1 BAB I Pendahuluan I.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang yang masih perlu melakukan pembangunan di segala bidang dalam wilayahnya guna meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya (Siswoyo, 2020) agar dapat mencapai atau sejalan dengan tujuan negara yang tercantum dalam alinea keempat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menyatakan bahwa tujuan didirikan negara Indonesia adalah untuk mewujudkan kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Salah satu cara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial adalah melalui pembangunan (Astutik dan Dewanti, 2020), di mana menurut Marpaung dkk. (2021) tujuan utama dalam pembangunan adalah untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan adalah proses multidimensi yang mendorong pertumbuhan, kemajuan, dan perubahan lebih baik di berbagai bidang antara lain ekonomi, lingkungan, sosial, dan geografis (Wijaya dan Yudhistira, 2020). Pembangunan infrastruktur merupakan salah satu strategi untuk mempercepat proses pembangunan nasional dan daerah, dan pembangunan infrastruktur juga menjadi salah satu faktor pendorong pertumbuhan ekonomi yang dapat memfasilitasi investasi produktif, menciptakan lapangan kerja, dan mengurangi jumlah penduduk miskin (Srinivasu dan Rao, 2013). Fourie (2006) menyampaikan bahwa infrastruktur adalah sistem fisik dasar suatu negara, di mana meskipun sistem fisik dasar ini adalah investasi berbiaya tinggi, namun keberadaannya sangat vital untuk perkembangan ekonomi dan kesejahteraan wilayah, sehingga tujuan dari negara dan pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dapat tercapai. Menurut (World Bank, 1994) infrastruktur terdiri atas infrastruktur ekonomi berupa public utilities (tenaga listrik, telekomunikasi, air, sanitasi, dan gas), public work (jalan, bendungan, jembatan, kanal, irigasi, dan drainase), dan sektor tarnsportasi (rel kereta api, terminal bus, pelabuhan, bandar udara), sedangkan 2 terdapat juga infrsatruktur sosial berupa pendidikan, kesehatan, perumahan dan rekreasi serta infrastruktur administrasi yaitu penegakan hukum, kontrol administrasi dan koordinasi. Dari beberapa jenis infrastruktur tersebut, infrastruktur jalan baik itu jalan raya maupun jalan tol menurut Fay (1999) adalah faktor yang dirasakan paling menunjang dan berperan penting dalam merangsang maupun mendukung proses kelancaran aktivitas perekonomian di suatu wilayah. Pemerintah Indonesia menyadari pentingnya infrastruktur bagi suatu negara dan meresponnya dengan kebijakan. Dalam periode pertama kepemimpinannya yang dimulai pada tahun 2014, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menekankan pentingnya pembangunan infrastruktur sebagai pondasi negara untuk maju, di mana kebijakan percepatan pembangunan infrastruktur tersebut menjadi salah satu arah kebijakan umum pembangunan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 pada poin 3 yaitu mempercepat pembangunan infrastruktur untuk pertumbuhan dan pemerataan, dengan pembangunan jaringan jalan tol masuk pada agenda pembangunan prioritas meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional, pada sub agenda membangun konektivitas nasional untuk mencapai keseimbangan pembangunan, di mana salah satu program operasionalisasinya tersebut adalah pembangunan jaringan jalan tol yang masif ditargetkan sepanjang 1.000 km sampai dengan 2019. Pada periode kedua Presiden Jokowi, sesuai dengan Perpres Nomor 18 Tahun 2020 tentang RPJMN 2020-2024, pembangunan jalan tol kembali masuk menjadi salah satu bagian strategi utama pembangunan presiden yaitu pada strategi pembangunan infrastruktur di mana pada akhir 2024 ditargetkan 2.500 km jalan tol baru terbangun. Di Indonesia, sejarah pembangunan jalan tol dimulai pada tahun 1975 diawali dengan pembangunan jalan tol Jagorawi (Jakarta-Bogor-Ciawi) sepanjang 59 km yang mulai beroperasi pada tahun 1978 (Siswoyo, 2020). Dilanjutkan pada fase tahun 1995 sampai dengan 1997, pemerintah pada periode itu berusaha untuk melakukan akselerasi pembuatan jalan bebas hambatan dengan pelaksanaan lelang 3 19 jalan bebas hambatan dengan total panjang 762 km, namun keinginan akselerasi tersebut tidak berlanjut akibat krisis ekonomi pada tahun 1997 (Putra, 2023). Setelah era krisis moneter, pemerintah melanjutkan kembali pembangunan jalan tol di mana pada periode 2001-2004 pemerintah