8 Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Bahasa dan Fonetika Berdasarkan tinjauan harfiah, kata ‘linguistik’ memiliki beberapa padanan kata. Pada Bahasa Inggris ‘linguistics’, Bahasa Perancis ‘linguistique’, dan Bahasa Belanda ‘linguistiek’. Kemudian kata ‘linguistik’ merupakan turunan dari Bahasa Latin yakni ‘lingua’ yang artinya ‘bahasa’ (Muhsyanur, 2020). Salah satu jenis dari linguistik (bahasa) adalah Bahasa Jawa. Linguistik dapat dikaji melalui beberapa cabang ilmu, diantaranya ilmu Fisika. Ilmu fisika linguistik mengkaji bahasa berdasarkan fenomena alam yang terjadi (Muhsyanur, 2020). Kajian linguistik berdasarkan pendekatan fisika sendiri termasuk pada cabang linguistik fonologi, yakni cabang linguistik yang mempelajari, menganalisis, menelaah, dan membicarakan runtutan bunyi (Muhsyanur, 2020). Adanya fonologi dikaitkan erat dalam konsep fisika pada kajian fonetik akustik. Fonetik akustik didefinisikan sebagai pengkajian bunyi berdasarkan struktur akustik. Fonetik akustik melihat suatu bunyi bahasa sebagai suatu gelombang suara. Artinya, partikel udara bergerak saat bunyi diucapkan, sehingga mendesak partikel lain dan membentuk suatu gelombang yang bergerak bebas memiliki arah kemana saja (BUSRO dkk., 2021). Struktur akustik mempengaruhi bagaimana bunyi dan bunyi apa yang didengar. Aspek tinjauan fonetik akustik meliputi fenomena fisis seperti gelombang bunyi, frekuensi, spektrum, tekanan dan intensitas bunyi, skala desibel dan resonansi akustik (Lapoliwa, 1988). Parameter frekuensi didasarkan pada gerakan gelombang bunyi yang berjalan secara berirama (beritme), dimana ritme tersebut diukur menggunakan satuan sekon. Gelombang bunyi tersebut merupakan gelombang dari perpaduan atas gelombang-gelombang yang bergerak bersama-sama tetapi dengan frekuensi berbeda, yang selanjutnya disebut dengan gelombang rumit (kompleks). Gelombang kompleks selanjutnya dibedakan sebagai yang periodis dan turbulen. 9 Gelombang rumit yang periodis menghasilkan fonem vokal, sementara gelombang rumit turbulen menghasilkan fonem konsonan (BUSRO dkk., 2021). Secara sederhana, gelombang bunyi fonem vokal akan terbentuk secara periodik, sementara konsonan aperiodik (Lapoliwa, 1988). (a) (b) Gambar II.1 Penyebaran daya dalam frekuensi menunjukkan karakter sinyal yang berkorelasi (periodik) atau acak (aperiodik): (a) periodik, (b) aperiodik (Saeed V. Vaseghi, 2000) Untuk Gambar II.1 (a) gelombang periodik, maka frekuensi pada masing – masing komponen merupakan kelipatan dari frekuensi dasar. Komponen yang frekuensinya memilki nilai dua kali dari frekuensi dasar maka disebut dengan harmonik ke 2, tiga kali dari frekuensi dasar disebut dengan harmonik ke 3, dan seterusnya. Terdapat dua jenis frekuensi pada fonetik akustik, yakni frekuensi dasar/F0 (pitch) dan frekuensi forman. Setiap individu memiliki frekuensi dasar yang khas (habitual pitch) yang sangat dipengaruhi aspek fisiologis laring (pita suara) manusia. Pada kondisi berbicara normal, level Pitch biasa bervariasi antara 50 hingga 250 Hz untuk pria dan 120 hingga 500 Hz wanita. Perubahan pitch dapat mengindikasikan intonasi dan emosi yang dimiliki individu. Posisi lidah mempengaruhi tinggi rendah pitch vokal seseorang, pitch vokal tinggi adalah ketika posisi lidah rendah dan sebaliknya pitch vokal rendah adalah ketika posisi lidah tinggi. (Suyudi dan Saptono, 2015). Nilai frekuensi dasar manusia juga terbedakan berdasarkan usia dan jenis kelamin. Tabel II.1 berikut menunjukkan nilai frekuensi dasar manusia. 