12 BAB.II.TINJAUAN PUSTAKA II.1 Pergerakan Tamin (2000) berpendapat bahwa sistem transportasi memiliki konsep dasar mobilitas di daerah perkotaan yang menjadi salah satu prinsip dasar penelitian dibidang transportasi, konsep ini terbagi menjadi dua bagian yaitu : (a) Karakteristik perjalanan non-spasial (tiadak ada batas ruang) contoh mengapa orang berpergian, waktu orang bepergian dan jenis moda transportasi apa yang digunakan. (b) pergerakan spasial (dalam batas ruang) di dalam kota, termasuk pola penggunaan lahan, pola pergerakan seseorang dan pola pergerakan barang. Sistem pergerakan merupakan gambaran dari berbagai aktivitas – aktivitas yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan seseorang. Aktivitas tersebut terlihat dari tataguna lahan dimana merupakan hasil dari tarikan dan bangkitan perjalanan. Adapun pergerakan dari aktivitas tersebut difasilitasi oleh jaringan transportasi (prasarana) dan moda transportasi (sarana) dimana terdapat interaksi antara aktivitas, sistem jaringan serta sistem pergerakan sehingga akan membentuk sistem transportasi (Manheim, 1979). II.2.TransportiDemandiManagement. (TDM) Transport.Demand.Management merupakan metode/kebijakan yang diterapkan untuk bisa meningkatkan penggunaan fasilitas serta sarana transportasi yang sudah ada dengan lebih efektif dan efisien, kebijakan ini mengatur dan meminimalkan penggunaan kendaraan bermotor dengan memengaruhi perilaku perjalanan, perilaku perjalanan yang dipengaruhi antara lain : frekuensi perjalanan, moda pilihan serta waktu tempuh (Andrea Broaddus, 2010). Beberapa negara baik yang sudah berkembang maupun sedang berkembang, mulai dapat menerima kenyataan bahwa sistem prasarana transportasi tidak pernah dapat mengimbangi peningkatan kebutuhan transportasi. Hal ini disebabkan upaya peningkatan kualitas dan kuantitas pelayanan sistem prasarana transportasi pada suatu wilayah tertentu akan dapat meningkatkan aksesibilitas dan mobilitas di wilayah tersebut yang pada akhirnya akan dapat berkontribusi pada peningkatan kebutuhan transportasinya, Hal ini 13 disebabkan karena kebutuhan transportasi dan sistem prasarana transportasi saling berkejaran dan tidak akan pernah berhenti hingga tercapai kondisi jenuh/macet tercapai (OZ Tamin. 2007). Melalui PP No 32 Tahun 2011 Terkait Manajemen dan Rekayasa, Analisis Dampak dan Manajemen Kebutuhan Lalu lintas pada bab IV Pasal 60 - 61 sudah diatur bagaimana pelaksanaan kebijakannya di Indonesia, Penerapan manajemen lalu lintas akan berdampak pada efisiensi dan efektivitas pemanfaatan ruang lalu lintas serta mengendalikan lalu lintas yang dilaksanakan secara bersamaan dan terintegrasi dengan strategi – strategi seperti : a) Pengendalian lalu lintas pada ruas jalan dan persimpangan tertentu. b) Pengurangan penggunaan kendaraan pribadi. c) Mempromosikan penggunaan transportasi umum dan transportasi yang ramah lingkungan. d) Memengaruhi kebiasaan perjalanan masyarakat melalui berbagai pilihan yang efektif dalam konteks moda, lokasi, waktu dan rute perjalanan. e) Mendorong dan memfasilitasi perencanaan yang terpadu antara perencanaan tata ruang dan transportasi. Menurut OZ Tamin (2007) konsep Manajemen Kebutuhan Transportasi atau Transport Demand Management (TDM) diimplementasikan secara detail dengan