mampu membangun 4 seksi jalan tol dengan panjang 41,80 km (Siswoyo, 2020). Percepatan pembangunan tol kemudian mengalami akselerasi yang masif sejak era Presiden Jokowi memimpin di 2014 ditandai dengan masuknya pembangunan jaln tol menjadi program prioritas pembangunan sebagai pengejewantahan dari kebijakan umum pembangunan dan visi misi presiden. Terbukti di bawah masa kepememimpinan Presiden Jokowi, sejak 2014 telah dibangun jalan tol sepanjang 1.704 km (BPJT, 2023) yang jauh lebih panjang jika dibandingkan dengan panjang tol yang dibangun pemerintahan terdahulu mulai dari era kemerdekaan 1945 sampai dengan 2014 yaitu sepanjang 780 km (Siswoyo, 2020). Salah satu bagian dari pembangunan jaringan jalan tol yang masif pada masa Presiden Jokowi adalah ruas tol Cikampek-Palimanan (Cipali) yang merupakan bagian dari tol Trans Jawa. Tol Cipali memiliki keunikan tersendiri yaitu merupakan ruas jalan tol terpanjang (116 km) di Pulau Jawa yang beroperasi sejak 13 Juni 2015 melewati lima kabupaten di Jawa Barat, yaitu Purwakarta, Subang, Indramayu, Majalengka, dan Cirebon (Rosyidin, 2017). Sebagai program prioritas, pembangunan tol Cipali didukung anggaran pembangunan yang cukup besar yaitu menghabiskan dana sebesar 14 triliun rupiah (Harahap, 2015). Tujuan dari program pembangunan jalan bebas hambatan di Indonesia sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol adalah untuk menciptakan kesamarataan pembangunan serta peningkatan efisiensi guna menunjang peningkatan pertumbuhan ekonomi. Pembangunan tol Cipali sebagai kebijakan prioritas dan didukung oleh anggaran cukup besar tentu saja sangat diharapkan dapat mencapai tujuan dari kebijakan tersebut. Sesuai PP Nomor 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan, pelaksanaan kebijakan/program/kegiatan perlu dilakukan evaluasi untuk menilai keberhasilannya di mana menurut Widodo (2010) 4 keberhasilan kebijakan publik dapat dilihat dari perbandingan antara hasil yang diperoleh dengan tujuan yang telah ditentukan dalam kebijakan publik tersebut, sementara itu kondisi di Indonesia menurut Aini dkk. (2013) pada umumnya instrumen yang sering menjadi fokus untuk menilai/mengevaluasi hasil suatu pembangunan infrastruktur oleh pemerintah lebih cenderung pada realisasi fisik program atau instrumen output yang hanya bersifat variabel fisik semata dengan indikator seperti jumlah, panjang, lebar, dan tinggi dari suatu fisik infrastruktur. Dari hasil pengolahan data dan pengecekan peta batas desa, diketahui bahwa tol Cipali melewati 59 desa dan 1 kelurahan pada kabupaten Purwakarta, Subang, Indramayu, Majalengka, dan Cirebon. Selain itu jika dilihat dari komposisi unit pemerintahan terkecil sebanyak 1529 unit regional pada lima kabupaten yang dilalui tol Cipali terdiri dari 1479 desa (96.73%) dan 50 kelurahan (3.27%) yang menunjukkan bahwa wilayah yang dilalui tol Cipali didominasi oleh wilayah desa, di mana menurut Taryono dan Ekwarso (2012) desa identik dengan sektor pertanian yang menghasilkan produk-produk pertanian. Namun di sisi lain, strategisnya letak lima kabupaten yang dilalui tol Cipali yaitu Purwakarta, Subang, Indramayu, Majalengka, dan Cirebon karena dilalui juga oleh jalan nasional dan jalur Pantai Utara (Pantura) di mana jalan nasional tersebut sudah terbangun sebelum tol Cipali sehingga menjadi jalur utama lewatnya arus barang dan arus manusia, di mana fungsi jalan sebagai penghubung dalam konektivitas wilayah akan menyebabkan munculnya aktivitas dari masyarakat khususnya terkait perdagangan dan jasa di sepanjang koridor jalan seperti rumah makan, toko, dan tempat peristirahatan (Safira dkk., 2021). Lokasi strategis dan telah tersedianya jalan nasional mampu mendorong mobilitas dan urbanisasi menuju lokasi tersebut, di mana urbanisasi adalah faktor penting dalam pertumbuhan ekonomi khususnya pertumbuhan industri perdagangan dan jasa (Dholakia dkk., 2018), namun di sisi lain dapat mengurangi tenaga kerja sektor pertanian. Hal tersebut didukung oleh data dari BPS (2023) yang menyampaikan bahwa kategori lapangan usaha yang memberikan kontribusi terbesar pada PDRB tahun 2022 pada lima kabupaten yang dilalui tol Cipali adalah industri pengolahan baru kemudian perdagangan, pertanian, dan konstruksi yang menunjukkan bahwa 5 meskipun secara administratif wilayah mayoritas yang dilalui tol Cipali adalah desa yang lekat dengan sektor pertanian, namun secara faktual desa-desa tersebut sudah tidak seutuhnya bercorak agraris namun didominasi oleh sektor industri pengolahan serta didukung oleh sektor perdagangan dan konstruksi. Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa pembangunan jalan memiliki dampak positif terhadap ekonomi sektor perdagangan dan jasa lokal/sekitar. Zhang dkk. (2020) menemukan bahwa pembangunan tol mampu mereduksi biaya mobilisasi yang pada akhirnya berdampak pada semakin bertambah potensi pasar yang akan berdampak pada ekonomi lokal. Pembangunan tol baru menghasilkan kesempatan baru bagi pelaku usaha lokal dan pekerja untuk terlibat dan mampu memberikan/meningkatkan penghasilan yang juga nantinya berdampak pada lokasi transaksi ekonomi/perdagangan dan indikator ekonomi umum di wilayah tersebut (Yoshino dan Abidhadjaev, 2017). Pembangunan tol memacu peningkatan aksesibilitas yang merupakan hal kunci bagi daerah tersebut yang memberi keuntungan dalam kegiatan ekonomi pada daerah tersebut (Condeco- melhorado dkk., 2014). Kemudian menurut Safira dkk. (2021) menjelaskan bahwa perkembangan ekonomi akan terlihat dari aktivitas ekonomi masyarakat, kemudian dikaitkan dengan jalan, maka fungsi jalan sebagai penghubung dalam konektivitas wilayah akan menyebabkan munculnya aktivitas dari masyarakat khususnya terkait ekonomi di sepanjang koridor jalan seperti rumah makan, toko, dan tempat peristirahatan. Di sisi lain terdapat juga studi dari Pradhan dan Bagchi (2013) yang menemukan bahwa pertumbuhan ekonomi di India tidak dipengaruhi secara langsung oleh perkembangan infrasruktur transportasi namun terdapat faktor lain yang mendorong pertumbuhan ekonomi India. Penelitian terdahulu dampak pembangunan jalan tol terhadap ekonomi yang dilakukan di Indonesia pada unit analisis regional tingkat kabupaten/kota menunjukkan bahwa jalan tol mampu meningkatkan Gross Domestic Product (GDP) dan lapangan pekerjaaan di area Bandung (Ardiyono dkk., 2018), Marpaung dkk (2021) menemukan bahwa pembangunan tol di wilayah Salatiga membawa pengaruh positif pada pendapatan petani dan pelaku Usaha Mikro, 6 Kecil, dan Menengah (UMKM) di wilayah tersebut. Di sisi lain terdapat temuan dampak negatif dari pembangunan tol di tingkat kabupaten/kota, Santoso (2018) dalam Arumandani dan Zein (2023) menemukan penurunan omset hingga 70% dari pedagang telur asin di Brebes sejak tol Trans Jawa beroperasi. Sektor perhotelan di Brebes, Subang, dan Indramayu mengalami penurunan pendapatan dan usaha kecil menengah di Subang, Indramayu, dan Purwakarta mengalami penurunan pendapatan juga (Ardiyono dkk., 2018), yang juga dirasakan oleh pedagang batik di Kota Pekalongan (Noviyanti dan Pinasti, 2021). Sementara Siswanto dkk. (2019) menemukan bahwa terjadi penurunan penjualan batik dan okupansi penginapan dari dampak jalan tol di Kota Pekalongan. Penelitian terdahulu dampak pembangunan jalan tol terhadap ekonomi yang dilakukan di Indonesia pada unit analisis regional terkecil yaitu tingkat desa/kelurahan diketahui bahwa sebagian besar unit analisis hanya pada desa dan kecamatan tertentu dalam sebuah kabupaten yang dilakukan oleh Noor dkk. (2017), Hadiyanti dan Sulistinah (2019), dan Naeruz dkk. (2022) dengan metode deskriptif atas hasil kuesioner, wawancara, dan observasi. Fitri (2019), Barirotuttaqiyyah (2020), dan Suseno dkk. (2017) melakukan penelitian dengan metode uji beda t-test dan regresi berganda. Penelitian dampak pembangunan jalan tol terhadap ekonomi wilayah yang dilalui di Inodonesia tersebut masih memiliki keterbatasan pada unit analisis yang terbatas pada desa atau kecamatan tertentu dalam sebuah kabupaten dan belum secara elaboratif dilakukan pada desa/kelurahan yang dilalui ruas tol secara utuh, selain itu metode penelitian yang digunakan cenderung menggunakan metode kuantitatif yang kurang mempertimbangkan/mengantisipasi faktor luar yang dapat mempengaruhi perubahan dari variabel dependen penelitian, mengingat terdapat faktor atau kebijakan lain yang dapat memberikan pengaruh terhadap perekonomian desa (Putra, 2023). Penelitian dampak tol di tingkat desa/kelurahan dirasa sangat penting karena desa/kelurahan adalah unit regional yang berbatasan langsung dengan lokasi pembangunan jalan tol. 7 Dari uraian di atas maka akan menarik dan penting untuk dilakukan penelitian dampak pembangunan tol terhadap ekonomi wilayah (desa/kelurahan) yang dilaluinya.