161 BAB VII Kesimpulan dan Saran VII.1 Kesimpulan Dari penelitian yang saat ini dilakukan, permasalahan Anak yang Berkonflik dengan Hukum ini merupakan sebuah fenomena yang kompleks. Tingginya Anak yang Berkonflik dengan Hukum ibarat sebuah gunung es yang merupakan sebagian kecil permasalahan yang nampak dari bagian permasalahan yang lebih besar dan mendasar. Di mana bagian dasar tersebut merupakan sebuah dampak, akumulasi, dan simpul tertentu dari berbagai pengalaman hidup yang dialami, yang akhirnya nampak di permukaan adalah Anak melakukan pelanggaran hukum dan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan menjalani pidana di sebuah lembaga, yakni LPKA. Berdasarkan kajian dan pembahasan pada ketujuh partisipan Anak yang Berkonflik dengan Hukum di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas II Bandung, maka dihasilkan sejumlah kesimpulan sebagai berikut: VII.1.1 Karakteristik Anak yang Berkonflik dengan Hukum Anak berkonflik dengan Hukum berasal dari berbagai latar belakang dan situasi sebelum masuk LPKA. Pada dasarnya Anak Berkonflik dengan Hukum membutuhkan perhatian yang lebih dikarenakan anak masih belum bisa mempertanggungjawabkan secara penuh atas apa yang diperbuatnya, masih dibutuhkan orang-orang dewasa di sekelilingnya dalam masa perkembangannya untuk menjadi manusia dewasa. Seorang anak melakukan tindak pelanggaran hingga akhirnya menjalani penghukuman di LPKA tidak terlepas dari kondisi internal maupun eksternal anak tersebut. Kondisi internal tersebut meliputi sensitivitas tinggi yang menimbulkan agresi, kecenderungan anak untuk mengekspresikan emosi melalui gerak dan perpindahan tubuh dan kecenderungan untuk bersikap anarkis terhadap aturan. Sementara kondisi eksternal yang muncul dari pernyataan partisipan antara lain latar belakang keluarga yang tidak harmonis, pengalaman kekerasan fisik yang dialami 162 anak dari orang tua, kurangnya kedekatan orang tua secara fisik maupun psikologis, sikap pembiaran oleh orang tua, lingkungan pergaulan anak yang buruk, paparan konsumsi objek-objek terlarang terhadap anak, paparan informasi yang buruk melalui gawai digital terhadap anak, kedekatan anak dengan objek senjata tajam dan pemenuhan kebutuhan rohani yang kurang. Dari berbagai kondisi para partisipan, keluarga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap fenomena Anak yang Berkonflik dengan Hukum. Situasi keluarga, terutama ketidakhadiran orang tua dalam masa perkembangan anak, identik dengan perilaku menyimpang dari norma sosial yang dilakukan oleh anak. Keluarga juga menjadi motivasi utama anak-anak ingin merubah masa depannya setelah menjalani masa pidana di LPKA. Hal ini menjadi penting untuk mengkondisikan lingkungan awal yang suportif bagi perkembangan anak baik fisik maupun psikis, sebagai dasar pembentukan karakter anak sebelum memasuki lingkungan di luar keluarga. Dengan memahami karakter Anak yang Berkonflik dengan Hukum akan memberikan gambaran sebagai dasar untuk menerapkan penghukuman yang paling tepat terhadapnya. Anak tidak serta merta diberikan label “Anak Nakal” ketika mereka melawan tindakan melawan hukum. Anak adalah peniru ulung terhadap hal-hal yang terjadi di sekelilingnya. Dari penelitian ini diketahui bahwa apa yang setiap hari anak lihat, aktifitas dan objek-objek yang memberikan paparan pada anak menjadi faktor penting yang menentukan akan menjadi seperti apa anak tersebut dikemudian hari. Kebetulan anak yang menjadi partisipan pada penelitian ini adalah mereka yang sangat erat dengan lingkungan dengan kebiasaan yang tidak sesuai dengan nilai kebaikan yang diakui oleh masyarakat yang lebih luas, dalam hal ini negara. Bagi mereka yang setiap hari terpapar dengan perilaku negatif dan minim internalisai nilai kebaikan yang diakui secara luas, akan menganggap bahwa tindakan pelanggaran terhadap norma sosial yang mereka lakukan adalah hal yang normal dan wajar, ditambah lagi dengan pengawasan orang tua dan orang-orang dewasa di sekitarnya yang buruk 163 dengan berbagai latar belakangnya. Tindakan yang menyebabkan Anak tersebut harus menjalani penghukuman di LPKA sebenarnya adalah tindakan yang sehari-hari dilakukan, antara lain tawuran, konsumsi narkoba, dan seks bebas akibat paparan yang sering mereka dapat dalam kesehariannya. Hal tersebut juga memberikan gambaran tentang fenomena anak yang saat ini terjadi. Apabila dilihat dari pernyataan para partisipan, banyak diantara teman-teman lingkungan pergaulan para partisipan juga melakukan aktifitas-aktifitas pelanggaran terhadap aturan seperti yang dilakukan oleh para partisipan, kebetulan tindakan- tindakan tersebut belum tersentuh oleh aparat penegak hukum, sehingga banyak dari mereka masih bebas di luar sana dan belum mendapat tindakan dari otoritas yang berwenang. Ini