1 BAB I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Anak adalah tunas, potensi, dan generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan (Huraerah, 2007). Memastikan anak-anak dapat tumbuh bebas dari kemiskinan, dengan sehat dan terdidik, merasa bahagia dan aman adalah dasar untuk menciptakan manusia dewasa yang dapat berkontribusi kepada ekonomi dan masyarakat dengan kohesivitas sosial yang tinggi. Pasal 1 dokumen United Nation Convention on the Rights of the Child (UNCRC)/ Konvensi Hak-Hak Anak (KHA) menyebutkan “a child means every human being below the age of eighteen years unless under the law applicable to the child, majority is attained earlier” (anak adalah setiap manusia yang berumur di bawah delapan belas tahun, kecuali menurut undang-undang yang berlaku bagi anak, kedewasaan dicapai lebih awal). Usia tersebut hampir diterima oleh seluruh dunia bahwa usia 18 tahun merupakan tolok ukur antara masa kanak-kanak dan masa dewasa (Mousavi, S. et al, 2012). Masa anak-anak menuju dewasa merupakan masa mencoba-coba dan ketidakpastian, masa dimana seseorang mengalami berbagai kecemasan (anxiety), penghinaan (humiliation), dan perubahan emosi secara cepat (mood swing) (Siegel, L. J., Wels, 2011). Sebelum menginjak dewasa, anak menjalani masa krisis yang ditunjukkan dengan adanya kepekaan dan labilitas tinggi, penuh gejolak, dan ketidakseimbangan emosi, sehingga membuat anak mudah terpengaruh oleh lingkungan. Hal tersebut menimbulkan mereka cenderung untuk berperilaku maladaptif, salah satunya adalah perilaku agresif (Santrock, 2010). Masa pencarian identitas dengan labilitas emosi yang tinggi, tak jarang menjadikannya cenderung pada tindak kenakalan (juvenile delinquency), yakni tindakan asosial bahkan antisosial yang melanggar norma-norma sosial, agama serta ketentuan hukum yang berlaku dalam masyarakat, dan tak sedikit 2 dari tindak kenakalan tersebut harus mengantarkan anak tersebut menjalani proses peradilan pidana untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya (Willis, 2012). Anak yang melakukan tindak kejahatan tidak dapat dimintai pertanggungjawaban penuh atas perbuatannya, karena dianggap tidak mampu membentuk niat untuk melakukan kejahatan (Goldson, B.; Muncie, 2015). Anak tersebut sebenarnya merupakan korban dari apa yang dilihat, didengar dan dirasakan serta pengaruh lingkungan di sekitar mereka. Hal tersebut sejalan dengan hasil studi yang dilakukan Albert Bandura yang menunjukkan bahwa apa yang dilakukan oleh anak adalah merupakan proses meniru terhadap kebiasaan orang-orang dewasa di sekelingnya (Myers, 2011). Sebagian besar dari anak yang melakukan tindak kejahatan berasal dari keluarga yang tak harmonis dan dihadapkan pada situasi dan lingkungan yang membuat mereka mengembangankan perilaku anti-sosial. Apa yang mereka butuhkan adalah sistem yang akan memberikan panduan untuk berbaur kembali ke masyarakat dan bukan sistem yang hanya menghukum mereka karena kejahatan mereka dan meninggalkannya setelah itu (James, 2009). Anak yang melakukan tindak kejahatan yang melanggar hukum suatu negara dalam istilah internasional disebut Children in Conflict with the Law (CICL) / Anak yang Berkonflik dengan Hukum, yakni merupakan istilah yang ditujukan bagi seseorang yang berusia di bawah 18 tahun yang berhubungan dengan sistem peradilan karena diduga atau dituduh melakukan pelanggaran (UNICEF, 2006). Anak yang Berkonflik dengan Hukum tidak dapat diperlakukan sama seperti para pelanggar dewasa. Sistem yang menanganinya perlu memahami keadaan apa yang menyebabkan anak melakukan kejahatan dan kemudian membantu anak keluar dari situasi tersebut (Chopra, 2015). Berdasarkan data UNICEF, secara global terdapat sebanyak 261.000 anak yang berada dalam tahanan pada tahun 2020. Dilihat dari wilayahnya, Amerika Latin dan Karibia merupakan wilayah dengan jumlah anak dalam tahanan terbanyak, yakni mencapai 50.300 anak. Diikuti wilayah Afrika Timur dan Selatan yang memiliki 48.600 tahanan anak. Selanjutnya, tahanan anak di wilayah Asia Selatan 3 sebanyak 44.900 anak. Adapun di wilayah Asia Timur dan Pasifik serta Amerika Utara terdapat masing-masing 40.700 anak dan 32.200 anak. Indonesia dengan jumlah penduduk terbesar di Asia Tenggara yaitu sebanyak 270,20 juta jiwa (BPS, 2020), berdasarkan data kasus pengaduan Anak KPAI tercatat terdapat sebanyak 6.500 kasus Anak Berhadapan dengan Hukum, yang terdiri dari Anak yang Berkonflik dengan Hukum, Anak Korban dan Anak Saksi (KPAI, 2020). Dari jumlah tersebut, sebanyak 2.626 anak merupakan Anak yang Berkonflik dengan Hukum, yakni anak sebagai pelaku tindak pidana. Tindak pidana yang dilakukan antara lain anak sebagai pelaku kekerasan fisik (penganiayaan, pengeroyokan, perkelahian, dsb), kekerasan psikis (ancaman, intimidasi, dsb), kekerasan seksual (pemerkosaan/ pencabulan), sodomi/pedofilia, pembunuhan, pencurian, kecelakaan lalu