1 BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Definisi klasik kota adalah suatu permukiman yang relatif besar, padat dan permanen, terdiri dari kelompok individu-individu yang heterogen dari segisosial. Dari definisi di atas, pemukiman/kota digambarkan sebagai objek yang mempunyai elemen-elemen (aspek sosial) yang mempengaruhi kegiatan yang ada dan mungkin ada pada pembangunan selanjutnya. Kota sebagai tempat terpusatnya kegiatan masyarakat terusberkembang dengan semakin kompleksnya kegiatan-kegiatan dalam kota. Oleh karena itu, kota tidak lagi mempunyai fungsi tunggal (single use, yaitupemenuhan kebutuhan masyarakat kota) namun memiliki kecenderungan multifungsi (mixed use) dengan fungsi kegiatan yang berorientasi pada kepentingan pasar (wilayah) dan kepentingan publik. Berdasarkan penjelasan sebelumnya, maka kota dapat diartikan sebagai suatu lokasi dengan konsentrasi penduduk/permukiman, kegiatan sosial ekonomi yang heterogen dan intensif (bukan ekstraktif atau pertanian), pemusatan, koleksi dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan sosial ekonomi yang ditetapkansecara administratif. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Purwoarminta dkk. (2016), perubahan tata guna lahan di Kecamatan Lembang tidak dapat dipungkiri telah terjadi. Penelitian yang dilakukan olehPurwoarmintadkk. (2016) dilakukan dengan membandingkan interpretasi citra Landsat Kecamatan Lembang tahun 1991, 2001, dan 2014.Gambarperubahan tata guna lahan dapat dilihat di Purwoarminta dkk. (2016).Berdasarkan data yang diperoleh (Tabel 1.1 dan Gambar 1.4), tegalan konsisten menjadi tata guna lahan paling dominan di Kecamatan Lembang, namun tren menunjukkan bahwa tegalan mengalamipenurunan luas dari waktu ke waktu. Trenluas hutan di Kecamatan Lembang fluktuatif, dengan terjadi penurunan dari 1991 ke 2001, dan kemudian peningkatan dari 2001 dan 2014. Tren dari pemukiman di Kecamatan Lembang secara konsisten terus mengalami peningkatan dari 1991 ke 2014. Hal ini yang kemudian perlu dilakukan pengendalian ini agar tren ini dapat setidaknya stagnan, atau jika lebih baik menurun 2 Tabel1.1Luasan dan persentase tata guna lahan Kecamatan Lembang tahun 1991, 2001,dan 2014(Purwoarmintadkk., 2016) NoPenggunaan Lahan 1991 2001 2014 Luasan (Ha) Persentase (%) Luasan (Ha) Persentase (%) Luasan (Ha) Persentase (%) 1Hutan 2421,36 25,321953,32 20,432391,33 25,01 2Kebun Campuran 485,85 5,08485,85 5,08543,78 5,69 3Perkebunan 392,51 4,1109,51 1,15376,36 3,94 4Pemukiman 1364,76 14,271581,77 16,541637,2 17,12 5Semak Belukar 978,09 10,231195,47 12,5802,86 8,40 6TanahTerbuka 90,63 0,95474,65 4,96293,92 3,07 7Tegalan 3829,89 40,053762,51 39,343517,63 36,78 Total 9563,08 1009563,08 1009563,08 100,00 Gambar 1.1Grafik perubahan penggunaan lahan di Kecamatan Lembang (Purwoarminta dkk., 2016) Perubahan tata guna lahan ini bukan berarti tidak memiliki dampak yang penting, khususnya kepada aspekhidrologi. Berdasarkan Purwoarminta dkk. (2016), perubahan tata guna lahan menyebabkan perubahan debit dari Sungai Cikapundung.Terjadi perubahan nilai dari debit aliranminimum maupun debit aliran maksimum. Walaupun nilai yang didapatkan fluktuatif, namunjika diregresikan, maka akan mendapatkan tren dari data tersebut. Tren regresi nilai debit aliran maksimum mengalami peningkatan dari tahun ke tahun(Gambar 1.5). Sebaliknya, tren regresi nilai debit aliran minimum stagnan, bahkan cenderung menurun. 