7 Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Imunoglobulin G Imunoglobulin G (IgG) merupakan glikoprotein dengan berat molekul ~150 kDa. Model struktur IgG terdiri dari rantai berat (Heavy chain = H) dengan 450 asam amino dan rantai ringan (Light chain = L) yang mengandung 220 asam amino. Secara berurutan rantai H dan L memiliki berat molekul ~100 kDa dan ~50 kDa. Rantai H terbagi menjadi bagian V H, CH1, CH2, dan CH3. Sedangkan rantai L terbagi menjadi bagian V L dan CL. Daerah VH – CH1 dan VL – CL memiliki kemampuan pengikatan terhadap antigen, disebut juga sebagai fragment antigen binding (Fab). Sedangkan daerah C H2 – CH3 disebut fragment crystallizable (Fc) yang berfungsi sebagai efektor bagi komplemen dan sel lain seperti makrofag serta memiliki kecenderungan untuk mengkristal menjadi sebuah kisi. (Schroeder dan Cavacini, 2010). Gambar II.1 Model struktur Imunoglobulin G : H = rantai berat, L = rantai ringan, N = asam amino terminal, C = karboksi terminal, S-S = jembatan disulfida, GM = marker genetik (Schroeder dan Cavacini, 2010). Subkelas IgG ada 4 macam, yaitu: IgG 1, IgG2, IgG3, dan IgG4. Keempat subkelas tersebut memiliki kemiripan antara 90% sampai dengan 95%. Perbedaan antar subkelas terletak pada ukuran daerah engsel, yang menghubungkan rantai C H1 dan C H2. Daerah engsel berfungsi mengatur stabilitas dan fleksibilitas molekul IgG. Semakin panjang daerah engsel, maka semakin mudah molekul IgG menetralkan antigen. Berdasarkan ukuran daerah engsel, subkelas IgG dapat diurutkan sebagai berikut: IgG 3>IgG2>IgG4>IgG1. Semakin panjang daerah engsel, maka semakin 8 mudah molekul IgG terproteolisis atau rusak oleh protein lain. IgG 3 memiliki kemampuan tertinggi dalam menetralkan antigen tetapi memiliki waktu tinggal yang sangat singkat dalam serum. Sedangkan IgG 1 memiliki kemampuan lebih rendah dalam menetralkan antigen, tetapi memiliki waktu tinggal lebih lama dibanding subkelas lain. Tabel II.1 Daerah engsel IgG. Rantai H dan L dihubungkan dengan jembatan disulfida pada posisi intra dan inter. Jembatan disulfida pada posisi intra rantai C H dan CL setiap subkelas IgG sama. Sedangkan jembatan disulfida posisi inter pada IgG 1 berbeda dengan IgG2, IgG3, dan IgG 4. Gambar II.2 Skematik subkelas IgG: (a) IgG 1, (b) IgG4, (c) IgG2, dan (d) IgG4. Jembatan disulfida inter rantai C H dan CL pada IgG1 terbentuk dari residu sistein pada ujung karbonil dari rantai C L dengan sistein pertama pada daerah engsel. Sedangkan pada IgG 2, IgG3, dan IgG4 terbentuk dari residu sistein daerah CL Subkelas IgG Urutan asam amino pada daerah engsel IgG1 EPKSCDKTHTCPPCP IgG2 ERKCCVECPPCP IgG3 ELKTPLGDTTHTCPRCP …… ( EPKSCDTPPPCPRCP) x 3 IgG4 ESKYGPPCPSCP (a) (b) (d) (c) 9 dengan residu sistein pada daerah Fab. IgG 1 dan IgG4 memiliki jembatan disulfida pada daerah C H sebanyak 2, sedangkan IgG2 dan dan IgG3 berturut-turut memiliki jembatan disulfida sebanyak empat dan sebelas (Correia, 2010). Jembatan disulfida mempengaruhi antar domain saling berinteraksi. Interaksi tersebut mendorong terbentuknya konformasi