lintas, kepemilikan senjata tajam, penculikan, aborsi, dan terorisme. Dari sejumlah kasus tindak pidana oleh anak tersebut didominasi oleh anak sebagai pelaku kekerasan sesksual (pemerkosaan/pencabulan) dan anak sebagai pelaku kekerasan fisik (penganiayaan, pengeroyokan, perkelahian, dsb) masing-masing sebanyak 702 dan 506 anak. Kemudian disusul kasus anak sebagai pelaku kecelakaan lalu lintas sebanyak 336 anak dan anak sebagai pelaku pencurian sebanyak 252 anak. Data di atas menunjukkan angka kriminalitas yang dilakukan oleh anak di wilayah Indonesia masih cukup tinggi. Dengan kondisi tersebut tentunya diperlukan strategi dan mekanisme khusus dalam menangani kasus anak yang bermasalah dengan hukum. Karakteristik anak yang masih termasuk dalam kelompok rentan, menjadikannya lebih berisiko terlanggar hak-haknya dan lebih mudah menjadi korban dalam suatu kondisi yang merugikan, tak terkecuali terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum (Hanifah, H.; Santoso, M. B.; Asiah, 2019). Negara sebagai pemegang otoritas untuk menjaga dan melindungi setiap warganya, wajib memberikan perhatian dan perlindungan bagi anak, tidak terkecuali Anak yang Berkonflik dengan Hukum. Indonesia sebagai salah satu negara yang meratifikasi United Nation Convention on the Rights of the Child (Konvensi Hak-Hak Anak) 4 dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, secara hukum menimbulkan kewajiban kepada Indonesia untuk mengimplementasikan hak-hak anak tersebut dengan melekatkan nilai-nilai yang terkandung dalam instrumen internasional tersebut ke dalam hukum nasional. Perwujudan hak-hak yang tercantum dalam KHA tersebut menjadi hal yang penting, diperkuat dengan ketentuan pada konstitusi Negara Republik Indonesia yakni pada pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD 1945) yang sejalan dengan prinsip dari KHA, yang menyebutkan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, yang harus diwujudkan kepada seluruh anak di Indonesia, tidak terkecuali terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana. Sampai saat ini, Indonesia telah melewati beberapa fase regulasi tingkat nasional sebagai dasar implementasi penghukuman Anak yang Berkonflik dengan Hukum. Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, penanganan terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum masih didasarkan pada beberapa Surat Edaran Mahkamah Agung dan Instruksi Mahkamah Agung (Mulyadi, 2005). Pasca disahkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Indonesia telah memiliki unifikasi hukum tentang proses atau mekanisme penyelesaian kasus anak yang berhadapan dengan hukum. Seiring perjalanan waktu, Undang-Undang tersebut sudah tidak lagi dapat mengakomodir kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of child). Pada akhirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 diganti oleh oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang selanjutnya disebut UU SPPA. Terdapat perubahan fundamental di dalam Undang-Undang tersebut yang belum diatur dalam Undang- Undang sebelumnya, yakni kewajiban penerapan prinsip restorative justice melalui mekanisme diversi (Djamil, 2013). Maksudnya, perkara anak dapat diselesaikan tanpa mengikuti prosedur sistem peradilan pidana formal sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap 5 Anak yang Berkonflik dengan Hukum dan diharapkan anak tersebut dapat kembali ke dalam lingkungan secara wajar (Badan Keahlian DPR, 2012). Sistem peradilan pidana formal yang memungkinkan anak menyandang status sebagai narapidana tentunya membawa konsekuensi yang cukup besar dalam hal tumbuh kembang anak, oleh karena itu sistem peradilan pidana anak harus dibedakan dengan pidana orang dewasa (Putri, 2016). Dalam UU SPPA tertuang bahwa sistem peradilan pidana terdiri dari empat komponen, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Keempat komponen tersebut bekerjasama dalam menegakkan keadilan. Orientasi penghukuman anak bertolak dari konsep perlindungan terhadap anak dalam proses penanganannya sehingga hal ini akan berpijak pada konsep kesejahteraan anak dan kepentingan anak tersebut. Namun begitu, sistem peradilan anak dalam tataran pelaksanaannya masih menghadapi berbagai persoalan. Persoalan yang ada diantaranya dilakukannya penahanan terhadap anak, proses peradilan yang panjang mulai dari penyidikan, penuntutan, pengadilan, yang pada akhirnya menempatkan terpidana anak berada dalam lembaga pemasyarakatan yang berpotensi meninggalkan trauma dan implikasi negatif terhadap anak (Susanti, 2017). Satu hal yang menjadi perhatian dalam penelitian ini adalah masih adanya Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang harus menjalani hukuman penjara di lembaga tempat anak menjalani masa pidananya. Hal ini dikarenakan berdasarkan ketentuan dalam UU SPPA tidak semua perkara Anak yang Berkonflik dengan Hukum dapat diselesaikan dengan mekanisme diversi.