Hasil Ringkasan
i Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Perubahan iklim global mendorong Indonesia untuk melakukan peralihan energi dengan target bauran energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23% pada tahun 2025 (DJKN, 2022). Salah satu sumber EBT yang berpotensi besar untuk membantu mencapai target tersebut adalah energi surya. Implementasi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), termasuk PLTS atap terus meningkat. Pada tahun 2021, PLTS atap di Indonesia yang telah terpasang adalah sebesar 39,28 MWp (KESDM, 2021). Pun begitu, penggunaan PLTS atap, khususnya PLTS hibrida yang terintegrasi dengan jaringan listrik jala-jala atau disebut Distributed Energy Resources (DER) memiliki kekurangan. Sumber energi matahari bersifat intermittent atau berfluktuasi, yang diakibatkan dari shading seperti awan, bayangan, dan sebagainya. Fenomena ini dapat berpengaruh kepada keandalan dari listrik jala-jala (Pallonetto et al., 2019). Apabila produksi dari PLTS turun secara drastis, maka jaringan listrik akan kesulitan memproduksi listrik untuk memenuhi kebutuhan beban listrik dalam waktu singkat. Akibat mode operasi yang dapat berubah-ubah, kemudian ditambah dengan sifat intermittent dari energi matahari, juga ketidakpastian pola konsumsi energi pada bangunan universitas, maka dibutuhkan manajemen sistem energi pada mikrogrid bangunan (Mbuwir et al., 2018). Salah satu bentuk manajemen energi listrik pada bangunan adalah dengan meningkatkan nilai Self-Consumption atau swakonsumsi dari PLTS. Secara umum, swakonsumsi dapat ditingkatkan dengan dua cara, yaitu memasang Sistem Baterai Penyimpan Energi (SBPE) sebagai usaha peningkatan dari sisi suplai dan melakukan pergeseran beban aktif (active load shifting) sebagai usaha dari sisi permintaan beban (Luthander et al., 2015). Berdasarkan beberapa studi yang telah dilakukan, didapatkan bahwa penggunaan SBPE dapat meningkatkan swakonsumsi dengan cukup signifikan, seperti 2 penelitian yang dilakukan oleh (Bruch & Müller, 2014; Li & Danzer, 2014). SBPE dapat membantu PLTS untuk memenuhi permintaan beban listrik pada saat produksi PLTS tidak mencukupi, juga dapat membantu masalah oversupply dari PLTS saat produksi PLTS lebih besar dari beban listrik yang dibutuhkan. Agar penggunaan SBPE lebih strategis dan efisien, dibutuhkan manajemen charging- discharging SBPE yang baik dan optimal. Terutama pada bangunan universitas yang memiliki karakteristik okupansi yang acak dan tingkat aktivitas yang beragam, sehingga mempengaruhi konsumsi energi listrik (Davis & Nutter, 2010; Khoshbakht et al., 2018), maka penjadwalan ini akan lebih menantang karena adanya dua variabel yang acak, yaitu dari sisi suplai dan permintaan, sehingga hal ini dapat meningkatkan tingkat kerumitan kontrol. Saat ini, telah terdapat beberapa penelitian penjadwalan SBPE pada bangunan, beberapanya adalah Reinforcement Learning (RL). Sistem kelistrikan yang kompleks pada bangunan membuat RL kerap digunakan sebagai pengontrol karena sifatnya yang tidak memerlukan model untuk bisa memberikan solusi. RL pun dibangun dengan sifat adaptif (Görges, 2017), dimana hal ini pun dianggap cocok untuk dinamika bangunan universitas yang pola konsumsi listriknya berubah sepanjang tahun. RL semakin populer dikarenakan kemampuannya dalam mengambil keputusan dalam masalah sekuensial (Zhang et al., 2020), sehingga cocok untuk diaplikasikan dalam permasalahan manajemen energi, dimana produksi PV berubah sepanjang waktu. Oleh karena itu, penelitian ini akan menggunakan RL sebagai solusi bagi manajemen charging dan discharging SBPE untuk meningkatkan swakonsumsi PV.