9 Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Surfaktan dan Biosurfaktan Gambar II. 1 Ilustrasi Sederhana Struktur Monomer Surfaktan (mengacu pada Satpute dkk., 2010) Surfaktan merupakan molekul amfifatik yang dapat menurunkan tegangan permukaan dan antarmuka sehingga dikenal memiliki sifat sebagai detergen, emulsifier, agen foaming, wetting dan dispersing (Hąc-Wydro dkk., 2016). Surfaktan adalah senyawa amfifatik yang memiliki sisi apolar (hidrofobik) dan sisi polar (hidrofilik) seperti ilustrasi pada Gambar II.1. Sisi apolar biasanya merupakan rantai hidrokarbon dari senyawa asam lemak rantai panjang. Sedangkan sisi polar yang dapat bermuatan ionik (kationik atau anionik), non-ionik atau amfoterik, zwitterionic (muatan positif dan negatif) yang dapat berupa senyawa karbohidrat, asam amino, asam karboksilat, maupun peptida siklik. Monomer surfaktan dapat membentuk struktur agregat yang dikenal dengan Micelle seperti yang ditunjukkan pada Gambar II.2 (a). Konsentrasi minimum dimana monomer surfakatan dapat menyusun formasi Micelle dan secara signifikan menurunkan tegangan antarmuka dua fasa dinamakan Critical Micelle Concentration (CMC). Pada pada Gambar II.2 (b) terdapat ilustrasi pembentukan struktur Micelle dan grafik penurunan tegangan antarmuka terhadap konsentrasi biosurfaktan. 10 Gambar II. 2 Ilustrasi (a) Struktur Misel dan (b) Plot CMC (Santos dkk., 2016) Surfaktan yang beredar di pasaran pada saat ini sebagian besar merupakan surfaktan sintetik yang produksinya berasal dari minyak bumi. Surfaktan sintetik ini beberapa bersifat toksik dan tidak mudah terurai sehingga dapat merusak keseimbangan lingkungan (Santos dkk., 2016). Untuk itu perlu adanya surfaktan yang toksisitas yang lebih rendah, lebih mudah terurai, relatif lebih stabil pada suhu dan pH yang ekstrim, dan memiliki spesifisitas pada polutan tertentu, seperti halnya produk biosurfaktan (Gusiatin dkk., 2020). Biosurfaktan merupakan surfaktan yang dihasilkan oleh makhluk hidup baik di permukaan sel atau disekresikan keluar sel yang terdapat pada bakteri, jamur, maupun ragi. Di alam, mikroorganisme menghasilkan biosurfaktan untuk memfasilitasi proses pengambilan nutrisi dari lingkungan dalam bentuk senyawa yang bersifat hidrofobik. Biosurfaktan secara fungsional dapat menurunkan tegangan permukaan, tegangan antarmuka, melakukan emulsifikasi, solubilisasi dan lainnya (Satpute dkk., 2010). Biosurfaktan dapat diklasifikasikan berdasarkan jenis muatan yang terdapat pada kepala polarnya ataupun berdasarkan struktur biokimia penyusunnya (Vijayakumar dkk., 2015): x Glikolipid: biosurfaktan dengan berat molekul rendah, memiliki struktur penyusun berupa kombinasi antara karbohidrat dan rantai alifatik rantai panjang ataupun asam hidroksi alifatik. Contoh senyawa glikolipid diantaranya rhamnolipid dan sophorolipid. 11 x Biosurfaktan polimerik: biosurfaktan dengan berat molekul tinggi dan memiliki kemampuan untuk mengubah sifat reologis suatu materi dalam air. Contoh dari biosurfaktan polimerik adalah emulsan dan biodispersan. x Fosfolipid dan asam lemak: biosurfaktan dengan struktur penyusun berupa fosfolipid dan asam lemak. Beberapa bakteri maupun ragi yang dapat mendegradasi hidrokarbon mampu menghasilkan 2 senyawa tersebut dan bertindak sebagai biosurfaktan. x Lipopeptida dan lipoprotein: biosurfaktan dengan berat molekul rendah yang tersusun dari lipopeptida dan lipoprotein. Contoh dari biosurfaktan jenis lipopeptida ialah surfaktin yang dapat berperan juga sebagai antibiotik dan antivirus. x Biosurfaktan partikulat: biosurfaktan berupa vesikel membran ekstraseluler. II.2 Polutan Logam Berat Berdasarkan densitasnya