10 Tabel II.1 Frekuensi dasar manusia berdasarkan jenis kelamin dan usia (Nishio dan Niimi, 2008) Grup n Rerata (Hz) SD Interval Referensi (Hz) Laki-Laki, tahun Muda (19-34) 77 121.83 17.00 88.51 – 155.15 Menengah (35 – 59) 55 120.95 15.78 90.02 – 151.88 Manula (>60) 55 127.82 18.72 91.13 – 164.51 Perempuan, tahun Muda (19-34) 77 224.58 20.76 183.89 – 265.27 Menengah (35 – 59) 55 196.31 16.35 164.26 – 228.36 Manula (>60) 55 178.92 19.71 140.29 – 217.55 Pada dasarnya, tabung suara manusia sama dengan tabung yang berisi udara dan berfungsi sebagai resonator, dimana masing – masing memiliki frekuensi natural. Sehingga, apabila frekuensi natural tersebut memiliki frekuensi yang sama dengan gelombang bunyi lain maka akan beresonansi. Hal inilah yang disebut dengan frekuensi forman. Terjadinya frekuensi forman adalah sebagai berikut, pertama, kita ketahui jika gelombang bunyi merupakan sinyal suara berbentuk spektrum yang memiliki banyak komponen. Saat kita mengucapkan satu fonem, maka kesemuanya memiliki amplitudo dan frekuensi harmonik yang sama dari frekuensi dasarnya. Komponen frekuensi dasar mempunyai frekuensi yang sama dengan frekuensi getaran pita suara. Apabila gelombang berada pada satu ujung saluran vokal (glotis), dan diteruskan ke bibir, maka saluran vokal glotis tersebut akan bereaksi lebih baik dengan komponen hembusan pita suara yang dekat dengan frekuensi naturalnya. Komponen-komponen ini akan diperkuat dan spektrum bunyi yang keluar dari bibir ini akan "memuncak" pada frekuensi natural saluran vokal tersebut. Puncak pertama disebut dengan Forman 1 (F1), puncak kedua disebut dengan Forman 2 (F2), dan seterusnya. 11 Secara ringkas, forman merupakan resonansi suara dari saluran vokal yang memiliki frekuensi sama dengan frekuensi natural pita suara dan dikeluarkan dalam bentuk bunyi. Forman akan memberikan corak khusus pada bunyi, dimana F1 dan F2 dipengaruhi oleh faring dan mulut (Lapoliwa, 1988). Sedangkan, forman 3 dan 4 (F3 dan F4) didasarkan pada bentuk rongga depan dan bentuk bibir (Suwandi dkk., 2020). Berikut merupakan referensi frekuensi forman. Tabel II.2 Frekuensi forman 1 dan 2 pada usia 8 – 11 tahun Bahasa Indonesia (Marsudi, 2007) Fn /a/ /i/ /u/ /e/ /o/ (Hz) Rerata SD Rerata SD Rerata SD Rerata SD Rerata SD F1 1162 125 556 106 657 144 778 88 842 94 F2 1572 81 1494 130 1212 35 1547 145 1405 172 Tabel II.3 Frekuensi forman 1 dan 2 pada usia 23 – 28 tahun Bahasa Indonesia (Marsudi, 2007) Fn /a/ /i/ /u/ /e/ /o/ (Hz) Rerata SD Rerata SD Rerata SD Rerata SD Rerata SD F1 946 130 409 72 492 84 542 69 607 86 F2 1381 113 1443 207 942 135 1484 142 1063 133 Terdapat 23 – 26 fonem konsonan pada Bahasa Jawa (Wedhawati dkk., 2001), dan 10 fonem vokal 10 /i/, /I/, /e/, /ɛ/, /a/, /ə/, /ɔ/, /o/, /U/, dan /u/ (Marsono, 1999). Begitupun dengan Bahasa Indonesia, Bahasa Indonesia memiliki 10 fonem vokal yang sama dengan Bahasa Jawa. Berikut referensi lebih lanjut dari frekuensi forman rerata pada pria dan wanita untuk 11 vokal yang dilakukan pada subyek berkebangsaan British Selatan oleh David Deterding, 1997. Adapun persamaan vokal tersebut pada Bahasa Jawa berdasarkan alofon tertutup dan terbuka adalah [I] sama dengan [I], [iː] sama dengan [i]. [ʊ] sama dengan [U], [uː] sama dengan [u], [ɔː] sama dengan [o], [ɒ] sama dengan [ɔ], [e] sama dengan [e], [ʌ] sama dengan [a] dan [ɑː], [æ] sama dengan [ə], [ɜː] sama dengan [ɛ]. 12 Tabel II.4 Rerata F1, F2, F3 dalam satuan Hz pada vokal laki – laki dan perempuan penutur Bahasa Inggris (Deterding, 1997) Vokal Laki -Laki Perempuan F1 (Hz) F2 (Hz) F3 (Hz) F1 (Hz) F2 (Hz) F3 (Hz) i: 280 2249 2765 303 2654 3203 I 367 1757 2556 384 2174 2962 e 494 1650 2547 719 2063 2997 æ 690 1550 2463 1018 1799 2869 ᴧ 644 1259 2551 914 1459 2831 α: 646 1155 2490 910 1316 2841 a 558 1047 2481 751 1215 2790 ɔ: 415 828 2619 389 888 2796 ʊ 379 1173 2445 410 1340 2697 u: 316 1191 2408 328 1437 2674 з: 478 1436 2488 606 1695 2839 II.2 Produksi Suara Produksi suara dihasilkan dari fonem baik vokal maupun konsonan. Vokoid/vokal terjadi apabila tidak terdapat hambatan udara pada rongga mulut saat produksi bunyi suara dilakukan. Di mana hal ini ditinjau secara artikulatoris, yakni fonetik deskriptif yang menganalisis mekanisme cara menghasilkan bunyi-bunyi bahasa pada manusia mulai dari kajian tentang anatomi sistem organ bicara; seperti lidah, langit-langit, dan gigi pada saat menghasilkan bunyi ujaran.