memberikan suatu batasan pilihan dan memungkinkan bagi masyarakat untuk memilih beberapa hal sesuai dengan kondisi dan pilihan masyarakat. Kebijakan yang dapat dilakukan harus mampu mempertimbangkan dampak dari berbagai perubahan spasial dan temporal yaitu : a) Perubahan waktu perjalanan (Time Shift) Proses pergerakan berlangsung pada tempat yang sama, namun pada waktu yang berbeda, Pengguna mengubah waktu keberangkatan sehingga jalan dapat digunakan secara bergantian, strategi ini bertujuan strategi agar jam puncak tersebar. b) Perubahan rute / lokasi (Route Shift) Proses pergerakan tersebut berlangsung pada waktu yang sama, namun pada rute atau jalur yang berbeda strategi route shift adalah dengan pengalihan dan mendistribusikan pengguna jalan sehingga setiap ruas jalan memiliki kepadatan 14 yang hampir sama. Strategi yang digunakan adalah dengan mencari informasi terkait rekomendasi penggunaan rute-rute tertentu, manajemen lalu lintas sesuai dengan kondisi aktual di lapangan. c) Perubahan moda (Mode Shift) Terjadi perjalanan dengan tempat dan waktu yang sama yang membedakan hanya pilihan moda transportasinya. d) Perubahan Lokasi Tujuan (Location Shift) Terjadi perjalanan dengan tempat, waktu dan moda yang sama namun lokasi tujuan perjalanan yang berbeda. Terdapat perubahan atau pergeseran tempat/lokasi aktivitas masyarakat. Pendekatan konvensional harus mulai ditinggalkan dalam proses perencanaan sistem transportasi perkotaan saat ini hal yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan usaha pengelolaan atau pengendalian kegiatan pada sisi kebutuhan transportasi, atau biasa dikenal dengan Transport Demand Management (TDM) Faktor yang memengaruhi permintaan perjalanan (Sharma, .2019.; .Litman, .2012; Boyce.dan.Williams, .2015.; .Alam et al, .2018; .Litman, .2008.; Smith, 2020) Tabel II 1 Faktor – faktor yang memengaruhi permintaan perjalanan No Karakteristik Variabel 1 Demografis - Umur - Tingkat Pendidikan - Ukuran Rumah Tangga - Pendapatan - Jenis Kelamin 2 Sosio – Ekonomi - Jenis Pekerjaan - Status Sosial - Jenis Aktivitas Bisnis - Jenis Aktivitas Wisata 3 Biaya Perjalanan - Biaya BBM - Biaya Kendaraan dan Pajak - Biaya Parkir - Biaya Kendaraan umum - Asuransi 4 Moda Transportasi - Bus Umum - Berjalan dan Bersepeda - Ridesharing 15 No Karakteristik Variabel - Taxi - Kepemilikan Kendaraan Pribadi 5 Kualitas Servis - Volume Lalu lintas - Kecepatan - Keamanan dan Keselamatan - Keandalan - Kenyamanan - Waktu tunggu dan kondisi - Kondisi parkir - Keberadaan Informasi 6 Guna Lahan - Kepadatan - Konektivitas - Kemauan berjalan - Rata – rata waktu transit - Lahan campuran - Desain jalan raya Sumber : Sharma, .2019.; .Litman, .2012; Boyce., .2015.; .Alam et al, .2018; .Litman, .2008.; Smith, 2020) II.3 Kebijakan Low Emission Zone di Dunia Salah satu bentuk Transport Demand Management (TDM) adalah penerapan kebijakan LEZ, konsep dari kebijakan adalah dengan penerapan pembatasan pergerakan kendaraan bermotor untuk meningkatkan kualitas udara di wilayah perkotaan dan biasanya kebijakan ini diterapkan dalam bentuk zona. Tujuan kebijakan ini adalah untuk mengurangi polusi udara di wilayah perkotaan sekaligus melakukan pengurangan penggunaan kendaraan bermotor sehingga diharapkan masyarakat akan beralih menggunakan transportasi