IgG yang sangat stabil. Stabilitas konformasi tersebut sangat mendukung fungsi biologis dari IgG. Salah satu parameter yang mempengaruhi stabilitas konformasi adalah pH. Perubahan konformasi terjadi pada pH rendah. Perubahan tersebut terjadi terutama untuk daerah Fc yang meliputi C H2 dan CH3. Ketidakstabilan konformasi tidak hanya mengacu pada pembukaan rantai, agregasi, atau denaturasi tetapi juga menyebabkan terjadinya perubahan sisi katalitik enzim (Calmettes dkk., 1991). II.2 Imunoglobulin G Sebagai Molekul Terapi Secara umum, IgG memiliki lima mekanisme kerja dalam melawan penyakit, pertama: netralisasi, IgG memiliki reseptor yang dapat mengenali toksin, virus ataupun bakteria. Kedua: aglutinasi, ikatan antibodi-antigen atau antibodi-bakteria menyebabkan penggumpalan sehingga rentan terhadap fagositosis. Ketiga: Opsonisasi, antibodi mengikat antigen pada permukaan mikroba, sedangkan daerah Fc antibodi mengenali reseptor fagosit (FcRs), selanjutnya kompleks antibodi- mikroba mengalami fagositosis. Keempat: aktivasi komplemen, kompleks antibodi-antigen dapat mengaktivasi sekitar 20 jenis protein melalui jalur klasik atau alternatif yang menyebabkan terjadinya lisis sel, opsonisasi, kemotaksis, mediator inflamasi, dan clearance of immune complexes. Kelima: Antibody- dependent cell-mediated cytotoxity (ADCC), efek sitotoksisitas dari killer cells seperti neutrofil, makrofag, eusinofil dan natural killer cells. Killer cells memiliki reseptor FcRs yang dapat dikenali oleh Fc dari antibodi. 10 Gambar II.3 Struktur kristal daerah Fc IgG1 (PDB: 1FC1) (Deisenhofer, 1981) dengan pengikatan reseptor Fc, pengikatan C1q, dan daerah pengikatan FcRn (Irani dkk., 2015). Imunoglobulin G dikembangkan sebagai molekul terapi penyakit diawali oleh penemuan anti-toksin untuk penyakit difteri, tetanus, dan antraks pada tahun 1901 oleh Emil von Behring’s. Selanjutnya penggunaan antibodi sebagai molekul terapi (ThAb) tumbuh pesat dalam industri farmasi baik sebagai komplemen obat atau vaksin. Saat ini beberapa penelitian telah dikembangkan penelitian untuk membidik satu dari subkelas IgG untuk pengobatan penyakit infeksi. Tabel II.2 Pengembangan antibodi (Irani dkk., 2015). Produk paten Organisme Produk Jenis dan subkelas Jenis Virus RNA Respiratory syncytial virus (RSV) MEDI- 493/SYNAGIS ® IgG1 manusia Bakteri gram positif Bacillus anthracis ABtrhax® IgG1 Produk yang dikembangkan Organisme Jumlah Janis dan subkelas Jenis Virus RNA West Nile virus Rabies virus Hepatitis C virus Influenza virus Human Immunodeficienc y virus (HIV) Respiratory syncytial virus (RSV) 1 IgG1 manusia 3 Semua IgG1 manusia 2 Semua IgG1 manusia 3 Semua IgG1 manusia 10 1 chimeric IgG1; 2 humanized IgG1; 4 IgG1; 1 IgG2; 2* 3 Semua IgG1 manusia 11 Virus DNA Cytomegalovirus Hepatitis B virus 4 3 IgG manusia; 1 subkelas IgG* 4 Semua IgG1 manusia Bakteri gram positif Bacillus anthracis Clostridium difficile Staphylococcus spp. Streptococcus mutans 4 1 chimeric IgG1; 3 IgG1 manusia 2 Semua IgG1 manusia 4 1 chimeric IgG1; 2 IgG1 manusia; 1 IgG manusia 