkan koordinasi dan kolaborasi berbagai pemangku kepentingan termasuk pemerintah, sektor privat, organisasi non- pemerintah dan komunitas masyarakat terdampak yang bertujuan untuk mengarusutamakan kolaborasi dan andil berbagai pemangku kepentingan dalam setiap proses yang diperlukan dalam manajemen bencana (Hilhorst et al., 2020). Tata kelola risiko bencana mencakup institusi dan kebijakan formal serta jaringan dan praktik informal yang mempengaruhi manajemen risiko bencana, dengan menggunakan pendekatan kolaborasi dalam mencapainya. Secara ringkas, tata kelola bencana merupakan proses pengelolaan risiko dan dampak bencana secara efektif melalui pendekatan kolaborasi untuk membangun ketahanan komunitas dan masyarakat. Secara praktik, tata kelola risiko bencana tidak hanya berguna atau relevan implementasinya saat terjadi bencana tapi juga berdampak pada produktivitas dan berjalannya kemajuan pembangunan di ranah publik dan swasta seperti dalam konteks perencanaan pembangunan, kesejahteraan sosial, investasi, dan ekonomi fiskal (Zigmund, 2022) sehingga pengintegrasian manajemen risiko bencana dalam beragam aspek tata kelola dan pengambilan keputusan menjadi hal yang penting. Tata kelola risiko bencana dinilai penting seiring dengan dikembangkannya kerangka kebijakan dengan melibatkan berbagai sektor dan pemangku kepentingan, yang tidak hanya relevan pada saat bencana terjadi tetapi juga merupakan sistem krusial dalam berjalannya proses pembangunan secara umum, sehingga keberadaan tata kelola risiko bencana tidak dapat terlepas dari manajemen risiko bencana. Peran dari berbagai aktor serta keikutsertaan mereka dalam berkolaborasi bersama merupakan hal yang krusial dalam mencapai tata kelola risiko bencana yang efektif (Srikandini, 2018). Secara internasional, SFDRR disepakati sebagai acuan atau referensi implementasi pendekatan kolaborasi dalam tata kelola bencana yang menekankan pentingnya tata kelola yang efektif dalam membangun ketahanan dan pengurangan risiko bencana. Secara ringkas, SFDRR mendefinisikan tata kelola risiko bencana sebagai sistem dari berjalannya institusi, 19 mekanisme, kebijakan dan kerangka kebijakan yang berkontribusi dalam manajemen risiko bencana. Keberhasilan atau efektivitas dari tata kelola bencana ditunjukkan dengan dijadikannya prioritas tata kelola dalam mengupayakan pengurangan risiko bencana dan peningkatan ketahanan melalui pendekatan kolaborasi (SFDRR, 2015). Pentingnya kolaborasi dalam tata kelola risiko bencana ditekankan dalam SFDRR dengan dijadikannya penguatan tata kelola risiko bencana untuk mengelola risiko bencana sebagai prioritas aksi 2 dari SFDRR. Dalam SFDRR, kolaborasi dinilai sebagai pendekatan yang paling ideal untuk menjangkau bermacam aktor dengan latar belakang dan kepentingan berbeda, menekankan pada pengambilan keputusan lintas sektor dan lintas pemangku kepentingan termasuk pemerintah, lembaga non pemerintah dan unsur masyarakat dengan tujuan yang sama untuk mengupayakan pengurangan risiko bencana. Tata kelola bencana yang efektif memiliki peran penting dalam menjamin keberhasilan manajemen risiko bencana dan peningkatan ketahanan terhadap bencana dengan memastikan proses pengambilan keputusan yang didasarkan pada suara khalayak luas termasuk akademisi, organisasi non pemerintah, media dan masyarakat (SFDRR, 2015). Dalam aplikasinya, kolaborasi dalam tata kelola risiko bencana memiliki suatu dinamika yang dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti lingkungan institusi, relasi kekuasaan, politik advokasi dan karakteristik spesifik dari wilayah terdampak (Lauta et al., 2018; Srikandini, 2018). Dalam penelitian mengenai unsur politik dalam tata kelola risiko bencana, Hilhorst et al. (2020) menjelaskan bahwa terdapat 3 dimensi tata kelola risiko bencana. 1) Dimensi Tata Kelola Formal Dimensi formal menggambarkan bagaimana susunan tata kelola didesain, termasuk institusi aktor, peran dan tanggungjawab dari setiap aktor, serta interaksi antar aktor. 2) Dimensi Tata Kelola Nyata 20 Dimensi ini mencakup cara pengaturan tata kelola formal yang secara praktik terwujud atau dilakukan, tata kelola yang dipengaruhi oleh kepentingan, perbedaan kekuasaan, budaya organisasi dan faktor-faktor lainnya yang memberikan kelonggaran dan batasan dalam komposisi tata kelola dan pengoperasian aturan dalam tata kelola formal. 