menunjukkan bahwa tidak semua anak yang melakukan pelanggaran, menjalani penghukuman di dalam LPKA, dan tidak semua anak yang menjalani penghukuman di dalam LPKA adalah tergolong anak nakal. Perlu dilakukan penggalian yang lebih bersifat personal terhadap masing-masing anak, mulai dari karakter, kondisi keluarga, dan lingkungan anak tersebut berada untuk memberikan justifikasi dan perlakuan yang tepat bagi setiap anak. Temuan selanjutnya pada penelitian ini adalah ternyata tindakan pelanggaran norma sosial yang terjadi saat ini berada pada kondisi yang meresahkan masyarakat secara umum. Aktifitas-aktifitas yang dianggap biasa oleh anak-anak tersebut adalah aktifitas yang berpotensi menimbulkan korban ataupun pihak-pihak yang dirugikan hingga korban nyawa. Usia tidak lagi menjadi parameter bahwa anak dapat melakukan tindakan pelanggaran berat ataupun tidak. Seseorang yang dianggap anak ternyata memiliki potensi kejahatan yang sama dengan orang dewasa. Hal ini menjadi sebuah pertanyaan apakah masih relevan anak diberikan keringanan penghukuman ataupun harus diupayakan diversi pada setiap proses penyelesaian perkara yang melibatkan anak sebagai pelaku tindak kejahatan seperti pembunuhan dan pemerkosaan. 164 Pertanyaan di atas menjadi signifikan karena konsep anak adalah orang yang berusia di bawah 18 tahun (terlepas di manapun batas usia bawah itu diletakkan). Tindak pidana yang tergolong serius dilakukan oleh Anak yang Berkonflik dengan Hukum seperti pemerkosaan dan pembunuhan berencana, seharusnya tidak layak diberikan diversi. Perbuatan-perbuatan demikian bukan lagi disebut “kenakalan anak” sebagaimana konsep yang ingin dilekatkan pada sebutan Anak yang Berkonflik dengan Hukum. Kenakalan anak adalah bentuk-bentuk pelanggaran yang masih bisa ditoleransi oleh masyarakat, bukan kejahatan yang meresahkan seperti pemerkosaan dan pembunuhan berencana. Generalisasi terkait Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang semata-mata melihat usia pelaku sebagai patokan, sesungguhnya tidak sepenuhnya tepat. Antisipasi ini sebenarnya sudah ditegaskan dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, dimana telah dibuat penggolongan bahwa diversi hanya diberikan untuk jenis-jenis tindak pidana yang ancaman hukumannya di bawah tujuh tahun penjara dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana yang ancaman hukumannya di bawah tujuh tahun penjara dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Walaupun kemungkinan diversi tidak dijalankan, para hakim ternyata memiliki persepsi yang kuat bahwa pelaku yang belum berusia 18 tahun wajib diberikan keringanan hukuman. Indikasinya terlihat dari sangat lazimnya ditemukan putusan yang memuat faktor usia yang masih muda sebagai pertimbangan yang meringankan hukuman. Dengan melihat kecenderungan pertambahan kuantitas dan kualitas tindak pidana yang serius dan meresahkan yang dilakukan oleh anak di bawah 18 tahun, praktik sistem peradilan pidana anak perlu didasarkan pada patokan-patokan yang lebih komprehensif, di luar semata-mata batasan usia, yakni terkait dengan keputusan untuk memberikan perlakuan khusus seperti diversi, keringanan, pengurangan hukuman dan perlakuan istimewa di dalam Lembaga tempat menjalani penghukuman. Hal ini juga sejalan dengan penelitian ini, bahwa ditemukan pernyataan dari beberapa partisipan yang merasa nyaman dengan penghukuman yang 165 diberikan. Kenyamanan yang dirasakan oleh para partisipan inilah yang perlu menjadi perhatian. Pada kadar tertentu, rasa nyaman memang dibutuhkan oleh Anak yang Berkonflik dengan Hukum sebagai wujud pemenuhan hak-haknya, namun apabila kadar yang diberikan tidak tepat, justru menjadi bumerang. Kebijakan LPKA yang tepat akan memiliki andil dalam intervensi menurunkan tingginya angka kriminalitas di Indonesia yang melibatkan anak-anak sebagai pelaku. VII.1.2 Pengalaman Penghukuman Anak yang Berkonflik dengan Hukum Berbagai pengalaman didapatkan oleh Anak yang Berkonflik dengan Hukum saat menjalani penghukuman di dalam LPKA, antara lain Pengalaman pemenuhan Hak- Hak Anak di dalam LPKA, pengalaman memperoleh pelatihan keterampilan dan pembinaan kerohanian, pengalaman mendapatkan teman yang suportif di dalam LPKA, dan pengalaman merasakan kesedihan di dalam LPKA. Pengalaman yang dimiliki oleh Anak yang Berkonflik dengan Hukum dalam menjalani penghukuman tersebut memberikan kesan yang berbeda bagi tiap partisipan. Perjalanan hidup yang dimiliki partisipan dari sebelum menjalani penghukuman di LPKA hingga menjalani penghukuman di LPKA memberikan pengaruh terhadap bagaimana partisipan memberikan kesan terhadap pengalamannya memperoleh penghukuman di LPKA. Kesan inilah yang selanjutnya berperan dalam pemaknaan oleh para partisipan terhadap penghukuman yang dijalani di dalam LPKA.