3 Gambar 1.2Grafik debit aliran sungai CikapundungdiMaribaya, Lembang (Purwoarminta dkk., 2016) Hal tersebut dikarenakan faktor perubahan lahan yang terjadi di DAS Cikapundung Hulu, khususnya tata guna lahan yang terbuka, seperti pemukiman dan tegalan.Tegalantidak memiliki kemampuan yang baik untuk menahan laju dari kecepatan aliran permukaan dan kemudian menyebabkan air cenderung untuk mengalir di permukaan dan tidak meresap ke dalam tanah. Pemukiman akan memperparah kondisi hidrologi di daerah tersebut.Haltersebut karena banyak lahan pemukiman yang melapisi bagian permukaan tanahnya dengan beton dan aspal, bukan tanah. Beton dan aspal adalah material yang memiliki kemampuan penyerapan air yang sangat rendah, sehingga air akan sangat-sangat banyak persentasenya yang dialirkan. Oleh karena itu, jika terjadi hujan dengan intensitas yang besar di hulu, maka air akan cenderung mengalir di permukaan dan memenuhi sungai, yangkemudian membuat debit aliran sungai sangat membludak. Namun, pada kondisi musim kemaraudi mana hujan jarang turun, makaairtanahyang seharusnya mengisi aliran sungai jumlahnya sedikit. Hal tersebut membuat debit aliran sungai semakin kecil akibat resapanairtanahdari hujan sedikit akibat perubahan tata guna lahan tersebut. 4 Gambar1.3Lokasi banjircileuncangKota Bandung tanggal24 Oktober dan 9 November 2016(lingkaran merah= lokasi terjadinya banjir cileuncang, daerah berwarna biru = DAS Cibeureum, garis biru = Sungai Citepus) (Lubis dkk., 2016) Dampak serupa juga dialami di daerah aliran sungai Cibeureum. Bahkan, pada daerah aliran sungai ini telah terjadi bencana banjircileuncangyang terjadi di Kota Bandung. Banjircileuncangadalahsuatu fenomena yang saat ini menjadi potensi bencana di wilayah perkotaan. Banjir ini bersifat sementara dan terjadi akibat ketidakmampuan sistem pengaliran dalam menampung intensitas hujan yang tinggi. Curah hujan yang terjadi di Kota Bandung berdasarkan hasil pengukuran di Stasiun Geofisika Bandung hari itu termasuk pada kriteria lebat hingga sangat lebat dengan intensitas 77,7 mm (dalam periode sekitar 11,5 jam). Dalam kasus di Kota Bandung, banjircileuncangyangterjadipada tanggal 24 Oktober dan 9 November2016 telah melumpuhkan jalan-jalan di sekitar Pasteur dan Pagarsih yang menimbulkan kerugian yang tidak sedikit(Gambar1.3) Banjircileuncangpada tanggal tersebut terjadi di dalam DAS Cibeureum. Berdasarkan analisis topografi yang dilakukan oleh Lubis dkk. (2016), air limpasan dari banjircileuncangberasal dari bagian 2 dalam penampangmelintang Sub DAS Cibeureum (Gambar1.7). Bagian 2 ini menempati wilayah lereng dari selatan Sesar Lembang dengan kemiringan rata-rata±42.Jika dilihat dari sisi tata guna lahan, bagian 5 2 dari penampang melintangsub-DAS Cibeureumsebagian besar didominasi oleh pemukiman dan pertanian lahan kering bercampur dengan semak dan tidak ditemukan hutan pada bagian 2 (Lubis dkk., 2016). Kedua tata guna lahan tersebut menyebabkan limpasan air yang besar karena kurangnya koefisien infiltrasi dari bahan permukaan yang ada di dalam tata guna lahan tersebut, dan kemudian didukung pula oleh kemiringan lereng yang terjal. Akibatnya, air hanya akan melimpas dalam kecepatan dan debit yangtinggi tanpa ada atau hanya sedikit yang meresap ke dalam tanah. Oleh karena itu, pengelolaan tata guna lahan dalam DAS