3) Dimensi Tata Kelola Tidak Kasat Mata Dimensi yang ketiga dinamai “tidak kasat mata” karena mencakup gabungan aktivitas dan jaringan di tingkat komunitas pada fase tanggap bencana yang terjadi di luar pengaturan tata kelola yang diformalkan, namun tetap mendasari dan mempengaruhi pengaturan dan praktik dari tata kelola formal. Pemahaman ketiga dimensi tata kelola risiko bencana oleh Hilhorst et al. (2020) ini menjadi refernsi bagi peneliti atas batasan ruang lingkup substansi tata kelola risiko bencana yang dikaji dalam penelitian ini. Tidak luputnya dimensi tata kelola nyata dari implementasi dimensi tata kelola formal menjadikan perlunya bahasan mendalam mengenai unsur-unsur politik dalam implementasi tata kelola formal, begitu pula tata kelola tidak kasat mata yang menjadi unsur penting dalam aspek kapasitas komunitas masyarakat terdampak. Dalam penelitian ini, lingkup substansi mengenai tata kelola risiko bencana dibatasi pada pada dimensi tata kelola formal dimana praktiknya dilandasi oleh kebijakan tertulis dan dijadikan gambaran atau praktik tata kelola ideal. Dalam mencapai keberhasilan manajemen risiko bencana, diperlukan upaya atau intervensi pada tata kelola risiko bencana, yang upayanya terdapat tantangan yang dapat mempengaruhi efektivitas maupun menghambat jalannya tindakan dalam menghadapi dan merespon bencana. Dinamika globalisasi, kesenjangan sosial dan tren sosiodemografis, serta kurangnya integrasi dan pendekatan berbasis risiko yang komprehensif menjadi tantangan dalam implementasi tata kelola bencana (Tierney, 2012). Selain itu, Hilhorst (2020) juga menjelaskan bahwa pengaturan tata kelola yang terlalu terfragmentasi antar sektor, kurangnya pendekatan yang didasari pemahaman dan pengenalan risiko, dan tidak komprehensifnya kerangka 21 kebijakan sebagai acuan dari pengaturan tata kelola juga dapat menjadi tantangan bagi pemerintah dan aktor lainnya dalam keberhasilan tindakan upaya manajemen bencana. II.3 Kolaborasi dan Jaringan Sosial Dalam Manajemen Risiko Bencana Dalam manajemen risiko bencana, kolaborasi memiliki peran krusial bagi masyarakat serta berbagai pemangku kepentingan untuk melakukan tindakan pengurangan risiko bencana secara komprehensif atau menyeluruh meliputi upaya mitigasi, pencegahan dan kesiapsiagaan pada pra bencana, tindakan respon pada saat tanggap darurat, dan pemulihan dan rehabilitasi. Pendekatan kolaborasi melibatkan hubungan, interaksi dan koordinasi dengan kualitas dan kuantitas beragam baik antar individu dalam unit dan departemen, antar unit dan departen dalam satu institusi, antar institusi dalam bidang yang sama, maupun antar institusi lintas bidang atau sektor (Kapucu dan Demiroz, 2017). Kolaborasi lintas sektor seperti institusi yang menyediakan layanan dan jasa kesehatan, layanan psikologis, informasi dan teknologi, keamanan dan ketahanan, perencanaan pembangunan, dan lainnya diketahui sebagai pendekatan penting yang perlu dipraktikkan dalam proses pembangunan, dimana pada saat kejadian bencana, kolaborasi lintas sektor ini menjadi lebih intens dan krusial (Zigmund, 2022). Keberhasilan kolaborasi menjadi unsur penting yang akan menentukan besar atau kecilnya jumlah korban dan kerugian sebagai fokus utama penyelamatan saat tindakan respon dilakukan untuk menekan besar risiko akibat bencana yang terjadi (Kapucu dan Demiroz, 2017). Terjadinya kolaborasi membentuk adanya jaringan sosial antar organisasi lintas sektor atau interorganizational networks, dimana dalam manajemen risiko bencana diartikan sebagai hubungan dan koneksi kolaboratif antara bermacam jenis organisasi, perusahaan, dan pemangku kepentingan yang terlibat dalam melakukan persiapan, respon dan pemulihan akibat bencana (Gall et al., 2014). Jaringan sosial ini merupakan yang terbentuk menjadi aspek penting dalam melakukan upaya koordinasi, pertukaran sumber daya dan memfasilitasi pendekatan manajemen tanggap darurat yang komperhensif (Kapucu dan Demiroz, 2017). Jaringan sosial dalam manajemen risiko bencana melibatkan 22 ikatan formal maupun non-formal, serta pertukaran informasi, sumber daya dan keahlian di antara entitas atau aktor yang berbeda. Keberhasilan atau efektivitas dari suatu jaringan sosial yang terbentuk atas kolaborasi dalam manajemen risiko bencana dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti komunikasi, kepercayaan, modal sosial dan kemampuan dalam beradaptasi pada kondisi yang terus berubah saat terjadinya bencana khususnya fase