5 Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Sawit dan Gulma Pada perkebunan kelapa sawit, lahan yang produktif rutin terpapar oleh gulma, terutama pada area piringan tanaman (circle weeding) yang merupakan bagian pemupukan berbentuk lingkaran dengan diameter tertentu mengelilingi sekitar tanaman kelapa sawit. Kandungan organik yang tinggi di area tersebut akan mendorong pertumbuhan gulma dengan pesat (Dadang dkk., 2020; Fauzi dkk., 2014). Gulma merupakan tumbuhan yang keberadaannya tidak diinginkan untuk tumbuh pada suatu lahan agroekosistem, karena berpotensi merugikan lingkungan dan kepentingan manusia. Beberapa sifat unggul yang menyebabkan gulma mampu berkompetisi dengan baik, yaitu penguasaan suatu areal cepat, daya adaptasi tinggi dan penyebaran luas (Jumin, 2008; Sembodo, 2010). Gulma yang terdapat pada perkebunan kelapa sawit beragam. Beberapa gulma yang telah teridentifikasi kehadirannya pada perkebunan kelapa sawit di Lampung seperti Cyperus kyllingia dan Cyperus iria, Paspalum comersonii, Imperata cylindrica, Ottochloa nodosa, Paspalum conjugatum dan Digitaria ciliaris, Asytasia gangetica, Ageratum conyzoides, Borreria alata, dan Synedrella nodiflora (Oktavia dkk., 2019; Sidik dkk., 2020). II.1.1 Praxelis clematidea Praxelis clematidea merupakan tumbuhan invasive alien species (IAS) (Kementerian Pertanian, 2017) yang ditemukan sudah menginvasi kawasan hutan lindung (Ihsan dkk., 2022), area budidaya, dan vegetasi lainnya (Tjitrosoedirdjo & Wahyuni, 2018). Praxelis teridentifikasi keberadaannya pertama kali di Papua pada tahun 2001. Kedatangan spesies invasif ini diperkirakan terbawa masuk ke wilayah Indonesia dari Papua New Guinea yang diduga penyebarannya terbawa melalui 6 angin atau terjadi kontaminasi biji impor yang berasal dari Australia. Tumbuhan ini juga ditemukan sudah mendominasi vegetasi kebun koleksi kelapa sawit dari Taman Mekar Sari di Jawa Barat pada tahun 2017 (Tjitrosoedirdjo & Wahyuni, 2018) dan sektor perkebunan di Lampung (Sidik dkk., 2020). Keberadaan tumbuhan invasif yang tidak segera ditangani dengan baik dapat membahayakan lingkungan, karena mampu menyebabkan perubahan ekologi seperti struktur komunitas asli (biodiversitas), aliran energi, dan siklus nutrisi. Selain itu, penyebaran tumbuhan invasif juga merugikan ekonomi, karena perubahan ekologi yang disebabkan tumbuhan invasif dapat menurunkan nilai ekologis-biologis suatu ekosistem, serta membutuhkan pengeluaran dana yang besar untuk proses pengendalian dan pemberantasannya (Tjitrosoedirdjo dkk., 2016a). Praxelis clematidea merupakan tumbuhan herba semusim yang termasuk ke dalam famili Asteraceae (Gambar II.1). Tinggi tumbuh tegak sekitar 20-80 cm dengan batang berbentuk silinder dan ditutupi bulu panjang. Daunnya tunggal berhadapan dengan bentuk telur-lanset, bergerigi tajam 5-8 lekukan di setiap sisi daun, ujung daun lancip dan pangkal daun meruncing, panjang daun sekitar 2,6-6 cm dan lebar daun sekitar 1-4 cm, serta berbau menyengat saat daun diremas. Perbungaan berwarna biru; lila; atau ungu muda, berjenis bunga bongkol (kapitula) berukuran kecil dengan panjang 7-10 mm dan lebar 4,5 mm, membentuk malai diujung cabang, terdiri dari 20-50 bunga tabung yang dikelilingi 20 bractea berwarna kuning kehijauan. Biji berwarna hitam dengan panjang 2-3 mm dan terdapat pappus dengan panjang 3-4 mm (Salgado dkk., 2020; Tjitrosoedirdjo & Wahyuni, 2018). Gambar II. 1 Morfologi Praxelis clematidea: (A) tumbuhan habitus herba; (B) akar; (C) batang; (D) daun; (E) kapitula; (F) bunga tabung; dan (G) biji dengan pappus (Foto pribadi). A B C D E F G 7 II.1.2 Asystasia gangetica Asystasia gangetica merupakan salah satu gulma yang banyak tumbuh di agroekosistem. Gulma ini telah menyebar di beberapa wilayah Indonesia seperti Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah, serta Kalimantan (Tjitrosoedirdjo dkk., 2016b). Keberadaan Asystasia ditemukan pada perkebunan kelapa sawit di