1 Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Berkembangnya aktivitas ekonomi yang didukung dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin mendorong manusia untuk melakukan eksplorasi sumber daya alam. Berbagai eksplorasi bahan bakar berbasis fosil, eksplorasi minyak mentah, penggunaan pestisida pada lingkungan pertanian, perkembangan industri, dan bertambahnya limbah elektronik termasuk ke dalam aktivitas antropologi yang terus berkembang pada saat ini. Namun, intervensi manusia dalam hal eksplorasi bahan alam ini seringkali menimbulkan kerugian, diantaranya melimpahnya polutan sebagai produk samping maupun limbah dari kegiatan antropogenik tersebut. Sedangkan menurut Korjus dkk. (2014), polutan ataupun kontaminan didefinisikan sebagai setiap zat yang tidak diinginkan yang dilepaskan ke lingkungan. Pada saat ini jumlah dan variasi polutan terus bertambah, termasuk kedalamnya adalah polutan logam berat. Dilaporkan konsentrasi polutan logam berat terus bertambah di berbagai belahan dunia, tak terkecuali di Indonesia. Menurut ulasan Arifin dkk., (2012) di Indonesia sendiri dilaporkan sejak 1979 hingga 2008 konsentrasi polutan logam berat (Pb, Cd, Cu dan Zn) kerap ditemukan pada sedimen di berbagai wilayah air pantai yang berdekatan dengan pusat kegiatan masyarakat dan industry seperti Provinsi DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat dan Kalimantan Timur (Tabel I.1). Keberadaan logam berat di lingkungan bisa berasal dari dua sumber utama; kegiatan antropogenik yaitu aktivitas manusia (industri dan limbah) dan pedogenesis yaitu peristiwa alam (pelapukan mineral, aktivitas volkanik, dan kebakaran hutan). Berbeda dengan logam berat yang berasal dari peristiwa pedogenesis, polutan logam berat yang berasal dari aktivitas antropogenik memiliki bioavailibilitas yang tinggi sehingga keberadaannya berpotensi membahayakan makhluk hidup (Juwarkar dkk., 2008). Diketahui pula polutan logam berat dapat mencemari lingkungan dari tiga jalur utama; deposisi partikulat atmosfer, efluen limbah di badan air, dan produk samping dari proses industri yang menggunakan logam. Masuknya logam berat ke tubuh manusia dari efluen limbah ke area tanah 2 dan air tanah mampu mencemari manusia secara langsung (melalui sediaan air dan sanitasi) maupun tidak langsung melalui rantai makanan (melalui tumbuhan, hewan darat dan ikan). Tabel I. 1 Rentang konsentrasi (dalam mg/Kg) beberapa logam berat yang terukur pada sedimen perairan pantai di beberapa wilayah di Indonesia dimodifikasi dari penelitian Arifin dkk. (2012) Waktu Sampling Lokasi Konsentrasi Logam Berat Terukur Pb Cd Cu Zn September 1983, Januari dan November 1984 Pantai Ujung Watu (Jawa Tengah) 1,1-10,9 0,11-0,41 2,1-29,6 0,6-9,3 Juli-Agustus dan November- Desember 1984 Muara Sungai Brantas dan Sungai Solo (Jawa Timur) 9,0-23,0 0,06-042 24,0-58,0 40,0- 122,0 Juni, November 1990 Teluk Jakarta (DKI Jakarta) 79,5-176,5 0,90-2,66 7,2-53,8 - Juli 2003 5,7-42,9 0,04-0,50 8,6-186,8 51,9- 480,5 Januari 2004 3,2-57,8 0,01-0,28 4,8-76,8 4,8-408,5 Mei 2002 Pelabuhan Ratu (Jawa Barat) 7,7-28,9 0,07-0,34 12,9-47,4 72,1- 145,4 April 2008 Delta Berau (Kalimantan Timur) 3,9-18,7 0,02-0,12 1,58-34,1 1,1-9,0 Polutan logam berat merupakan polutan yang berbahaya bagi kesehatan, lingkungan hidup, dan kesetimbangan alam. Logam berat merupakan senyawa yang bersifat tidak dapat didegradasi dan toksik pada konsentrasi yang rendah sekalipun. Pada konsentrasi melebihi batas yang ditentukan, logam berat dilaporkan dapat merusak organel dan komponen yang ada pada sel, seperti dapat menyebabkan kerusakan pada DNA dan memicu kerusakan lainnya (Morales dkk., 2016). 