tanggap darurat (Kapucu dan Demiroz, 2017). Dalam penelitiannya, Kapucu dan Demiroz (2017) menjelaskan adanya 4 faktor utama yang dapat mempengaruhi efektivias suatu jaringan sosial dalam manajemen risiko bencana, yaitu: 1) Komunikasi Komunikasi yang efektif antar organisasi lintas sektor merupakan faktor krusial dalam mencapai keberhasilan koordinasi, pertukaran sumber daya dan respon terhadap bencana. Upaya manajemen risiko bencana pada setiap fase memunculkan kebutuhan berbeda dimana pemenuhannya dibutuhkan komunikasi antar organisasi lintas sektor yang baik, cepat dan efektif, tidak hanya untuk bisa memenuhi kebutuhan tapi juga mencapai tenggat waktu yang singkat dalam pemenuhan kebutuhan khususnya saat fase tanggap darurat. 2) Kepercayaan dan Modal Sosial Kepercayaan dan modal sosial dalam jaringan sosial merupakan aspek penting dalam membangun hubungan yang kuat antar aktor dan dalam memfasilitasi kooperasi antar organisasi yang terlibat dalam manajemen risiko bencana. 3) Pembelajaran dan Adaptasi Kemampuan suatu jaringan untuk belajar dari pengalaman dan beradaptasi terhadap kondisi yang terus berubah menjadi aspek penting dalam meningkatkan efektivitas dan keberhasilan keluaran manajemen risiko bencana. 4) Faktor Penghambat Kolaborasi 23 Dalam penguatan tata kelola bencana, mengidentifikasi dan mencari tahu faktor yang dapat menghambat kolaborasi seperti kurangnya interkooperasi dan koordinasi menjadi hal yang sangat penting untuk menguatkan efektivitas jaringan sosial antar organisasi lintas sektor dalam manajemen bencana. Upaya identifikasi perlu dilakukan melalui rangkaian proses evaluasi di setiap tindakan upaya pada fase manajemen risiko bencana yang berbeda. Komunikasi antar organisasi lintas sektor akan mengalami perbedaan pada upaya tindakan yang berbeda, contohnya pada fase pra bencana khususnya tindakan upaya mitigasi fisik dibutuhkan keterlibatan unsur pemerintah yang memiliki tugas dan fungsi pada sektor kebencanaan, konstruksi bangunan, dan lingkungan, sektor privat yang memiliki sumber daya dalam bidang konstruksi bangunan, komunitas masyarakat sebagai aktor yang berperan dalam pemantauan dan pemeliharaan, dan lainnya. Komunikasi dan pola interaksi aktor pada saat melakukan tindakan upaya mitigasi fisik akan berbeda ketika dilakukan tindakan upaya kesiapsiagaan seperti upaya simulasi bencana yang membutuhkan banyak dan beragam aktor untuk terlibat dalam proses persiapan, perencanaan, simulasi, dan evaluasi, dimana upaya simulasi bencana idealnya dilakukan secara periodik untuk mencapai peningkatan kualitas respon terhadap bencana yang baik bagi seluruh aktor, serta variasi skenario yang mungkin terjadi menyesuaikan ketidakpastian yang pasti terjadi saat bencana datang. Kepercayaan dan modal sosial sebagai faktor penting dalam menjamin kekuatan hubungan antar aktor memiliki korelasi dengan komunikasi yang dilakukan antar organisasi lintas sektor. Intensitas komunikasi antar organisasi lintas sektor yang meningkat seiring dilakukannya upaya pada fase berbeda manajemen risiko bencana akan membentuk kepercayaan dan modal sosial antar aktor diikuti perubahan setting atau konteks. Selain itu, diperkuatnya kerangka kebijakan yang mendukung urgensi manajemen risiko bencana dan penguatan tata kelola bencana akan mengharuskan berbagai aktor dari sektor berbeda untuk memegang peran dalam tata kelola risiko bencana sehingga terbentuk satu tujuan yang sama bagi setiap aktor untuk mengurangi risiko bencana. Adanya satu tujuan yang sama 24 melalui penguatan kerangka kebijakan dan peran berbeda yang dipersatukan dengan intensitas komunikasi dalam melakukan upaya pengurangan risiko bencana bersama-sama akan memunculkan kepercayaan dan modal sosial dalam jaringan sosial antar aktor lintas sektor yang akan menguatkan hubungan antar aktor dan meningkatkan kualitas kooperasi. Kurangnya sumber daya dalam kolaborasi memiliki korelasi dengan berjalannya kolaborasi dalam suatu jaringan sosial, khususnya antar aktor lintas sektor, dalam merespon bencana. Penelitian yang dilakukan di Kota Kaohsiung, Taiwan, menunjukkan bahwa terpenuhinya kebutuhan jumlah sumber daya manusia menjadi prioritas utama dalam melakukan tanggap darurat dikarenakan adanya korelasi langsung antara jumlah sumber daya manusia dengan efektivitas suatu organisasi dalam merespon, yang juga dapat memediasi kohesivitas hubungan antar organisasi (Tierney, 2012).