1 Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Pencemaran plastik merupakan masalah yang dianggap serius bagi lingkungan yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia dan dunia saat ini. Menurut Lusher et al (2017), plastik merupakan suatu bahan yang memiliki karakteristik murah, serba guna, mudah dibuat menjadi berbagai bentuk, dan juga tahan lama. Hal tersebut menyebabkan bahan plastik banyak digunakan dalam kehidupan sehari – hari manusia. Tingginya penggunaan plastik mengakibatkan produksi plastik global meningkat dengan pesat setiap tahunnya. Produksi plastik global mencapai 311 juta metrik ton sejak tahun 2014 dan meningkat pada tahun 2021 mencapai 390 juta metrik ton (Statista, 2023). Hal tersebut tentunya akan berkontribusi pada peningkatan jumlah sampah plastik. Menurut data KLHK (2019), persentase komposisi sampah plastik di Indonesia pada tahun 2014 mencapai 14% dari total timbulan sampah dan meningkat pada tahun 2016 menjadi 16% dari total timbulan sampah. Persentase tersebut diperkirakan akan terus meningkat setiap tahunnya. Keberadaan sampah plastik di lingkungan akan bertahan dalam jangka waktu yang lama sesuai dengan karakteristik plastik yang tahan lama. Akibatnya, degradasi plastik akan terjadi secara lambat melalui proses kimia dan mekanis. Selama proses degradasi, plastik akan berubah menjadi fragmen plastik yang berukuran lebih kecil yang disebut dengan mikroplastik dan menyebabkan pencemaran semakin serius (Maguire dan Gardner, 2023). Masalah pencemaran mikroplastik telah meningkat dengan pesat beberapa tahun terakhir ini. Mikroplastik merupakan partikel plastik berukuran kecil dengan diameter kurang dari 5 mm (Shen et al., 2020). Keberadaan mikroplastik di lingkungan dapat berasal dari sumber primer dan sumber sekunder. Namun, mayoritas mikroplastik di lingkungan berasal dari sumber sekunder, sedangkan sumber primer hanya menyumbang 15 – 30 % mikroplastik di lingkungan (Shen et al., 2023). Mikroplastik primer berasal dari tumpahan atau pembuangan produk industri seperti produk perawatan pribadi dan kosmetik (pasta gigi, sabun, scrub, 2 dan lain-lain). Sedangkan mikroplastik sekunder terbentuk melalui proses degradasi plastik berukuran besar secara kimia dan mekanis, biasanya melalui bakteri, radiasi ultraviolet, perubahan suhu, dan lain-lain (Fan et al., 2023). Plastik tersebut dapat berasal dari penggunaan bahan plastik untuk aktivitas antropogenik seperti domestik, industri, pertanian, transportasi, konstruksi, dan lain-lain. Aktivitas industri seringkali menggunakan bahan baku plastik dalam proses produksinya. Komposisi kimia plastik yang sering digunakan dalam industri, diantaranya PE, polypropylene (PP), dan polyester (PES). Aktivitas pertanian seringkali menggunakan bahan PE untuk melindungi pertumbuhan tanaman (Zhao et al., 2023). Selain itu, penggunaan plastik dalam kehidupan sehari-hari juga meliputi penggunaan botol air minum yang terbuat dari PE, mainan yang terbuat dari PP, komputer dan suku cadang mobil yang terbuat dari Polystyrene (PS), bahan nilon yang terbuat dari Polyamide (PA), dan lain-lain (Velmurugan et al., 2023). Keberadaan mikroplastik dapat memberikan dampak negatif bagi semua jenis lingkungan dan ekologi. Keberadaan mikroplastik di lingkungan dapat mengakibatkan pencemaran badan air dan tanah (Huang et al., 2020). Selain itu, mikroplastik juga dapat menyerap banyak kontaminan berbeda seperti polycyclic aromatic hydrocarbons dan logam transisi yang dilepaskan dari emisi lalu lintas. Sehingga keberadaan mikroplastik di lingkungan berpotensi mempengaruhi iklim gobal (Allen et al., 2020). Keberadaan mikroplastik juga dapat mengakibatkan dampak negatif bagi kesehatan manusia. Paparan mikroplastik terhadap manusia dapat terjadi melalui inhalasi, dermal, dan ingestion. Dampak negatif paparan mikroplastik terhadap kesehatan manusia dapat mengakibatkan stres oksidatif dan sitotoksisitas, gangguan metabolisme, translokasi, gangguan fungsi imun, neurotoksisitas dan penyakit neurodegeneratif, dan vektor bagi organisme dan bahan kimia (Prata et al., 2020). Berdasarkan penelitian Fournier et al (2020), secara khusus mikroplastik dapat masuk ke dalam paru-paru manusia melalui proses respirasi yang kemudian dapat menyebabkan penyakit paru-paru. Mikroplastik yang masuk ke dalam tubuh akan diangkut oleh darah ke bagian tubuh lainnya yang dapat menyebabkan penyakit pada sistem kekebalan tubuh, sistem saraf, sistem reproduksi, dan sebagainya (An et al, 2021). 3 Berbagai studi menunjukkan bahwa mikroplastik terdapat pada lingkungan perairan, sedimen, tanah, debu, atmosfer, salju, dan biota. Berdasarkan penelitian Eo et al (2019), mikroplastik telah terdeteksi di sungai Nakdong dengan konsentrasi sebesar 293 – 4.760 partikel/m 3 di dalam perairan dan 1.970 partikel/kg di dalam sedimen. Berdasarkan penelitian Huang et al (2020), mikroplastik telah terdeteksi di atmosfer di Sanghai dengan konsentrasi berkisar antara 0 – 4,18 partikel/m 3 . Sedangkan pada penelitian Feng et al (2019), mikroplastik telah terdeteksi pada biota yaitu di dalam tubuh ikan yang terdapat di Teluk Haizhou dengan konsentrasi kurang lebih 11,19 ekor/gram. Saat ini penelitian mikroplastik difokuskan pada lingkungan laut, sedangkan penelitian mikroplastik di udara yang selanjutnya dikenal dengan AMP masih terbatas. Berdasarkan analisis di atas, penelitian terkait AMP masih perlu ditingkatkan di berbagai daerah. Penelitian AMP pada studi kali ini dilakukan di Kota Bandung. Metodologi penelitian AMP masih belum memiliki standar yang diakui secara akurat dan efisien. Namun studi ini menggunakan metodologi yang digunakan secara paralel dengan penelitian AMP di berbagai negara.