3 Karakteristik bioavailibitas pada polutan logam berat yang tinggi memungkinkan terjadinya fenomena biomagnifikasi. Biomagnifikasi diartikan sebagai fenomena penumpukan polutan (termasuk logam berat) yang signifikan lebih tinggi melalui rantai makanan dibandingkan dengan paparan langsung dari lingkungan (Fu dkk., 2011). Diantara polutan logam berat yang ditemukan jumlahnya meningkat dan mencemari badan air dan air tanah di kota-kota besar di Indonesia adalah logam berat kadmium. Sumber utama polutan kadmium dari aktivitas antropogenik diantaranya berasal dari industri pelapukan logam, pabrik baterai, pabrik gelas, campuran perak, aplikasi pestisida dan pupuk pertanian, aktivitas pertambangan, dan sampah elektronik (Yahaya dkk., 2014). Logam berat kadmium secara khusus dapat mengakibatkan banyak dampak kesehatan, diantaranya disfungsi dan kanker renal, Osteomalacia (kelainan pelunakan tulang), Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), disfungsi liver, dll. (Yazdi dkk., 2021). Penentuan ambang batas kadar logam berat mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air, dan Pengendalian Pencemaran Air peruntukan air dengan kriteria kelas II, yaitu kadar maksimum Cd sebesar 0,01 mg/L. Untuk itu, perlu dilakukan penghilangan (removal) polutan logam berat termasuk kadmium dari lingkungan yang dikategorikan tercemar dengan cepat dan tepat. Sebagai usaha penghilangan polutan logam berat pada media cemaran air dan tanah, berbagai metode dikembangkan dan diaplikasikan. Untuk menghilangkan polutan logam berat dari air limbah, beberapa metode konvensional dilakukan seperti filtrasi membran, reverse osmosis, pertukaran ion, presipitasi kimia, elektrolisis, klorinasi, dan adsorpsi. Diantara metode-metode tersebut, remediasi menggunakan prinsip mekanisme adsorpsi cukup menjanjikan karena karakter fleksibilitas, kemudahan operasi, kepraktisan handling, efisiensi dan ekonomis yang dimilikinya (Ahmadi dkk., 2014). Namun, penggunaan senyawa agen adsorpsi yang biasa digunakan, yaitu surfaktan sintetik sangat dibatasi pada konsentrasi rendah saja, karena justru dapat menimbulkan cemaran lingkungan yang lebih lanjut. Surfaktan 4 mampu berinteraksi dengan membran seluler dan berperan sebagai molekul aktif biologis yang berdampak pada ketidakstabilan sistem biologis dan pengaturan kerja membran sel (Hąc-Wydro dkk., 2016). Selain itu, surfaktan sintetik juga dapat mengganggu kestabilan mikroorganisme dalam melangsungkan proses biodegradasi alami maupun buatan yang terjadi di ekosistem air maupun tanah. Pada tanah, surfaktan dapat mengubah karakteristik tanah seperti tegangan permukaan, kapilaritas, wetting dan menambah solubilitas dari senyawa organik Xenobiotic yang dapat memfasilitasi desorpsi dan akumulasi polutan terhadap makhluk hidup. Maka dari itu, diperlukan proses adsorpsi limbah logam berat yang menggunakan surfaktan ramah lingkungan dan teknik remediasi yang tepat untuk mensiasatinya. Surfaktan berperan dalam meningkatkan solubilitas, mobilitas dan pengikatan polutan pada aplikasi remediasi lingkungan. Dengan peran ini surfaktan diharapkan dapat mengikat baik polutan organik maupun inorganik. Seiring berkembangnya teknologi remediasi, surfaktan dapat berperan sebagai bahan aditif dalam memfasilitasi (contoh; floatation dan sorption-floatation) atau bisa juga menjadi teknologi utama (contoh; Micellar Enhanced Ultrafiltration atau Ekstraksi Cloud Point) dalam meremediasi polutan logam berat (Hąc-Wydro dkk., 2016). Surfaktan merupakan zat amfifatik yang memiliki sisi polar dan apolar. Dengan karakter surfaktan tersebut, surfaktan diketahui dapat meremediasi logam berat dengan mekanisme meningkatkan solubilitas dan juga mengikat langsung polutan secara ionik pada bagian kepala polar yang kemudian diketahui dapat membentuk kompleks surfaktan-polutan logam berat (H. Sun, 2008). Dalam mengikat polutan logam berat yang bermuatan positif, dibutuhkan senyawa surfaktan dengan kepala polar negatif sehingga mampu mengikat polutan melalui ikatan ionik.