umum. LEZ diterapkan dengan melarang kendaraan bermotor emisi tinggi masuk ke wilayah tertentu yang menjadi lokasi penerapan LEZ. Pengenalan penerapan zona semacam ini pertama kali dilakukan di Swedia pada tahun 1996. Kemudian banyak negara di Eropa yang mengadopsi kebijakan tersebut sejak periode 2007-2008. Kebijakan LEZ mendapat dukungan publik yang baik; karena dapat mengurangi emisi udara sekaligus memberikan beberapa alternatif mobilitas bagi warga. Biasanya, di dalam kawasan LEZ, kendaraan dengan tingkat emisi yang di atas standar akan dilarang masuk, 16 namun terkadang mereka hanya perlu membayar biaya masuk yang lebih tinggi (OECD, 2010). Adopsi kebijakan Zona Emisi Rendah (LEZs) telah menjadi salah satu kebijakan transportasi yang paling sering digunakan untuk mengatasi tantangan kualitas udara di tingkat kota (Tögel and Špička, 2014). Meskipun definisi LEZ dapat bervariasi tergantung pada konteksnya, di sini dianggap sebagai wilayah geografis di mana akses kendaraan yang paling berpolusi diatur. Sasaran tindakan pengaturan ini dapat mengatasi pengurangan berbagai jenis polutan udara, seperti NOx, PM, ozon, dan gas rumah kaca seperti CO2. Pembatasan pada kendaraan yang paling berpolusi dapat ditetapkan melalui berbagai kebijakan khusus: pembatasan slot waktu, bea masuk untuk kendaraan bermotor, dan transportasi aktif (Cass dan Faulconbridge, 2016). Tabel II.2 mencantumkan beberapa kebijakan khusus yang termasuk dalam LEZ di seluruh dunia. Implementasi LEZ diterapkan pada tempat-tempat dengan kepadatan lalu lintas tinggi dan konsentrasi aktivitas ekonomi dan sosial yang relevan. Sifat, perluasan, dan karakteristik LEZ bervariasi tergantung, antara lain variabel, pada norma budaya, sistem hukum, dan sasaran kualitas udara, (Aldua ́n, 2014; Holman et al., 2015) Tabel II 2 Kebijakan LEZ di berbagai dunia Karakteristik London Singapura Stockholm Madrid Tipe Kebijakan LEZ dan Congestion Charge (CC) Congestion Charge (CC) LEZ dan Congestion Charge LEZ Penerapan Kebijakan 7.00 - 18.00 7.30 - 20.00 pm Senin - Jumat 6.00 - 18.30 Setiap hari selama 24 jam untuk kendaraan beremisi tinggi (tipe A dan B) pengecualian untuk kondisi darurat Senin hingga jumat 12.30 - 20.00 Sabtu Senin - Jumat 7.30 - 13.00 hari libur nasional Luasan Area 1500 km2 7,25 km2 10 km2 5 km2 Denda (Biaya Masuk) Tarif tetap harian £11.50 Biaya bervariasi mulai dari 0 - 12 SGD tergantung jenis kendaraan, waktu dan lokasi USD 3.8 (pada saat jam sibuk) dengan tarif harian maksimal USD 11,3 Tergantung jenis kendaraan yang lewat semakin beremisi tinggi biaya semakin mahal (3-6 Euro) 17 Karakteristik London Singapura Stockholm Madrid Pengecualian Taxi, kendaraan untuk disabilitas, kendaraan minibus untuk komunitas yang terdaftar dsb Taxi, kendaraan darurat (ambulans, pemadam kebakaran) Kendaraan darurat (ambulans, pemadam kebakaran) Taxi, pemilik lahan parkir, kendaraan darurat (ambulans, pemadam kebakaran) Teknologi yang digunakan Automatic Number Plate Recognition (ANPR) Dedicated Short - Range Radio Communications (DSRC) ANPR Dampak dari kebijakan penggunaan kendaraan pribadi menurun hingga 30% pada saat jam penerapan kebijakan CC Jumlah kendaraan di singapura terus meningkat tetapi volume lalu lintas yang memasuki area tetap tidak berubah Terdapat