Lampung Selatan sebagai gulma dominan yang resisten terhadap herbisida glifosat (Sriyani & Sari, 2019) dan sejauh ini belum ditemukan laporan terkait resistensi Asystasia terhadap herbisida sintetik lainnya. Namun, resiko resistensi dapat terjadi karena Asystasia pada perkebunan nanas di Lampung Tengah sudah membutuhkan dosis herbisida diuron tiga kali lipat lebih tinggi untuk mengendalikan setengah populasinya sehingga gulma berpotensi resisten (Hendarto dkk., 2017). Asystasia gangetica merupakan tumbuhan herba tahunan yang termasuk ke dalam famili Acanthaceae (Gambar II.2). Tinggi tumbuh tegak sekitar 125 cm dengan batang berbentuk segi empat dan berbulu halus. Daunnya tunggal berhadapan dan berbentuk lonjong atau bulat telur dengan ujung lancip. Perbungaan berbentuk lonceng dengan panjang sekitar 15-25 mm, berjenis bunga tandan dan berwarna putih dengan bercak ungu pada bagian kelopak bawah mahkota yang khas berupa dua garis sejajar. Buah berbentuk kapsul dengan ukuran sekitar 2-3 cm tersusun berbaris dan setiap buah menghasilkan 4 biji. Buah awalnya berwarna hijau dan berubah menjadi buah kering berwarna cokelat atau hitam pada saat matang. Biji matang berwarna cokelat hingga hitam, berbentuk pipih dengan ukuran sekitar 4-6 mm dan memiliki dormansi fisiologis yang tergolong ringan. Masa dormansi biji dapat berakhir sekitar 135 hari dalam penyimpanan kering di suhu kamar (Baskin & Baskin, 2001; Grubben & Denton, 2004; Mocharla & Aluri, 2021; Tjitrosoedirdjo dkk., 2016b; Westaway dkk., 2016). 8 Gambar II. 2 Morfologi gulma Asystasia gangetica: (A) tumbuhan habitus herba; (B) buah; (C) bunga (Hsu dkk., 2005); (D) batang dan daun (Westaway dkk., 2016); (E) biji matang (Foto pribadi). II.2 Metabolit Sekunder yang Bersifat Alelopati Metabolit sekunder merupakan senyawa organik yang dihasilkan dari proses metabolisme sekunder. Metabolit sekunder umumnya bersifat sangat spesifik terkait fungsinya sehingga spesies yang satu memiliki jenis yang berbeda dengan spesies lain. Metabolit sekunder pada tumbuhan dapat berfungsi sebagai: 1) pertahanan terhadap mikroba, tumbuhan kompetitor dan atau hewan herbivora; 2) atraktan berupa bau, warna dan atau rasa untuk polinator maupun hewan penyebar biji; serta 3) perlindungan dari sinar ultraviolet (UV) (Anggraito dkk., 2018; Saidi dkk., 2018). Metabolit sekunder yang disintesis oleh tumbuhan sebagai pertahanan terhadap tumbuhan kompetitor disebut alelokimia. Proses interaksi antara tumbuhan donor yang memproduksi dan melepaskan alelokimia dengan tumbuhan akseptor sebagai target disebut alelopati. Fenomena alelopati bersifat merugikan bagi tumbuhan akseptor karena dapat menghambat kinerjanya untuk tumbuh dan berkembang (Hock & Elstner, 2005). Berdasarkan kerangka dasar senyawa, metabolit sekunder dibagi ke dalam beberapa golongan senyawa (Anggraito dkk., 2018), yaitu: A C E B D 9 1. Senyawa Fenolik Kelompok senyawa fenolik mengandung satu atau lebih gugus hidroksil (-OH) fungsional yang terikat pada cincin aromatik. Senyawa fenolik paling banyak ditemukan pada tumbuhan, karena keberadaannya dapat ditemukan pada organ akar, batang, daun, bunga, buah, dan biji. Kelompok senyawa ini umumnya bersifat polar (Darmanti, 2018). Flavonoid merupakan senyawa yang termasuk ke dalam golongan fenolik. Senyawa ini dapat ditemukan pada tumbuhan famili Asteraceae dan memiliki sifat tidak menguap. Flavonoid berperan sebagai inhibitor enzim IAA-oksidase sehingga mampu menekan pertumbuhan gulma (Talahatu & Papilaya, 2015). Asam indolasetat (IAA) merupakan hormon auksin utama dari hasil biosintesis asam amino triptopan. Hormon IAA membutuhkan bantuan enzim IAA-oksidase untuk mengendalikan berbagai proses fisiologi tumbuhan seperti memicu pembelahan sel, pemanjangan sel, pembesaran sel, diferensiasi sel, serta respon terhadap cahaya dan gravitasi (Asra et al., 2020). 2. Senyawa Alkaloid Kelompok senyawa alkaloid mengandung gugus nitrogen pada cincin heterosiklik.