9 9 menghasilkan residu yang besar , hal ini terlihat dari visualisasi secara grafis untuk skala 1 : 1.000 dalam koordinat UTM masih terdapat overlapping yang melebihi dari toleransi pada skala 1 : 1.000. Diduga hal tersebut akibat dari pemakaian sistem proyeksi UTM untuk skala besar. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pemakaian sistem proyeksi ini untuk peta PBB. Patut dipertimbangkan pula posisi data penelitian di dekat zone batas 49 dengan bujur 108 0 bujur timur. II.3. Kajian Penggunaan Sistem Proyeksi TM oleh Badan Pertanahan Nasional. Sehubungan dengan terpilihnya proyeksi TM-3 0 untuk pembuatan peta pendaftaran tanah oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN), Rahman (1997 : 3) melakukan tinjauan karakteristik dari proyeksi TM-3 0 khususnya untuk wilayah Indonesia, seperti faktor skala, konvergensi meridian, dan transformasi koordinat, dihubungkan dengan faktor-faktor yang harus diperhitungkan dalam pembuatan peta pendaftaran tanah seperti kegunaan dan ketelitian peta, letak geografis, bentuk dan luas wilayah yang akan dipetakan, dan ciri-ciri asli yang ingin dipertahankan, yang analisisnya dilakukan dengan jalan membandingkan dengan sistem proyeksi lain. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam pendaftaran tanah sistematik meliputi pemasangan titik dasar teknik, pengukuran poligon, reduksi ukuran, hitungan poligon pada bidang proyeksi, transformasi koordinat, dan perhitungan luas. Berdasarkan spesifikasi teknik pengukuran dan pemetaan pendaftaran tanah sistematik BPN yang menetapkan ketelitian ukuran jarak untuk poligon utama sebesar 1:10.000 dan untuk poligon cabang sebesar 1:5.000, Rahman (1997 : 41) membandingkan kesalahan jarak dan luas apabila dihitung pada bidang proyeksi UTM dan TM-3 0 . Berdasarkan hasil perhitungan kesalahan jarak dan kesalahan luas di bidang proyeksi UTM, TM-3 0 dan menurut spesifikasi BPN, diperoleh bahwa pada sistem proyeksi UTM kesalahan jarak dan luas tidak masuk dalam toleransi BPN sedangkan pada TM-3 0 untuk bidang disekitar meridian tengah 10 10 masuk toleransi, sedangkan di sekitar meridian batas zone tidak masuk toleransi. Oleh karena itu, sistem proyeksi UTM tidak dapat digunakan untuk pendaftaran tanah di BPN. Oleh karena itu Rahman (1997 : 52) menyarankan untuk keperluan jual beli tanah sebaiknya mencantumkan faktor skala pada setiap lembar peta pendaftaran tanah karena variasi faktor skala dalam satu zone proyeksi berpengaruh terhadap hitungan luas persil tanah. Faktor skala ini berbanding lurus dengan lebar zone yang digunakan. Semakin kecil lebar zone semakin baik ketelitian liniernya. Berdasarkan hasil perhitungan reduksi sudut dari elipsoid ke bidang proyeksi TM- 3 0 , Rahman (1997 : 44) menyimpulkan bahwa untuk jarak kurang dari 500 meter koreksi arah horisontal bernilai kurang dari 0,1” sehingga dapat diabaikan. Dengan demikian, untuk ukuran persil-persil tanah yang jaraknya kurang dari 500 meter tidak perlu memperhitungkan koreksi arah horisontal. Untuk konvergensi meridian harus selalu diperhitungkan dalam reduksi azimuth geodetik di elipsoid menjadi sudut jurusan di bidang proyeksi, kecuali untuk daerah di meridian tengah dan di ekuator. Dari penelitian ini juga dapat disimpulkan bahwa untuk peta pendaftaran tanah yang merupakan peta dengan skala besar, desain TM-3 0 kurang optimal terutama terkait faktor skala meridian tengah, disebabkan tidak terdapat keseimbangan dalam perkecilan jarak di sekitar meridian tengah sebesar 0,9999 dan perbesaran jarak di sekitar batas zone sebesar 1,00024. III.4. Kajian Penggunaan Sistem Proyeksi Mercator Miring Terkait dengan pemilihan sistem proyeksi peta penelitian Sudarman (1990 : 3) disebutkan bahwa di dalam melakukan pemetaan suatu wilayah yang bentangannya miring terhadap utara selatan seperti wilayah Indonesia, diperlukan suatu proyeksi yang dapat menghasilkan faktor skala garis yang merata atau kira – kira sama pada setiap daerah di wilayah pemetaan. Apabila proyeksi yang digunakan adalah proyeksi Mercator atau proyeksi Transverse Mercator, maka 11 11 faktor skala garis yang dihasilkan akan bervariasi atau tidak merata. Proyeksi yang memungkinkan agar supaya faktor skala garis yang dihasilkan dapat merata atau kira – kira sama adalah proyeksi Silinder Konform Miring Menyinggung yang selanjutnya disebut Proyeksi Mercator Miring. Rumus – rumus yang digunakan dalam proyeksi Mercator Miring menggunakan rumus – rumus pada proyeksi Mercator, karena bentuk geometri sistem koordinat pada proyeksi Mercator sama dengan sistem koordinat pada Proyeksi Mercator Miring. Pada proyeksi Mercator, sumbu ordinat Y diambil dari proyeksi meridian atau lingkaran utama yang dipilih dan sumbu absis X diambil dari proyeksi ekuator atau lingkaran mendatar terbesar. Sedangkan pada proyeksi Mercator Miring sumbu ordinat Ym diambil dari proyeksi kuasi meridian atau lingkaran utama yang melalui titik potong kuasi ekuator dengan ekuator di titik dan sumbu absis Xm diambil dari proyeksi kuasi ekuator atau 0 0 lingkaran besar mendatar, sehingga rumus perubahan jarak dan perubahan jurusan horizontal pada proyeksi Mercator Miring diperoleh dari rumus perubahan jarak dan perubahan jurusan horizontal pada proyeksi Mercator. Dalam perhitungan koordinat pada bidang proyeksi diperlukan sudut jurusan. Oleh karena itu dicari besarnya konvergensi meridian sistem koordinat pada proyeksi Mercator Miring di suatu titik yang merupakan salah satu besaran untuk mengoreksi azimuth geodesik menjadi sudut jurusan suatu sisi. Sistem salib sumbu koordinat pada proyeksi Mercator Miring, sumbu koordinatnya tidak mengarah ke arah utara yang sebenarnya. Kesimpulan yang dapat dihasilkan dari penelitian ini adalah rumus proyeksi Mercator Miring digunakan untuk memetakan suatu wilayah yang bentangannya miring terhadap arah utara – selatan. Dengan cara menentukan titik acuan di tengah – tengah wilayah dan arah awalnya disesuaikan dengan arah kemiringan wilayah yang akan dipetakan.