13 BAB II Tinjauan Pustaka II.1 Teori Penghukuman Secara sederhana, penghukuman (sentence) diartikan sebagai suatu bentuk tindakan yang dikenakan terhadap seseorang atau sekelompok orang karena dianggap telah melakukan tindakan kejahatan. Menurut Skinner (1953) penghukuman adalah prosedur di mana respons diikuti dengan (a) penghilangan penguat positif, atau (b) penyajian penguat negatif (atau stimulus permusuhan). Dalam konteks negara, penghukuman adalah reaksi formal oleh negara kepada pelaku kejahatan melalui proses peradilan yang bentuk serta berat ringannya hukuman diberikan berdasarkan putusan kekuasaan pengadilan sesuai hukum suatu negara (Sulhin, 2016). Sudarto dalam Barda Nawawi (1998) memberikan pengertian mengenai penghukuman, menurutnya “penghukuman” berasal dari kata “hukum” sehingga mempunyai arti sebagai “menerapkan hukum” atau memutuskan tentang hukumnya (berechten). Dalam hal ini menetapkan hukum bagi suatu peristiwa tidak hanya berkaitan atau menyangkut hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata. Maka, istilah “penghukuman” dapat dipersempit artinya sebagai “penghukuman dalam perkara pidana” (Muladi; Nawawi, 1998). Pendeskripsian tentang penghukuman diungkapkan oleh Jerome Hall dalam (Snaar, 1996) yang menyatakan bahwa penghukuman mencakup enam komponen, antara lain: (1) sebuah penderitaan yang di dalamnya mencakup kesakitan dan penghinaan; (2) penghukuman bersifat memaksa; (3) penghukuman dilakukan atas nama negara yang memiliki otoritas; (4) penghukuman bertumpu pada aturan dan ketentuan formal yang diungkapkan dalam keputusan; (5) penghukuman dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindakan yang menimbulkan kerugian; dan (6) tingkat atau jenis penghukuman ditetapkan berdasarkan kerugian yang ditimbulkan dan dapat diperberat atau dikurangi tergantung pada kepribadian pelaku, motif dan niat pelakunya. Ohoitimur dalam sebuah bukunya Teori Etika dalam Hukuman Legal juga menyatakan bahwa penghukuman memiliki tiga unsur (Ohoitimur, 1997), yakni: (1) 14 merupakan pemberian kehilangan (deprivasi) atau kesengsaraan kepada seseorang, tidak hanya karena ia telah mengakibatkan penderitaan bagi orang lain, namun juga ia telah melawan hukum; (2) dilakukan oleh institusi yang memiliki keksuasaan berdasarkan hukum; (3) diberikan kepada subjek yang terbukti secara sengaja melanggar hukum dalam masyarakat. Beberapa di antara ahli hukum pidana menyadari betul persoalan penghukuman/pemidanaan bukanlah sekedar masalah tentang proses sederhana memidana seseorang dengan menjebloskan ke penjara, sesungguhnya menghukum dalam hal ini terkait pelanggaran hukum pidana mencakup pula pencabutan (peniadaan), termasuk proses pengadilan itu sendiri. Di berbagai negara terdapat perbedaan dalam penggunaan sebagai label penghukuman, seperti: punishment, treatment, saction dan lain-lain. Sebagai contoh Rancangan Hukum Pidana Italia Tahun 1921 mengelompokkan punishment dan tindakan-tindakan preventif menjadi satu di bawah kata sanction, Russian Penal Code Tahun 1926 menghindari kata punishment dan membicarakan tindakan-tindakan untuk social defence dan Kitab Hukum Pidana Greendland Tahun 1954 yang menggunakan ekspresi netral measure untuk keseluruhan sistem sanksi. Berdasarkan pendapat para ahli terkait penghukuman yang dijelaskan di atas, konsep penghukuman mempunyai unsur-unsur atau karakteristik yang beragam. Meskipun demikian, penulis berkesimpulan bahwa penghukuman merupakan reaksi formal negara yang mengandung penderitaan atau konsekuensi-konsekuensi lain yang tidak menyenangkan dalam rangka penyelesaian perkara pidana dan tingkat penghukumannya ditentukan berdasarkan kerugian yang ditimbulkan, niat dan kepribadian pelakunya. Penghukuman