85 BAB V LEASON LEARN AL-ITTIFA Q DAN ALAM ENDAH 5.1 Al-Ittifaq dan Translasi Pembangunan Perubahan sosial desa Alam Endah yang disebabkan oleh keberadaan Al Ittifaq telah diluas pada bab sebelumnya, yang dinyatakan sebagai efek dari adanya aksi inovasi pesantren Al-Ittifaq sehingga terjad i perubahan dalam beberapa kategori, yaitu pendidikan, pertanian dan kelembagaan pemerintahan. Actor-network theory (ANT) digambarkan sebagai 'sosiologi asosiasi' yang berfokus pada penelusuran interaksi antara entitas-entitas yang 'beraksi' (Latour, 1987 dalam Donovan; 2014). Alih-alih menerima konsep-konsep sosial sebagai suatu hal yang apriori, teori ini menyatakan bahwa konsep adalah hasil, bukan penyebab, dari asosiasi-asosiasi di antara para aktor yang heterogen dimulai dalam keadaan fiktif, Aktor dapat menjadi lebih nyata dengan membangkitkan minat dari orang lain, mendaftarkan mereka dalam aliansi, dan akhirnya cukup stabil untuk dianggap - setidaknya untuk sementara waktu - nyata (Latour, 1996a dalam Donovan; 2014). Maka Konsep-konsep, kategori-kategori, dan objek- objek yang stabil dengan demikian merupakan pengecualian, yang membutuhkan kerja yang ekstensif dari para aktor untuk membangunnya. Kategori perubahan kemudian menjadi semacam penjelas untuk keberhasilan proses pembangunan Alam Endah melalui keberadaan Al-Ittifaq sehingga pembangunan yang terjadi di Alam Endah dengan adanya Al-Ittifaq ditetapkan sebagai sebuah proyek yang stabil. Dalam ANT perkembangan stabilitas terjadi ketika entitas terdaftar dalam jaringan di mana mereka mereka kurang lebih mencapai kesepakatan. Namun, karena kebulatan suara penuh sangat jarang terjadi, Latour menekankan konsep 'translation (translasi)' untuk mengartikan transformasi dalam tujuan atau makna yang terjadi ketika entitas menjadi terhubung. Tindakan tidak pernah dicapai sendirian, melainkan membutuhkan jaringan kolaborasi dan mediasi objek. Perubahan yang tak terelakkan inilah yang dimaksud dengan translasi. Dalam proses menjadi, translasi tidak dapat dihindari yang berarti 'satu-satunya cara untuk 86 meningkatkan realitas proyek adalah dengan kompromi' dan dengan demikian menjadi lebih rumit (Latour, 1996 dalam Donovan; 2014) Pemahaman terhadap stabilitas dalam mencermati Al-Ittifaq sebagai sebuah inovasi atau proyek pembangunan dapat ini dapat ditelusuri dari serangkain proses yang menunjukkan ketidakstabilan. Menurut Latour sebuah inovasi atau proyek dimulai sebagai fiksi (project begin as fiction ), Pada waktunya, ia menjadi 'lebih nyata atau kurang nyata (more real or less real ), tergantung pada rantai penerjemahan yang terus menerus (continous chains of translations)' yang didaftarkan (enrolls) dengan menghasilkan kepentingan (generating interest) (Latour, 1996a dalam Donovan; 2014). Satu-satunya cara bagi sebuah proyek untuk menciptakan rantai ini adalah dengan berkompromi, dan dengan demikian menjadi lebih rumit karena lebih banyak kepentingan yang didaftarkan dalam mempertahankan makna dan tujuan. Analisis translasi (mata rantai perubahan yang terus terjadi) ini bisa dicermati dari dinamika dalam mempertahankan makna dan tujuan ketika Al- Ittifaq mulai dikembangkan Kyai fuad, berdampak pada berbagai perubahan yang terjadi di dalam internal pesantren maupun wilayah Alam Endah. Terdapat berbagai entitas yang terus menerus didaftarkan dan menghasilkan kepentingan. Maka Donovan (2014) menyebutkan bahwa dengan menempatkan translasi sebagai inti analisis maka perlu memulai dengan melihat bentuk-bentuk hibriditas (percampuran berbagai entitas) dan melihat ‘Pembangunan’ sebagai translasi (translation of development) (Donovan; 2014). Untuk menjelaskan fenomena Al-Ittifaq dan Alam Endah, akan ditunjukan secara ringkas beberapa fragmen peristiwa bagaimana mata rantai translasi terbentuk. 5.1.1 Entitas Pesantren Untuk melacak kondisi ketidakstabilan ini dapat ditelusuri dari pergeseran-pergeseran yang terjadi dari perkembangan Al-Ittifaq dari berbagai generasi, Al-Ittifaq yang dikenal saat ini merupakan hasil dari ikhtiar kolektif Kyai fuad Affandi yang dimulai sejak tahun 1970 dalam mengganti ayahnya 87 Kyai Rifai. Dirinya diberi tugas memimpin pesantren setelah diminta pulang dari perjalanannya sebagai santri kelana. Pada periode ini, sebagai entitas lembaga pendidikan, nama pesantren yang sebelumnya pesantren Ciburial dirubah menjadi Al-ittifaq, tujuan kyai fuad dalam perubahan nama ini sebagai pemaknaan terhadap kondisi relasi pesantren dan masyarakat yang cenderung eklusif. Pesantren menutup dan mengasingkan diri dari masyarakat