60 BAB V Konsepsi Pemberdayaan Peran TNI Dalam Mengatasi Ancaman Terorisme di Indonesia V.1 Permasalahan yang dihadapi TNI Dalam Mengatasi Ancaman Terorisme Aspek-Aspek yang merupakan kendala untuk mengatasi ancaman terorisme adalah sebagai berikut: V.1.1 Aspek Perangkat Hukum Serangan terorisme yang berulang terjadi di wilayah Negara Republik Indonesia telah menciptakan kerugian besar bagi masyarakat, bangsa dan negara sehingga banyak negara merasa berkepentingan untuk melakukan pengaturan, perngawasan dan bahkan perang terhadap terorisme. Terorisme menjadi ancaman serius bagi suatu negara karena dapat menimbulkan dampak buruk yang luas terhadap kehidupan nasional di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan serta hubungan internasional. Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban yang bersifat lintas negara, terorganisasi dan mempunyai jaringan luas sehingga mengancam perdamaian, keamanan negara domestik, regional maupun internasional. Peristiwa teror yang terjadi berkali-kali khususnya pasca Bom Bali I yang menelan banyak korban (202 orang tewas dan 300 orang cedera) menyebabkan Indonesia menjadi sorotan publik internasional, mengingat mayoritas korban dari tragedi tersebut adalah orang asing yang sedang berlibur di pulau dewata tersebut. Dengan kejadian itu pemerintah Indonesia serta merta dituntut untuk segera memberi respon atas apa yang terjadi agar tidak kehilangan muka dihadapan masyarakat internasional. Peristiwa Bom Bali telah membuka hati dan pikiran pemerintah serta para elit politik Indonesia bahwa terorisme di hidonesia memang telah ada dengan jaringannya yang bersifat global. Sehingga pemerintah bertindak secara cepat untuk melakukan pembenahan dengan mengeluarkan kebijakan- kebijakan sebagai perangkat hukum dalam rangka upaya melawan terorisme. 61 Langkah-langkah nasional dalam memerangi terorisme dan sebagai upaya prevention kegiatan terorisme dalam negara, pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan yang merupakan keputusan penting dalam rangka upaya menanggulangi aksi terorisme di Indonesia. Adapun keputusan tersebut yaitu Perppu No. I Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang telah diundangkan menjadi UU No. 15 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme, Perppu No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perppu No. I Tahun 2002 untuk Pemberantasan Terorisme di Bali (12 Oktober 2002), Instruksi Presiden No. 4 Tahun 2002 yang memberi tugas kepada Menkopolkam untuk mengkoordinasikan langkah-langkah memerangi teorisme dan Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2002 yang memberi otoritas kepada BIN untuk mengkordinasikan kegiatan intelijen. Dikeluarkannya sejumlah peraturan-peraturan tersebut, selain menjadi dasar dam keseriusan pemerintah dalam upaya penanggulangan terorisme yang terjadi di Indonesia, juga dapat disebut sebagai respon pemerintah atas tudingan internasional terhadap Indonesia sebagai negara sarang teroris. Kebijakan tentang terorisme sebenarnya sudah lama dilakukan pembahasannya oleh pemerintah yaitu sejak tahun 1999, namun adanya protes dari beberapa kalangan masyarakat terhadap peraturan tersebut karena dianggap bertentangan dengan agenda penegakan hak asasi manusia di Indonesia. Sehingga rancangan peraturan perundangan yang telah selesai dibuat tersebut ditunda oleh pemerintah. Namun bagaimanapun citra yang melekat bahwa Indonesia sebagai sarang teroris merupakan pandangan negatif yang merugikan bagi Indonesia, manakala masih dilanda krisis berkepanjangan. Adanya pandangan tersebut dibarengi dengan terjadinya peristiwa Bom Bali seolah semakin membuat pemerintah tidak mempunyai pilihan kecuali untuk menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. I Tahun 2002 tentang Pemberantasan terorisme dan Perppu No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perppu No. I Tahun 2002 untuk kasus Bom Bali menjadi undang-undang. 62 Undang-undang tentang tindak pidana terorisme atau sering disebut Undang- Undang Anti Terorisme di sahkan oleh DPR (4 April 2003) ditengah hujan kritik semenjak masih dalam bentuk rancangan undang-undang, karena dianggap tidak sejalan dengan rumusan Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia dan landasan konstitusi negara . Bila dilihat secara cermat dalam UU No.15 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme, tampak adanya ketidakselarasan dengan peraturan perundangan yang ada bahkan adanya kepincangan dalam implementasinya. UU tersebut ditetapkan karena pemerintah menilai bahwa norma-norma hukum yang ada seperti termaktub dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) dan peraturan perundang-undangan lainnya, seperti Undang-Undang Darurat No 12 Tahun 1951 tentang senjata api hanya memuat Tindak Pidana Biasa (ordinary crime) dan tidak memadai untuk diterapkan terhadap tindak kejahatan terorisme yang merupakan Kejahatan Luar Biasa (extra ordinary crime) dan kejahatan terhadap kemanusiaan.