golongan logam dalam tabel periodik dibagi menjadi dua golongan, yaitu golongan logam berat dan logam ringan. Logam berat merupakan logam yang mempunyai kerapatan >5g/cm 3 (Jarup, 2003). Logam berat juga merupakan unsur golongan logam yang memiliki karakteristik daya hantar panas dan daya hantar listrik yang tinggi. Logam berat tidak dapat didegradasi ataupun dihancurkan dan merupakan zat yang berbahaya karena dapat menyebabkan fenomena bioakumulasi. Bioakumulasi adalah peningkatan konsentrasi zat kimia dalam tubuh makhluk hidup dalam waktu yang cukup lama (Yudo, 2006). Selain bioakumulasi, logam berat juga dapat menimbulkan fenomena biomagnifikasi yang dikenal juga sebagai bioamplifikasi yaitu fenomena terakumulasinya logam berat dari jalur cemaran lingkungan dan jalur konsumsi, sehingga menimbulkan penumpukan senyawa berbahaya tersebut signifikan lebih besar dibandingkan yang berasal dari jalur cemaran lingkungan saja (Adriaens, 2003). Menurut Sutamihardja (2006), sifat logam berat yang dapat membahayakan lingkungan dan manusia adalah ; 12 a. Logam berat yang sulit didegradasi, sehingga cenderung akan terakumulasi pada lingkungan b. Logam berat dapat terakumulasi dalam tubuh organisme dan konsentrasi dapat semakin tinggi, atau dapat mengalami bioakumulasi dan biomagnifikasi c. Logam berat mudah terakumulasi pada sedimen, sehingga konsentrasi selalu lebih tinggi daripada konsentrasi logam di dalam air. Dalam kadar yang sedikit, logam berat termasuk unsur penting yang diperlukan sebagai trace element, seperti tembaga (Cu), Selenium (Se), Besi (Fe) dan Zink (Zn) yang dibutuhkan untuk menjaga metabolisme tubuh manusia. Sebaliknya, logam-logam berat yang non-esensial (elemen mikro) tidak mempunyai fungsi di dalam tubuh manusia, dan bahkan sangat berbahaya hingga bersifat toksik pada manusia. Logam berat non-esensial tersebut diantaranya adalah Timbal (Pb), Merkuri (Hg), Arsenik (As), dan Kadmium (Cd) (Jarup dkk., 2003). II.2.1 Polutan Kadmium Kadmium adalah logam berwarna putih perak, lunak, mengkilap, tidak larut dalam basa, mudah bereaksi, serta menghasilkan Kadmium Oksida bila dipanaskan. Cd memiliki nomor atom 40, berat atom 112,4 titik leleh 321 o C, titik didih 767 o C dan memiliki masa jenis 8,65 g/cm 3 . Kadmium (Cd) umumnya terdapat dalam kombinasi senyawa bersama dengan Klor (Cl) membetuk Kadmium klorida (CdCl 2) atau belerang membentuk Cd Sulfit (CdSO3). Kadmium membentuk Cd 2+ yang bersifat tidak stabil. (Widowati dkk., 2008). Kadmium dan senyawanya diklasifikasikan sebagai karsinogen bagi manusia oleh Badan Internasional untuk Penelitian Kanker (Henson & Chedrese, 2004). Cemaran kadmium dapat berasal dari dua sumber, yaitu sumber alami dari fenomena alam dan aktivitas antropogenik atau aktivitas manusia. Kadmium dilepaskan ke lingkungan melalui fenomena alam seperti letusan gunung berapi, pelapukan, dan kebakaran hutan. Sedangkan, menurut Rosihan dan Husaini (2017) sumber cemaran dari aktivitas antropogenik atau aktivitas manusia seperti dari kegiatan 13 industri (pelapukan logam, pabrik baterai, pabrik gelas dan campuran perak), aplikasi pestisida dan pupuk pertanian, aktivitas pertambangan, dan sampah elektronik (Gambar II.3). Gambar II. 3 Bagan polutan kadmium; sumber, media cemaran, dan dampak (mengacu pada Rosihan dan Husaini, 2017) Meskipun emisi kadmium telah terasa berkurang di negara-negara maju, namun kadmium masih menjadi cemaran di negara-negara miskin dan berkembang. Kadmium dapat menyebabkan intoksikasi baik yang akut dan kronis (Chakraborty dkk., 2013). Kadmium sangat beracun ke ginjal dan terakumulasi dalam sel tubulus proksimal dalam konsentrasi yang lebih tinggi.