1 murin IgG/A Bakteri gram negatif Pseudomonas aeruginosa Echerichia coli 2 1 IgM manusia: 1 humanized Fab 3 2 chimeric IgG1; 1 humanized IgG1 Fungi Candida albicans Cryptococcus neoformans 1 Rantai berat scFv 1 Murine IgG1 *tidak disebutkan II.3 Serum Manusia Serum merupakan bagian darah yang tidak mengandung faktor pembekuan (fibrinogen). Serum mengandung beberapa protein penting dan sangat beragam dengan fungsi yang berbeda-beda seperti protein pada sistem komplemen, sistem imun, enzim, inhibitor, lipoprotein, hormon, sitokin dan faktor pertumbuhan, sistem transpor dan penyimpanan, serta protein tambahan seperti biomarker penyakit. Menurut Anderson dan Anderson (2002), jenis protein dalam serum ada 289 jenis. Protein-protein tersebut berada dalam serum dengan kelimpahan yang berbeda. Tabel II.3 Urutan kelimpahan protein pada plasma. No. Protein No. Protein 1 Albumin 11 Apolipoprotein A1 2 IgGs 12 Apolipoprotein A2 3 Transferin 13 Apolipoprotein B 4 Fibrinogen 14 Acid-1-Glycoprotein 5 IgAs 15 Ceruloplasmin 6 α-2- Macroglobulin 16 Komplemen C4 7 IgMs 17 Komplemen C1q 8 α-1-Antitrypsin 18 IgDs 9 Komplemen C3 19 Prealbumin 10 Haptoglobulin 20 Plasminogen 12 Cara memisahkan serum dengan komponen lain dalam darah ada dua, yaitu: dengan cara sentrifugasi atau tanpa sentrifugasi. Cara pemisahan dengan sentrifugasi yaitu dengan membiarkan darah membeku terlebih dahulu (sekitar 15 menit). Selanjutnya sampel disentrifugasi dengan kecepatan 2000–3000 rpm selama 15 menit. Serum yang merupakan cairan berwarna kuning muda segera disimpan pada wadah terpisah dan disimpan pada -20 o C. Sedangkan pemisahan serum tanpa sentrifugasi dengan memasukkan darah pada tabung dan didiamkan selama satu sampai dua jam hingga terbentuk serum. Di dalam darah, distribusi IgG merujuk pada sebaran jenis IgG yaitu IgG1, IgG2, IgG3, dan IgG4. IgG1 merupakan jenis IgG yang paling melimpah dalam plasma darah manusia (60–70%), IgG2 (20–30%), IgG3 (5–10%), dan IgG4 (1–4%). Distribusi IgG dalam plasma darah mempengaruhi cara tubuh merespon infeksi dan patogen. Kehadiran berbagai jenis IgG memungkinkan sistem kekebalan tubuh untuk merespon secara lebih efektif terhadap berbagai ancaman serangan patogen. Meski demikian, jumlah dan jenis IgG juga dapat berubah dalam respon terhadap penyakit atau vaksinasi. Keunggulan IgG dibandingkan dengan kelas lain imunoglobulin: mengenali antigen secara spesifik, memiliki waktu tinggal dalam serum sekira 23 hari, dan dapat ditoleransi tubuh dengan baik. (Dong dkk., 2016). II.4 Perkembangan Metode Pemisahan IgG Lebih dari satu abad, penelitian tentang pemisahan dan pemurnian IgG dari plasma darah manusia telah dilakukan. Metode pemurnian IgG yang paling menarik saat ini adalah teknik kromatografi bioafinitas menggunakan protein A. Keberhasilannya mengikat IgG sangat tinggi dengan tingkat kemurnian lebih dari 95% (Kruger and Hammond, 1988). Namun, metode kromatografi bioafinitas ini memiliki kekurangan, yaitu biaya penggunaan kolom sangat mahal, bahkan lebih mahal dari nilai hasil pemurnian yang