1 Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Cacat tulang atau kerusakan pada tulang merupakan salah satu gejala klinis yang banyak terjadi (Chen, Cheng dan Wu, 2023). Cacat tulang dapat diakibatkan oleh beberapa faktor, antara lain trauma, tumor, penyakit degeneratif, infeksi, dan lain- lain (Qiu, Cui dan Wang, 2019). Sama halnya dengan bagian tubuh yang lain, pada dasarnya tulang juga memiliki kemampuan regenerasi dan rekonstruksi secara alami. Namun, proses penyembuhan ini dipengaruhi oleh besarnya kerusakan pada tulang dan seberapa banyak tulang yang hilang (Giannoudis, 2018). Semakin banyak tulang yang hilang, maka proses regenerasi dan rekonstruksi alami akan terhambat, hingga mengakibatkan terjadinya kegagalan rekonstruksi dan berbagai komplikasi (Laubach dkk., 2022). Maka dari itu, intervensi secara surgical perlu untuk dilakukan. Data menunjukkan bahwa 20 juta bedah ortopedi di lakukan setiap tahunnya di seluruh dunia dan 70% di antaranya membutuhkan implan tulang, baik untuk pengisi tulang, maupun perbaikan tulang (Qiu, Cui dan Wang, 2019; Utomo dkk., 2019). Cangkok tulang (bone grafting) merupakan bedah ortopedi yang dilakukan dengan untuk proses regenerasi dan rekonstruksi tulang (Swanson dkk., 2020). Saat ini, autograft merupakan gold standard metode pencangkokkan yang paling banyak dilakukan, yaitu dengan mencangkokkan jaringan sehat dari tubuh pasien sendiri. Namun, metode ini memiliki kelemahan, seperti terjadinya komplikasi pada jaringan tubuh yang diambil, serta terbatasnya jumlah graft yang bisa dicangkokkan. Metode lain, yaitu allograft juga bisa menjadi alternatif dimana pencangkokkan dilakukan dengan menggunakan jaringan tubuh dari seorang donor. Masalah utama dari metode ini adalah terjadinya penolakan dari tubuh pasien penerima, termasuk penularan penyakit. Dalam upaya mengatasi masalah ini, rekayasa jaringan tulang (bone tissue engineering) diyakini dapat menjadi alternatif, yaitu dengan merekayasa material biokompatibel yang dapat merangsang pertumbuhan dan regenerasi jaringan pada tulang (Han dkk., 2023). 2 Pada rekayasa jaringan tulang, perancah (scaffold) merupakan komponen yang memiliki peranan paling penting. Perancah disintesis untuk meniru extracellular matrix pada tulang, sehingga dapat memfasilitasi perlekatan dan pembentukan jaringan. Pembentukan jaringan berawal dari pertumbuhan jaringan tulang di tepi- tepi perancah menuju bagian dalam perancah. Untuk mendukung pertumbuhan jaringan yang terus-menerus, porositas pada perancah harus saling terhubung, sehingga memungkinkan molekul dan nutrisi menembus interior perancah (Angili dkk., 2023). Pada penelitian ini, metode fabrikasi three-dimensional (3D) printing dipilih untuk dapat menghasilkan perancah dengan ukuran pori sesuai kebutuhan. 3D printing sendiri, saat ini tengah banyak digunakan di berbagai bidang karena kemampuannya untuk menghasilkan struktur 3D yang kompleks dengan parameter yang mudah dikontrol (Wibowo dkk., 2020; Garcia dkk., 2023). Polycaprolactone (PCL) yang diproses dengan metode 3D printing telah terbukti menghasilkan matriks perancah dengan struktur pori yang baik (Dong dkk., 2017a). PCL juga memiliki sifat biodegradable yang memungkinkan PCL untuk terdegradasi ketika rekonstruksi tulang telah berlangsung, sehingga tidak menghambat proses rekonstruksi jaringan baru (Wang dkk., 2019). Dibandingkan dengan polimer lainnya seperti Polylactic acid (PLA), PCL memiliki laju degradasi yang lebih lambat sehingga sesuai untuk rekayasa jaringan tulang (Arakawa dan DeForest, 2017). Namun, sifat hidrofobik yang tinggi mengakibatkan perlekatan sel pada perancah menjadi kurang optimal. Selain itu, sifat mekanik dari PCL sebagai perancah tulang juga masih belum optimal (Wang, G. F.