Hasil Ringkasan
207 Bab VII Kesimpulan dan Refleksi Penelitian Kembali kepada fenomena deduktif yang telah disajikan secara teoretis pada latar belakang penelitian. Penelitian ini diangkat karena adanya perdebatan teoretis terkait rasa aman yang ada di ruang publik. Selama ini terdapat pertentangan yaitu ruang publik dengan aktivitas yang terjadi di dalamnya dianggap sebagai arena yang mampu meningkatkan keamanan bagi masyarakat atau sebaliknya. Argumen awal terkait dengan aktivitas di ruang publik dapat meningkatkan keamanan adalah eyes on the street dengan strategi meningkatkan visibilitas ke dalam ruang dan meningkatkan keamanan. Konsep eyes on the street yang dikembangkan penelitian lainnya berkembang menjadi pendekatan crime prevention through design (CPTED). Pendekatan eyes on the street yang menitik beratkan aspek pengaturan lingkungan bianaan dikirtik, dengan klaim yaitu semakin banyak kegiatan di ruang publik maka akan semakin banyak kerumunan masa di ruang publik, sehingga manusia yang berada di dalam ruang publik merasa tidak aman untuk beraktivitas. Tokoh – tokoh yang mengkritik lebih mengungkap jika kriminalitas dan perasaan tidak aman terjadi karena aspek sosio demografi bukan karena aspek desain melalui setting lingkungan binaan. Dari adanya antithesis yang muncul ini dilakukan penelusuran literature – literature dan ditemukan fakta peting dari salah satu penelitian, yaitu penelitian oleh Ceccato, (2020) mengungkapkan selama ini studi – studi ruang publik terkait kriminalitas dan rasa tidak aman hanya fokus kepada desain lingkungan yang dilaksanakan berulang kali dengan lokus yang berbeda – beda. Menurut Ceccato, (2020), masih sangat terbatasnya penelitian yang mengangkat dimensi perkotaan dengan variabel pembentuknya terkait rasa tidak aman masyarakat, dugaan teorinya menjadi alasan pembuktian perasaan tidak aman di ruang publik menggunakan variabel eksternal di luar ruang publik yaitu konfigurasi ruang. 208 VII.1. Temuan Empiris A. Bagaimana variabel konfigurasi ruang berpengaruh kepada rasa tidak aman dalam bangunan teori Berdasarkan kajian literatur dari berbagai penelitian sebelumnya, dirumuskan konfigurasi ruang yang menyebabkan rasa tidak aman di ruang publik yaitu wilayah dengan persimpangan yang tinggi, kepadatan yang tinggi, fasilitas hukum dan keamanan rendah, banyak terdapat wilayah kumuh dan miskin, banyak terdapat pusat kegiatan, banyak memiliki kawasan industri, banyak memiliki wilayah berpendidikan rendah dan putus sekolah, banyak kawasan yang tidak tertata / heterogen / kampung, dan area tertata hanya sedikit merupakan wilayah yang seharusnya paling tidak aman. Hipotesis tersebut diuji pada konteks kasus ruang publik di Kota Surabaya. Variabel rasa tidak aman berdasarkan victimization theory yang dapat berhubungan dengan konfigurasi ruang dipengaruhi oleh tiga dimensi utama. Dimensi pertama yaitu representasi ruang dan spasial yang berkontribusi untuk mendefinisikan konfigurasi sosio-spasial sebagai ancaman. Faktor Ini terkait dengan perspektif lingkungan dan faktor sosial yang terkait dalam pengalaman takut akan kejahatan. Dimensi kedua yaitu personality dan psikologis individu, yaitu penilaian suatu individu untuk merespons ancaman yang akan diterima, ancaman yang akan muncul, antara lain: kerentanan pribadi dan strategi mengatasinya, kontrol kognitif, emosional dan perilaku (keyakinan seseorang pada kapasitas seseorang untuk mengadopsi strategi aktif dan pasif dalam perlindungan diri). Dimensi ketiga yaitu bentuk lingkungan, faktor ini termasuk aspek yang terkait dengan karakteristik fisik lingkungan binaan sebagai bagian konfigurasi ruang. Meskipun secara teori diketahui beberapa variabel konfigurasi ruang dapat terkait rasa tidak aman, dan dapat diukur. Dalam penelitian ini, variabel – variabel tersebut diuji kembali menggunakan analisis faktor untuk membuktikan nilai dominan variabel yang paling terkait.