dihasilkan. Oleh sebab itu, peneliti terus berupaya menemukan metode pemurnian IgG yang lebih murah dengan selektifitas terhadap IgG tinggi. Berikut merupakan metode perkembangan pemisahan IgG mencakup teknik non kromatografi, kromatografi, dan metode adsorpsi menggunakan MIP. 13 II.4.1 Metode Pengendapan a. Metode Pengendapan Metode ini dianggap penting karena mampu mengkonsentrasikan produk dengan pengurangan volum dan dapat digunakan untuk melakukan tahapan pemurnian selanjutnya. Beberapa penelitian tentang metode ini diawali oleh Cohn dkk. (1946) yang telah berhasil memisahkan fraksi imunoglobulin menggunakan alkohol dingin. Selanjutnya Polson dkk. (1972) dan Vargas dkk. (2012) melakukan pengendapan IgG menggunakan polietilen glikol (PEG). Kemudian Habeeb dkk. (1976) melakukan pengendapan IgG menggunakan amonium sulfat, dan pengendapan IgG juga telah dilakukan menggunakan asam kaprilat oleh Habeeb dkk. (1984). Namun, karena metode ini sangat tergantung dengan proses sentrifugasi yang sangat mahal, metode ini mulai ditinggalkan. Selanjutnya penelitian skala laboratorium menggunakan membran filtrasi bertujuan untuk mengurangi penggunaan PEG dan ammonium sulfat. Sebagian besar metode pengendapan ini memiliki pemulihan antara 85-93%, dengan tingkat kemurnian sekitar 85%. b. Ekstraksi Cair Metode ekstraksi cair digunakan untuk memisahkan zat tertentu menggunakan pelarut cair. Prinsip dari metode ekstraksi cair yaitu memisahkan zat tertentu dari campuran kompleks berdasarkan prinsip kelarutan zat dalam pelarut tertentu. Ekstraksi ini sering digunakan dalam berbagai aplikasi, mulai dari pemisahan senyawa kimia, pemurnian obat-obatan, pemisahan minyak dari biji, juga pemisahan protein. Dong dkk. (2016) telah mengeksplorasi penggunaan pelarut organik hidrofilik dalam salting-out extraction, menemukan bahwa beberapa sistem salting-out extraction menunjukkan tingkat pemulihan IgG yang tinggi. Ferreira dkk. (2008) meneliti penggunaan suhu pada sistem dua fase berbasis air dengan penambahan trietilen glikol diglutarat yang mampu meningkatkan hasil pemulihan dan kemurnian IgG. Xian-wen dkk. (2006) melakukan ekstraksi dan pemurnian IgG dari serum sapi menggunakan metode amonium sulfat jenuh. Berbagai metode pemisahan, seperti salting-out extraction dengan pelarut organik hidrofilik, sistem dua fase berbasis suhu, dan metode amonium sulfat jenuh, dapat digunakan secara efektif untuk ekstraksi dan pemurnian IgG. 14 II.4.2 Metode Kromatografi a. Size Exclusion Chromatography (SEC) Kromatografi filtrasi gel atau SEC sering digunakan untuk analisis berbagai senyawa, termasuk protein dan biomolekul yang lain karena memberikan hasil pemisahan yang cepat dan tidak merusak molekul. Metode ini digunakan untuk menentukan distribusi ukuran molekul dalam sampel dan untuk memurnikan senyawa berdasarkan perbedaan ukuran molekul. SEC juga telah digunakan untuk memisahkan IgG dari plasma darah manusia. Andrew dkk. (2000) telah melakukan pemisahan IgG menggunakan metode SEC dengan alasan metode SEC merupakan metode pemisahan yang murah.