(Crime Against Humanity). Sehingga ditingkat implementasinya diperlukan kehati-hatian agar tidak menimbulkan pelanggaran/ penyimpangan terhadap seseorang yang diduga terkait terorisme. Perundang-undangan yang ada pada kenyataannya masih belum mampu mengakomodir kepentingan bangsa dalam rangka menciptakan keamanan nasional. Perangkat hukum yang ada tentang tindak pidana terorisme sebagaimana UU No. l5 Tahun 2003 dan tindak pidana terhadap keamanan negara sebagaimana yang termuat dalam KUHP belum sesuai dengan kepentingan investigasi terhadap para pelaku dan jaringan terorisme yang ternyata mengancam keselamatan bangsa. Undang-undang tersebut belum mengatur dan memberikan kewajiban dan wewenang kepada aparat/perangkat nasional terutama instansi/lembaga yang bertugas dan bertanggung jawab terhadap pemberantasan terorisme di Indonesia. Tanggung jawab tersebut seperti kewajiban dan wewenang untuk melakukan antisipasi terhadap jaringan dan kegiatan terorisme yang berkembang di Indonesia. 63 Lebih lanjut bila dilihat dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana terorisme diakui secara implisit menempatkan Polri sebagai perangkat yang paling dominan dalam menanggulangi terorisme. Sedangkan militer dalam hal ini TNI tidak disinggung mengenai perannya artinya tidak adanya pengaturan mengenai dibutuhkannya kerjasama lintas instansi (departemen) termasuk TNI dengan instansi lainnya dalam penanganan terorisme. Seperti diketahui bahwa sesuai dengan ketentuan UU No 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI yang menjelaskan bahwa tugas pokok TNI adalah menegakan kedaulatan, mempertahankan keutuhan NKRI yang berdasarkan pancasila dan undang-Undang Dasar 1945 serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Tugas pokok sebagaimana dimaksud dilakukan oleh TNI melalui operasi Militer Perang (OMP) dan operasi Militer Selain Perang (OMSP), yaitu untuk mengatasi aksi terorisme. Dengan, demikian TNI dalam mengatasi aksi terorisme telah menjadi bagian dari kebijakan keamananan nasional. Ketcrlibatan TNI dalam menanggulangi terorisme merupakan bagian upaya nasional maupun upaya regional dan global untuk mencegah dan mengatasi terorisme sebagaimana komitmen keterlibatan Indonesia dalamkoalisi global anti terorisme. Menurut Bantarto Bandoro mengatakan bahwa Sebagai negara yang juga menentang anti teror, Indonesia tidak mengabaikan kemungkinan aksi militer langsung terhadap kelompok-kelompok terorisme dikawasan, dan jika hal itu terjadi pemerintah Indonesia harus meyakinkan publiknya bahwa tindakan tersebut dilakukan secara bersama dengan inisiatif-inisitif kontra terorisme lokal. 57 Dengan pendapat tersebut disamping dasar kemungkinan aksi militer langsung dalam memerangi terorisme dan juga meyakinkan publik maka harus dijabarkan dalam undang-undang yang berlaku seperti UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak pidana Teorisme maupun undang-undang lainnya. 57 Bantarto Bandoro, Analisis CSIS, Tahun XXXII No.1 2003, hal 95. 64 Selain itu dalam undang-undang pemberantasan teorisme juga tidak memberikan kewenangan memadai artinya tidak memperluas kewenangan lembaga intelijen dalam pengumpulan data. Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang anti terorisme justru menciutkan peran intelijen dalam menangani aksi terorisme. Berbeda dengan "Patriot Act" yang ada di USA yang memperluas kewenangan intelijen dalam menangani aksi terorisme, padahal dalam perang melawan terorisme intelijen adalah menjadi ujung tombak karena terkait dengan ciri dan karakteristik dari terorisme itu sendiri. Hal ini juga diperkuat oleh Agus Widjoyo bahwa kalau mau disepakati bahwa terorisme sudah merupakan bentuk peperangan, mau tidak mau unsur kekuatan militer terutama unit intelijennya harus dilibatkan. Intelijen pada hakekatnya adalah mata dan telinga negara. 58 Yang terlihat saat ini adalah bahwa semua urusan penanganan terorisme yang begitu kompleks di Indonesia ditangani sendiri oleh pihak kepolisian.