1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan adalah proses yang menggabungkan semua kekuatan sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang membentuk masyarakat—serta dinamika lokal dan global—dan menjalin peristiwa-peristiwa kontemporer dengan warisan sejarah (Hooks, 2016). Sebagai sebuah konsep tentang perubahan, pembangunan merupakan konsep yang diperebutkan (contested), karena menyiratkan arti yang berbeda dari satu situasi sejarah ke situasi lainnya dan dari satu aktor ke aktor lainnya (Hettne, 2009). Definisi yang mencakup semua tentang pembangunan telah diperdebatkan dan kontroversial, terdapat sedikit konsensus yang ada saat ini dan di antaranya tetap relevan di dunia kontemporer (Power, 2018). Apakah para analis fokus pada ''pembangunan'' sebagai wacana (discourse), kebijakan (policy) atau blue print proyek, ataupun sebagai proses sejarah, konsep tersebut menjadi semakin kontroversial (Edelman & Haugerud, 2005; 3). Banyak pemikir pembangunan yang menyerukan perlunya pendekatan yang kritis terhadap pembangunan. Katy Gardner & David Lewis (2015) menyebut bahwa pada dasarnya pembangunan telah bermasalah; karena beberapa aspek pembangunan secara aktif merusak dan melemahkan. Bahkan sangat bermasalah karena menjadi sebuah “sifat” yang diberikan (given), dan sebagai sebuah istilah untuk menggambarkan serangkaian kegiatan, hubungan, pertukaran serta gagasan. Bjorn Hettne (2009), menegaskan pembangunan telah lama berakar pada kolonialisme kemudian mengakibatkan kerugian rakyat di negara-negara berkembang, maka menurutnya, terdapat pandangan yang cukup luas saat ini bahwa makna pembangunan adalah pemaksaan institusi dan nilai-nilai oleh Barat di wilayah yang dianggap membutuhkan pembangunan, dipandu oleh teori pembangunan yang terlalu ambisius dan serba bisa menjelaskan. Dengan demikian, keberadaan manusia dimana pembangunan itu hadir, telah dilihat sebagai objek yang sah untuk intervensi pembangunan. 2 Namun, menurut Gilbert Rist (2010), secara lebih kritis perlu dilihat bagaimana pembangunan tetap bertahan meskipun diliputi berbagai ambiguitas. Kondisi ini bertumpu pada fondasi ‘pembangunan’ yang paling mendasar, yakni berkaitan pada kepercayaan modern (Dalam Conwall & Eade, 2010; 22). bahkan dia menyamakan pembangunan dengan mitos atau agama (Dalam Lang & Mocrani, 2013; 28). Maka menurut Rist (2006), proyek pembangunan dapat dianggap sebagai suatu bentuk "mesianisme modernis" (Dalam Power, 2018: 3). Pembangunan adalah keyakinan pendiri modernitas dan modernitas adalah masa dalam sejarah Barat ketika rasionalitas dianggap dapat mengubah dunia menjadi lebih baik (Power, 2018). Dalam pembangunan, semua kemajuan modern dalam sains-teknologi, demokrasi dan organisasi sosial, etika dan nilai yang dirasionalisasi melebur menjadi satu proyek kemanusiaan (Peet & Hartwick, 2009; 1-2). Oleh karena itu, Arturo Escobar (1995), menyebut pembangunan sebagai mitos yang merusak, sebuah bab yang berbahaya dan gagal dalam sejarah modernitas Barat (Edelman & Haugerud, 2005). Dengan demikian, mengonseptualisasikan pembangunan 1 , sebagian adalah tentang negosiasi apa yang dimaksud dengan “kemajuan” dan “perbaikan” dan definisi tentang apa yang dimaksud dengan intervensi “tepat” dalam urusan negara-negara “miskin” atau “kurang berkembang” (Power, 2018). Konseptualisasi ini secara lebih mendasar berkaitan dengan “disiplin ilmu tentang pembangunan” yang secara historis dibentuk sebagai "ilmu tentang bangsa-bangsa 'terbelakang/kurang berkembang" (Edelman & Haugerud, 2005; 3). Maka pembangunan menjadi bidang studi yang khas, ketika para ahli di Barat prihatin dengan modernisasi wilayah kolonial dan negara-negara merdeka yang baru muncul pasca 1945. Saat itu, gagasan strategis modernitas disusun berdasarkan sikap dan kebijakan yang didasarkan pada rasa superioritas bangsa- bangsa yang telah berhasil memodernisasi diri. Hal ini, berimplikasi terhadap 'proyek modernisasi' yang dianggap dapat menawarkan bantuan yang 1 Menurut Gustavo Esteva (2009), pembangunan menjadi sebuah terminologi yang dicetuskan pertama kali oleh presiden Truman pada 20 Januari 1949 dan sangat berkaitan dengan penemuan konsep “keterbelakangan”, sebagai 'program baru' untuk peningkatan, pertumbuhan, dan pembangunan daerah tertinggal. 