merupakan bagian penting dalam konteks hukum pidana, dikarenakan penghukuman merupakan proses dimana seseorang harus mempertanggungjawabkan tindak pidana yang telah dilakukan. Pada dasarnya hukum pidana tanpa adanya penghukuman atau pemidanaan sama artinya dengan 15 menyatakan seseorang bersalah tanpa ada akibat yang pasti terhadap kesalahannya tersebut. Pemikiran mengenai penghukuman terus berkembang, hingga memunculkan teori- teori penghukuman (dalam berbagai literatur hukum disebut dengan teori hukum pidana/strafrecht thorien), yang mana teori tersebut digunakan sebagai justifikasi atas penerapan penghukuman (pemidanaan) suatu negara terhadap pelaku tindak kejahatan. Secara garis besar terdapat lima jenis teori penghukuman antara lain retributive, deterrence, incapacitation, rehabilitation dan restorative (Gross, 1979; Reid, 1979; Miethe & Lu, 2005). II.1.1 Teori Retributive (Pembalasan) Teori ini merupakan model penghukuman tertua diantara model penghukuman yang lain. Dalam teori retributif menurut Hegel, hukuman dibenarkan karena masyarakat harus membuat kerugian bagi pelanggar hukum, hanya yang bersalah yang harus dihukum, dan beratnya hukuman harus proposional dengan tingkat kesalahan, “an eye for an eye” (Shelke, S.; Dharm, 2019). Inti dari teori ini adalah hukuman diberikan karena sebuah pembalasan atas perbuatan kriminal yang telah diperbuat, sehingga terdapat kerugian yang harus ditebus oleh pelaku (Wardhani, 2019). Prinsip dari teori retributif klasik yaitu “let the punishment fit the crime” merupakan prinsip dasar dari praktik penjatuhan di Eropa Barat pada abad 19 yang dilahirkan dalam buku De Beccaria, Dei delitti e delle pene (1764). Bagi Beccaria, bukan hanya karena kepentingan umum bahwa kejahatan tidak boleh dilakukan, tetapi bahwa kejahatan jenis apapun harus berkurang, sebanding dengan beratnya kerugian yang diderita oleh masyarakat karena kejahatan tersebut. Filosofi Hukum yang sangat mempengaruhi Beccaria adalah kebebasan berkendak (free will). Dikatakan bahwa perilaku didasarkan pada hedonisme, prinsip senang-susah: manusia memilih tindakan yang akan memberikan kesenangan dan menghindari tindakan yang akan menimbulkan kesusahan. Maka pidana dengan derajat tertentu harus diberikan 16 kepada setiap kejahatan sehingga kesusahan yang dihasilkan lebih besar daripada kesenangan yang diperoleh orang yang telah melakukan kejahatan. Kontribusi utama dari Beccaria adalah konsep bahwa pidana harus sesuai dengan kejahatannya (Widayati, L., 2016). Selanjutnya, prinsip “let the punishment fit the crime” dimodifikasi oleh pandangan neo-klasik yang menyatakan bahwa penjahat yang melakukan kejahatan yang sama tidak terlalu bersalah atau kurang patut dihukum karena faktor-faktor di luar kontrol mereka seperti: diminished capacity (kemampuan yang kurang), mental disease (gangguan mental), dan immaturity (belum dewasa). Berdasarkan perbaikan pada teori ini, pemidanaan harus disesuaikan terlebih dahulu dengan beratnya kejahatan secara moral dan kurang lebih mengenai karakteristik penjahatnya (Miethe, T. D.; Lu, 2005). Karl O. Christiansen dalam Muladi dan Barda Nawawi (1998) mengidentifikasi lima ciri pokok dari teori retributif, yaitu: (1) the purpose of punishment is just retribution (tujuan pidana hanyalah sebagai pembalasan); (2) just retribution just the ultimate aim, and not in itself a means to any other aim, as for instance social welafare any significance whatsoever (pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain seperti kesejahteraan masyarakat; (3) moral guilt is the the only qualification for punishment (kesalahan moral sebagai satu-satunya syarat untuk pemidanaan); the penalty shall be proportional to the moral guilt of the offender (pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelaku); (5) punishment point into the past, it is pure reproach, and it purpose is not to improve, correct, educate or resocialize the offender (Pidana melihat ke belakang, ia sebagai pencelaan yang murni dan bertujuan tidak untuk memperbaiki, mendidik ataupun meresosialisasi pelaku) (Muladi; Nawawi, 1998). Dalam sebuah studi yang dilakukan Brown (2015) yang berjudul Punishment and the Restoration of Rights yang salah satunya menguji teori Hegel yang mengklaim bahwa 17 teori yang dihasilkan merepresentasikan pengembalian hak korban dengan dilakukannya penghukuman terhadap pelaku tindak kriminal. Hegel menggunakan metafora yang berlebihan sebagai justifikasi dari teorinya, dan masih gagal menunjukkan bahwa merenggut kemerdekaan pelaku tindak kriminal adalah sebagai wujud pengembalian hak korban yang telah direnggut (Brown, 2015). Meski demikian teori retributif masih menjadi salah satu teori yang masih banyak diterapkan di berbagai negara, meskipun pada prakteknya seringkali tidak berdiri sendiri, namun dikombinasikan dengan teori lainnya. Dari berbagai penjelasan mengenai teori tersebut dapat disimpulkan bahwa Teori Retributivemerupakan salah satu teori penghukuman dengan Konsep Pembalasan, yang dalam implementasinya diturunkan ke dalam Sub Konsep Pembalasan yang Sepadan dengan Kejahatan. Konsep penghukuman teori retributivedapat dilihat pada bagan sebagai berikut: Gambar II. 1 Konsep Penghukuman Retribution (Hasil Analisis) II.1.2 Teori Deterrence(Pencegahan) Deterrenceberasal dari kata deterent yang berarti penjeraan, bahwa pidana dimaksudkan untuk mencegah pelaku dan orang lain melakukan kejahatan dan pelaku menjadi contoh bagi orang lain akan konsekuensi dari melakukan kejahatan (Gross, 1979). Dalam teori deterrence, penghukuman adalah memberikan rasa sakit kepada seseorang dengan tujuan untuk mencegah orang tersebut mengulangi kejahatanya atau mencegah orang lain melakukan kejahatan(Shelke, S.; Dharm, 2019). Ide dasar 18 dari teori ini adalah menjatuhkan hukuman sebagai upaya membuat jera dengan tujuan mencegah terulangnya kejahatan yang telah dilakukan, seperti hukuman penjara atau denda (Panjaitan, P.; Simorangkir, 1995). Teori ini erat kaitannya dengan teori utilitarian yang dipelopori oleh Jeremy Bentham. Teori Detterence memiliki konsep yang berpendapat bahwa penghukuman dapat mencegah kejahatan berikutnya. Istilah deterrence juga disamakan dengan istilah prevention (pencegahan) yang terdiri dari special prevention (pencegahan khusus) dan general prevention (pencegahan umum). Pencegahan khusus adalah langkah-langkah yang diambil untuk menciutkan nyali pelaku agar tidak mengulangi kejahatannya. Sedangkan pencegahan umum adalah dampak bagi masyarakat yang muncul dari pidana dan stigma “penjahat” yang melekat pada pelaku. Orang lain akan terdorong untuk tidak melakukan suatu perilaku kejahatan setelah melihat pidana yang diterapkan pada pelaku kejahatan (Widayati, L., 2016). Sebagaimana Beccaria yang tidak percaya pada pemberian pidana berat, satu-satunya alasan menghukum adalah untuk menjamin keberlangsungan kehidupan masyarakat dan untuk mencegah orang melakukan kejahatan. Pencegahan bukan berasal dari pidana yang berat tetapi dari pidana yang sepadan, segera, dan tak bisa dihindari (Reid, S., 1979). Penekanannya adalah hampir selalu pada pidana sebagai alat pencegahan kejahatan, atau alat untuk mengurangi kejahatan. Pencegahan ditekankan tidak hanya oleh politisi, pemimpin publik, dan para profesional di bidang hukum pidana tetapi juga oleh banyak sarjana. Banyak ilmuan sosial, hampir sebagian besar, mengakui bahwa pembenaran penghukuman terletak pada kemampuan pencegahan (Widayati, L., 2016).