Cibeureum juga perlu ditegakkan untuk memitigasi bencana banjircileuncangterjadi di kemudian hari. Gambar1.4Kondisi kemiringan lereng padasub-DASberdasarkan penarikan garis penampang dari hulu ke hilirsub-DAS Cibeureum(Lubis dkk., 2016) Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2016 mengatur tentang pedoman pengendalian Kawasan Bandung Utara sebagai Kawasan StrategisProvinsi Jawa Barat. Peraturan ini kemudian menggantikan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 1 Tahun 2008 tentang pengendalian pemanfaatan ruang Kawasan Bandung Utara karena dinilai sudah tidak efektif, oleh karena itu dibutuhkan sebuah peninjauan ulang. Tujuan yang ingin dicapai dari penerbitan peraturan daerah baru ini adalah untuk: a.mewujudkan peningkatan fungsi lindung terhadap tanah, air, udara, flora dan fauna; b.meningkatkan pengendalian dan penertiban ruang di KBU untuk menjamin pembangunan yangberkelanjutan; dan c.mewujudkan kepastian hukum dalam pengendalian di KBU. Berdasarkanhal tersebut, penulis melakukan penelitian yang meliputi studi geologi umum dan studi khusus geologi lingkunganberupa rekomendasizonasi 6 lahanuntuk pengembangan wilayahpemukiman dengan pertimbangan daerah resapanairtanahyang dikorelasikan dengan faktor-faktor sumber bencana, geologi teknik permukaan, serta aspek non-geologi pada Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat yang tercakup dalam Kawasan Strategis Provinsi Bandung Utara. 1.2Rumusan Masalah Dari masalah yang telah disebutkan dalam latar belakang, maka terdapat beberapa masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitumengintegrasikan data geologi untuk analisis geologi lingkungan pada daerah penelitian. 1.3Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penulisan penelitian ini adalah untuk menganalisis kondisi geologi lingkungan daerah penelitianberdasarkan parameter-parameter hidrogeologi, geologi teknik, dan bahaya kebencanaan, serta Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2016. 1.4ManfaatPenelitian Manfaat dari penelitian ini adalah Meningkatkan pengetahuan dan kesadaran warga di Kecamatan Lembang mengenai kondisi geologi lingkungan daerah penelitian, serta menjadi masukan bagi perencanaan tata ruang wilayah kota dan pengembangan wilayah pemukiman Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. 1.5Lokasi Penelitian Secara administratif,lokasi penelitian terletak di Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, JawaBarat dengan batas-batas sebagai berikut: Utara: berbatasan dengan Kecamatan Sagalaherang, Ciater, dan Cisalak, Kabupaten Subang. Selatan: berbatasan dengan Kecamatan Cilengkrang dan Cimenyan, Kabupaten Bandung; serta Kecamatan Cidadap dan Sukasari, Kota Bandung. 7 Barat: berbatasan dengan Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat. Timur:berbatasan dengan Kecamatan Sukasari, Kabupaten Sumedang. Secara geografis daerah penelitian berada pada 786269,806587137 801379,000945418mT dan 92521229240523mU(UTM WGS84 Zona 48S). Daerah penelitian memiliki luas96,25km2(15,1kmx 11,6km).Daerah penelitian adalah daerah yang berada di dalam garis batas berwarnamerah(Gambar1.5). Gambar 1.5Peta lokasi daerah penelitian (maps.google.com) 1.6Metodologi danTahapan Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian yaitu: observasi lapangan geologi dan hidrogeologi, analisis datasekunder, dan analisis data lapangan.