3 dibutuhkan dalam 'mengejar ketinggalan' di negara-negara yang dianggap terbelakang atau Dunia Ketiga (Arce & Long, 2000). Dari perspektif ini, maka prasyarat pembangunan hanya dapat dicapai melalui replikasi pengalaman juga model Eropa dan Amerika yang sukses. Situasi ini adalah awal dari rezim disiplin modern di bidang pembangunan. Maka modernisasi sebagai sebuah agenda ditetapkan sebagai kerangka ‘hegemonik’ dimana semua pemahaman tentang pembangunan akan dibangun (Wood, 2016). Ketika mempertimbangkan banyak cara di mana pembangunan telah dikonseptualisasikan, akan berguna untuk mempertimbangkan sejarah ‘development thinking’ atau pemikiran pembangunan (Hettne 1995; Power 2003) yang merupakan keseluruhan gagasan tentang teori, ideologi, dan strategi pembangunan. Teori pembangunan adalah proposisi logis tentang bagaimana pembangunan terjadi di masa lalu dan/atau seharusnya terjadi di masa depan. Strategi pembangunan adalah jalur praktis menuju pembangunan yang diadopsi oleh berbagai pelaku, dari akar rumput hingga internasional. Ideologi pembangunan adalah tujuan dan sasaran yang berbeda yang mendukung teori dan strategi pembangunan. Dalam banyak hal pemikiran pembangunan ini sering terjebak dalam persepsi Barat tentang realitas atau didasarkan pada filosofi, pengalaman dan sejarah. Maka menurut Hettne (2009), pemikiran pembangunan tidak bisa dilepaskan dari kaitannya sebagai kritik terhadap 'proyek modern'. Power (2018: 2) menyatakan bahwa meskipun ada banyak alur pemikiran pembangunan yang berbeda untuk dijelajahi, namun pendekatan modernis telah menjadi salah satu yang paling berpengaruh dalam pemikiran pembangunan secara lebih luas. Teori pembangunan terbelah di antara paradigma - arus utama, alternatif dan pasca-pembangunan atau antara kritik internal dan eksternal terhadap pembangunan. Terdapat Ada kecenderungan di antara para pengguna dan juga para pengkritik teori pembangunan untuk mengaitkan teori tersebut dengan koherensi dan konsistensi tertentu dengan pengecualian satu atau beberapa pembelahan favorit lainnya. Hal ini dengan mudah menghasilkan pandangan dikotomis terhadap teori pembangunan, dan para kritikus pembangunan pun berkontribusi mengikuti logika oposisi biner (Jan Pieterse, 2010; 37-38). 4 Maka menurut Jan Pieterse (2010), kontradiksi-kontradiksi modernitas memiliki relevansi yang sangat besar dengan studi pembangunan. Mengingat bahwa pembangunan adalah modernitas terapan (applied modernity ), semua kontradiksi modernitas direproduksi dalam pembangunan sebagai ketegangan yang tidak terselesaikan (2010: 152). Nampaknya terdapat keraguan terhadap studi pembangunan sebagai suatu disiplin ilmu telah mencapai banyak hal sejak permulaannya, terlepas dari apa yang disebut 'kebuntuan (impasse) dalam studi pembangunan' pada 1980-an. Kebuntuan itu umumnya dikaitkan dengan kegagalan pembangunan di negara-negara Dunia Ketiga, peniruan yang meluas terhadap kebijakan Barat bersamaan dengan munculnya kritik postmodern dan kecenderungan universal menuju globalisasi (Desai, 2014; 30-31). Kegagalan kebijakan pembangunan berkorelasi dengan kebuntuan yang mendalam dalam pemikiran pembangunan (Pieterse, 2010: 29), dan secara lebih mendasar kebuntuan berakar dari cara pandang modern dalam pemikiran pembangunan, maka terdapat semacam kebutuhan dalam merefleksikan modernitas dan pembangunan. Dari sudut pandang ini, menurut Norman Long dan Alberto Acre (2000) bahwa modernitas sebagai kumpulan tertentu dari praktik sosial dan diskursif tidak pernah sepenuhnya konsisten dan koheren, kemudian modernitas sering kali tidak lengkap dalam menginterpretasi perubahan sosial kontemporer, maka, alur penalaran semacam itu perlu digantikan dengan analisis cermat terhadap praktik-praktik lokal yang justru sering kali menunjukkan penggabungan antara unsur modern dan tradisional ke dalam bentuk hybrida dan menjadi semacam dinamisme heterogen. Pendapat yang hampir serupa juga dinyatakan oleh Jan Pieterse (2010), bahwa refleksi modern dalam pembangunan menjadi semacam perspektif critical terhadap pandang dikotomistik dalam pembangunan dan sebaliknya. Sementara itu perspektif kontemporer yang sangat kritis terhadap praktik pembangunan berkembang melalui pemikiran Post-development (Pasca pembangunan) yang mengadopsi sudut pandang yang lebih luas dalam memandang pembangunan melalui kacamata problematika modernitas (Jan Pieterse, 2000) yang diasosiasikan dengan pemikiran Arturo Escobar (1994), dimana pendekatannya menjanjikan jalan menuju “alternatif pembangunan” 5 yang lebih adil dan berkelanjutan dan menjadi pendekatan kritis yang paling populer untuk pembangunan (Ahser & Wainwright, 2018). Namun pendekatan ini masih dianggap memiliki kelemahan secara analitik dalam melihat pembangunan (Jan Pieterse, 2010; 156). Dengan kelemahan tersebut, maka Jan Pieterse (2010) menganjurkan perlu adanya pembaruan dalam pembangunan baik pengetahuan maupun praktis, sebuah perspektif pembangunan yang di sebut after post-development.