sekitarnya. Sehingga, Ittifaq yang artinya kerjasama menjadi cita-cita dari kyai Fuad sebagai ikhtiarnya untuk membuka pesantren agar terhubung dengan masyarakat. Salah satu perubahan yang dilakukan adalah dengan mengubah pola pengajaran di pesantren yang tadinya hanya berdasarkan model salafiyah yang sering disebut sistem pendidikan tradisional atau non formal yang mempelajari agama dan kitab-kitab kuning (klasik) dipadukan dengan model khalafiyah, yang lebih formal be rbasis pesantren namun mengikuti kurikulum yang negara (Lestari, 2018) Karakteristik pesantren sebelum diasuh kyai fuad, cenderung menutup diri dan menerapkan pola pendidikan yang keras dengan beberapa larangan seperti, larangan membaca dan menulis dalam bahasa latin, membuat bangunan tembok, menggunakan radio dan pengeras suara, menempatkan toilet di dalam rumah dan berhubungan dengan pejabat pemerintah (Nurfadilah, 2015). Hal ini, merupakan nilai yang diwariskan dari para pendahulunya yang langsung dengan masa penjajahan Belanda dan pernah terusir dari wilayah Garut. Situasi penuh tekanan tersebut pada akhirnya ikut mempengaruhi tindakan masyarakat dan pesantren dalam beragam aturan yang karena karena semua hal yang dilarang tersebut mencirikan kesamaan dengan orang Kafir (Belanda). Situasi tersebut masih bertahan hingga pada saat Kyai Fuad mewarisi pesantren dan kemudian mulai merubah aturan-aturan tersebut (Amongjati. dkk, 2019). Kiai Fuad melakukan perubahan-perubahan untuk mengembangkan pesantren dengan cara mengubah paradigma yang sudah lama ditanamkan oleh pendahulunya yang menurutnya sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman, dan justru melakukan apa yang tadinya telah dilarang dengan menganjurkan sekolah, membuat bangunan tembok, menggunakan pengeras 88 suara dan radio, membangun toilet di dalam rumah dan menjalin hubungan dengan pejabat pemerintah (Nurfadilah, 2015). Namun ikhtiar kyai Fuad untuk merubah nilai-nilai tersebut bukanlah hal mudah, dia harus meyakinkan ayahnya agar dapat menerima perubahan- perubahan yang dia upayakan. Agar perspektif perubahan yang dimaksudkan bisa terwujud Kyai fuad harus membangun kesepakatan dengan ayah dan kakeknya agar diizinkan menghapus larangan-larangan yang berlaku, dengan alasan bahwa perubahan yang ingin dicapai merupakan bagian dari kepentingan pengembangan Al-Ittifaq dan kepentingannya dirinya sebagai syarat atas permintaan menjadi pimpinan pesantren yang baru. Melalui proses negosiasi tersebut akhirnya kesepakatan dapat tercapai setelah mempertimbangkan berbagai kepentingan bersama seperti yang tergambar dari ungkapan kyai Fuad; Abah, kalo perempuan keluar dari mobil yang ditanyakan selalu toilet. (Ya sudah, bikin). Alhamdulillah tuh sampai 41 toilet. Saya bilang lagi “Abah, santri abah hanya 30, kalo saya bisa 300, bisa 3000”. (Aamiin). “Tapi bah, kalo santrinya banyak, butuh pengeras suara, ijinkan ya”. (“Ya sudaah pasang semua di setiap ruangan”). Jadi, semua pake alasan-alasan, diterima alasan itu. Ya, mulai hari ini saya akan menetap di sini, mengurus masyarakat di sini. (Sumber; wawancara Nurfadilah dengan (Kyai Fuad, 2015). Atas dasar kompromi kyai fuad dan ayahnya itulah, perubahan demi perubahan dilakukan oleh Kyai Fuad. Al-Ittifaq yang baru mulai dibentuk, pesantren yang dulunya hanya salafiyah mulai membentuk sekolah formal. Kondisi saat ini, sekolah yang dibuka oleh Pondok Pesantren Al Ittifaq mulai dari Raudhatul Athfal (setingkat TK), Madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD), Madrasah Tsanawiyah (setingkat SLTP) dan sampai Ma drasah Aliyah (setingkat SLTA). Pada masa kepemimpinan Kiai Fuad Affandi, jumlah santri meningkat pesat menjadi 326 orang (santri putra dan santri putri). Komp lek Pesantren mulai merombak masjid dari bangunan kayu menjadi tembok, pembangunan asrama santri dan membeli sejumlah lahan untuk pertanian untuk sarana belajar santri (Lestari, 2018; 26). Hal ini menjadi perpaduan model lama dan model baru, dan dari sini kemudian identitas pesantren Al-Ittifaq untuk sementara menunjukkan kestabilan. 89 Namun stabilitas yang sementara ini, menjadi sumber kesalahpahaman dengan pesantren lain, karena ketidak konvensionalan model pendidikan yang dilakukan oleh Kya Fuad di al-ittfaq dianggap sebagai sebuah ketidaklaziman bagi Aktor lain, dalam hal ini kyai-kyai yang menjadi kolega kyai fuad selama berkelana di berbagai pesantren di Jawa. Disinilah kestabilan Al-Ittifaq diuji. Dulu paling dimusuhi Pondok Pesantren Al Ittifaq itu. Sampai Gus - Gus Jawa Tengah, Jawa Timur pada datang semua. “Ini penyelewengan tugas!”.