penurunan emisi kendaraan 10 - 15% didalam kota Terdapat penurunan dalam penggunaan mobil sebesar 28,5% setelah berlakunya kebijakan LEZ Jumlah bis yang masuk area tengah kota meningkat hingga 20% dengan jumlah penumpang bis meningkat dari 77.000 menjadi 106.000 Penggunaan moda transportasi umum meningkat menjadi 66% selama jam sibuk Terdapat 21% penurunan volume kendaraan Kenaikan penggunaan kendaraan umum sebanyak 8,9% dan penggunaan transportasi aktif sebesar 8,2% setelah berlakunya kebijakan LEZ Konsentrasi PM menurun sebesar 2,46 - 3,07% (Didalam area LEZ) dan 1% diluar area penerapan LEZ Kecepatan ideal dapat tercapai pada ruas jalan yang dilakukan pembatasan Setelah berlakunya kebijakan LEZ selama 4 tahun konsentrasi PM dari kendaraan berat menurun sebesar 40% Semakin sering seseorang berpergian ke 'madrid central' maka kemungkinan untuk melakukan perpindahan moda semakin kecil Sumber : (Ortiz J. Gomez, 2022), (Y.Wang,2017) Jenis kebijakan pembatasan dalam LEZ sebagian besar didasarkan pada emisi, seperti di London, Madrid dan Stockholm namun beberapa kota menggabungkan kebijakan LEZ dengan batasan lainnya. Seperti di kota London dan Stockholm kedua kota ini menggabungkan LEZ dengan biaya kemacetan (CC), sementara Singapura hanya memilih salah satu kebijakan LEZ dan CC untuk diterapkan, Meskipun LEZ dan CC memiliki tujuan yang berbeda namun secara umum kedua kebijakan tersebut bertujuan 18 untuk mengurangi jumlah penggunaan kendaraan pribadi yang memberikan efek positif untuk mengurangi kemacetan dan peningkatan pada kualitas udara. Penerapan kebijakan pembatasan ini juga cukup bervariasi umumnya pemberlakuan pembatasan ini diterapkan pada saat jam sibuk siang hingga sore hari seperti yang diterapkan di kota London, Singapura dan Stockholm namun terdapat kota yang melakukan pembatasan ini selama 24 jam yaitu di kota Madrid luasan area ini juga bervariasi ada yang melakukan pembatasan hampir pada seluruh kota seperti yang terjadi pada kota London dengan luasan 1.500 km 2 namun beberapa kota hanya melakukan pembatasan ini pada area CBD (Central Business District) atau area – area dengan kepadatan dan volume lalu lintas tinggi seperti pada kota Singapura, London dan Madrid. Melihat dampak pepemberlakuan kebijakan LEZ di berbagai dunia dari sisi penurunan penggunaan kendaraan pribadi dan peningkatan kualitas udara maka pemerintah Indonesia juga mulai melakukan kebijakan pembatasan dengan melakukan penerapan kebijakan LEZ di kawasan Kotatua Jakarta II.2.1 Kebijakan LEZ di Indonesia Kawasan wisata Kotatua di Jakarta yang menjadi kawasan wisata andalan bagi masyarakat Indonesia, kawasan tersebut kini mulai menerapkan kebijakan Zona Rendah Emisi atau Low Emission Zone implemantasi kebijakannya adalah dengan melakukan pembatasan akses bagi beberapa jenis kendaraan yang berpolusi tinggi kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas udara di area tersebut. Jakarta mulai mengikuti kebijakan beberapa kota besar di dunia yang sebelumnya telah menerapkan LEZ dengan harapan dapat mengurangi penggunaan kendaraan pribadi sekaligus penggurangan emisi dan polusi udara, pada 8 Februari 2021 kebijakan LEZ pertama kali diimplementasikan di Kotatua dengan sistem buka tutup, namun mulai tahun 2022 penerapan kebijakan LEZ berlaku selama 24 jam dan hanya khusus untuk pejalan kaki, pesepeda, pengguna transportasi umum serta kendaraan berstiker khusus yang diperbolehkan melintasi kawasan LEZ. Area penerapan LEZ Kotatua meliputi Jl Pintu Besar Utara – Jl Kali besar Barat sisi Selatan - Kunir sisi Selatan - Kemukus - Ketumbar - Jalan Lada seperti yang terlihat pada gambar 2.1, cakupan area LEZ di Kotatua ini relatif kecil apabila dibandingkan 19 dengan penerapan di negara – negara lain seperti contohnya di London cakupan area lebih dari 1500 km 2 , Madrid cakupan areanya 5 km 2 sedangkan Jakarta cakupan areanya hanya sekitar 0,12 km 2 . Sumber.: Dinas Perhubungan DKI Jakarta, 2022 Gambar 2. 1 Penetapan Kawasan LEZ di Kawasan Kotatua Jakarta Pengecualian kendaraan yang dapat masuk di kawasan LEZ kotatua cukup berbeda dengan penerapan di negara lain apabila di negara pengecualian mayoritas hanya untuk kendaraan darurat seperti ambulans dan pemadam kebakaran namun di Kotatua pengecualian juga berlaku untuk kendaraan yang berstiker khusus seperti tenant yang berada didalam kawasan Kotatua. Dengan adanya kebijakan pembatasan pemakaian kendaraan Perilaku perjalanan merupakan hal yang bergantung pada kebiasaan atau rutinitas ada penelitian yang menunjukkan bahwa terdapat peristiwa tertentu dalam perjalanan hidup orang yang dapat memicu perubahan perilaku salah satunya penerapan kebijakan pembatasan (Schafer et al ,2012) 20 II.4 Perilaku Perjalanan (Travel Behavior) Perjalanan atau pergerakan terjadi disebabkan oleh adanya aktivitas yang dilakukan di luar tempat tinggalnya, dapat diartikan bahwa keterkaitan antar ruang sangat memainkan peran yang penting dalam pelaksanaan pergerakan dan pola distribusi tata guna lahan berpengaruh terhadap pola pergerakan (Tamim, 1997) sedangkan menurut KBBI perilaku adalah tanggapan atau suatu reaksi seseorang yang dinyatakan dalam gerakan atau tindakan sehingga dapat diartikan perilaku perjalanan adalah kebiasaan tingkah laku seseorang dalam melakukan pergerakan ke tempat tujuan. Perkembangan penelitian terkait perilaku perjalanan (travel behavior) menunjukkan bahwa perilaku perjalanan seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor yang menggambarkan karakteristik individu maupun lingkungan. Kondisi individu sebagai bentuk kebiasaan juga dapat memengaruhi perilaku perjalanan seseorang dapat melakukan kebiasaan yang berbeda dalam jangka waktu yang berbeda, misalnya orang yang bekerja biasanya pulang pergi setiap hari pada hari kerja, orang mungkin juga pergi berbelanja terutama di akhir pekan, banyak orang juga melakukan perjalanan rekreasi pada akhir pekan, orang di pusat kota akan menghabiskan waktu akhir pekan ke daerah terpencil, orang di pinggiran akan menghabiskan waktu akhir pekan di pusat perbelanjaan, orang berwisata dapat mengulangi perjalanan ke luar negeri setiap tahun dan lain sebagainya (Zhang & Acker, 2017). Perilaku perjalanan dapat didefinisikan sebagai perjalanan fisik dimana seseorang mempunyai tujuan perjalanan, menggunakan mode perjalanan serta memilih rute perjalanan untuk mencapai tujuan. Ada enam karakteristik perilaku perjalanan yaitu (Meyer and Miller, 2001) 1. Tujuan Perjalanan Pergerakan individu dapat diklasifikasikan berdasarkan asal dan tujuan perjalanan dari pelaku perjalanan.