77 Bab V Analisis dan Pembahasan Bagian bab ini menjelaskan hasil temuan-temuan selama penelitian. Data yang disajikan didapat oleh peneliti dari proses observasi lapangan selama bulan April hingga awal Juni 2023 yang juga dilengkapi wawancara langsung dengan berbagai pihak, baik yang terikat dengan institusi pemerintahan hingga unsur masyarakat yang ada di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Data-data tersebut kemudian dianalisis sehingga dapat menggambarkan bagaimana proses collaborative governance dalam penanggulangan Stunting di Kabupaten Sumedang. Pada bab ini juga akan dijelaskan mengenai pemetaan peran serta hubungan antar aktor dalam penanggulangan Stunting di Kabupaten Sumedang. V.1 Proses Collaborative Governance dalam Penanggulangan Stunting di Kabupaten Sumedang Peneliti memilih teori proses kolaborasi dari Anshell and Gash (2008), karena melihat komponen yang komprehensif dan tepat digunakan dalam menjawab permasalahan. Teori collaborative governance menjelaskan secara rinci bagaimana proses kolaborasi dari kondisi awal dilajutkan dengan proses yang dinamis dan bersiklus, dengan menghasilkan tindakan-tindakan dan dampak sementara, sebelum mengarah pada dampak utama. Adapaun model dan proses collaborative governance sebagai berikut. V.1.1 Kondisi Awal Kondisi awal menjadi salah satu faktor penentu jalannya proses kolaborasi, dimana situasi tersebut dapat menjadi faktor pendorong atau faktor penghambat kolaborasi. Pada awal kolaborasi terdapat dua titik awal yang sangat berbeda. Pertama, para pemangku kepentingan memiliki sejarah perpecahan dan konflik bahkan menganggap musuh satu sama lain. Di pihak lain, para pemangku kepentingan memiliki visi bersama tentang apa yang ingin mereka capai melalui kolaborasi dan 78 sejarah kerja sama di masa lalu dan saling menghormati. Dalam kedua kasus tersebut, kolaborasi mungkin sulit, tetapi kasus pertama harus mengatasi masalah ketidakpercayaan dan ketidakharmonisan. Pada kondisi awal dapat disederhanakan menjadi tiga variabel yaitu (1) ketidakseimbangan antara sumber daya atau kekuatan pemangku kepentingan yang berbeda; (2) insentif yang dimiliki pemangku kepentingan untuk berkolaborasi, dan (3) sejarah konflik atau kerja sama di masa lalu di antara pemangku kepentingan. (Anshell dan Gash, 2008) 1. Ketidakseimbangan Antara Sumber Daya Atau Kekuatan Pemangku Kepentingan Yang Berbeda Ketidakseimbangan kekuatan antara pemangku kepentingan adalah masalah yang sering dicatat dalam tata kelola kolaboratif (Gray, dkk dalam Anshell dan Gash, 2008). Jika beberapa pemangku kepentingan tidak memiliki kapasitas, organisasi, status, atau sumber daya untuk berpartisipasi, atau untuk berpartisipasi secara setara dengan pemangku kepentingan lainnya, proses tata kelola kolaboratif akan rentan dimanipulasi oleh aktor yang lebih kuat. Proses awal kolaborasi yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Sumedang dalam menangani stunting tidak memandang perbedaan kekuatan para aktor sebagai hambatan dan masalah tetapi menjadi sumber kekuatan bersama dan saling melengkapi. Sumber daya para aktor yang berbeda memang diseuaikan dengan tugas pokok dan fungsi lembaga itu sendiri. Penanggulangan stunting khususnya terkait kekurangan gizi, sudah menjadi tugas pokok dan fungsi di Dinas Kesehatan namun faktor penyebab dan penyelesaian permasalahan stunting bukan hanya menjadi tupoksi Dinas Kesehatan saja. Apabila melihat faktor penyebab stunting selain dari asupan gizi, faktor – faktor diluar kesehatan seperti sanitasi, ekonomi dan pola asuh harus ditangani secara lintas sektor yang artinya harus ada dinas – dinas lain yang turut serta mendukung 79 penanganan stunting tersebut, bahkan perlu ada keterlibatan pihak – pihak diluar pemerintahan. “…sebelum adanya TPPS (Tim Percepatan Penanggulangan Stunting), Dinas Kesehatan memang sudah menangani stunting, namun yang kami tangani hanya sebatas intervensi spesifik saja atau hanya dari segi kesehatannya saja dan maksimal intervensi spesifik hanya 30%...” (drg. Hana, Dinas Kesehatan Kabupaten Sumedang) Sumber daya yang berbeda diperlukan untuk saling melengkapi keterbatasan dan kewenangan antar aktor di dalam sebuah tim. Seperti halnya penanggulangan stunting tidak bisa ditangani sendiri oleh Dinas Kesehatan tetapi dilakukan oleh berbagai aktor baik di dalam pemerintahan yang diwakili oleh perangkat daerah dan aktor – aktor lain diluar pemerintahan seperti pihak swasta, akademisi, LSM dan masyarakat itu sendiri. Ketidakseimbangan sumber daya dari para pemangku kepentingan bukan menjadi faktor penghambat tetapi menjadi pelengkap dari sebuah kolaborasi. Bupati Sumedang beserta jajaran di Pemerintah Daerah Kabupaten Sumedang menyusun orkestrasi penanggulangan stunting sehingga masing – masing aktor tetap bisa berupaya berkontribusi sesuai dengan tugas pokok dan fungsi serta sesuai kapasitas yang dimiliki. 2. Insentif yang Dimiliki Pemangku Kepentingan untuk Berkolaborasi Sifat partisipasi dalam kolaborasi yang sebagian besar bersifat sukarela, penting untuk memahami insentif yang dimiliki pemangku kepentingan untuk terlibat dalam tata kelola kolaboratif dan faktor-faktor yang membentuk insentif tersebut (Andranovich dkk dalam Anshell and Gash. 2014). Ini termasuk analisis insentif bagi lembaga publik untuk mensponsori tata kelola kolaboratif. 80 Insentif untuk berpartisipasi sebagian tergantung pada harapan pemangku kepentingan tentang apakah proses kolaboratif akan menghasilkan hasil yang berarti, terutama terhadap keseimbangan waktu dan energi yang dibutuhkan kolaborasi (Bradford 1998; Geoghegan dan Renard 2002; Rogers et al. 1993; Schneider et al. 2003; Warner 2006). Kolaborasi dalam penanggulangan stunting di Kabupaten Sumedang tidak lepas dari insentif yang diberikan oleh Pemerintah, diantaranya honorarium yang diberikan kepada petugas lapangan yaitu kader posyandu dari dana desa, Kader Pembangunan Manusia (KPM) dari Kemedes PDTT dan Tim Pendamping Keluarga (TPK) dari BKKBN. Kolaborasi dapat berjalan dengan baik merupakan kontribusi dan peran serta dari petugas lapangan tersebut. Keterlibatan pihak swasta dalam hal ini Telkomsel dengan memberikan ponsel dan kartu perdana kepada kader posyandu sehingga untuk penggunaannya diharuskan membeli pulsa dan kuota yang merupakan sarana promosi dan penjualan. Telkomsel dalam juga merupakan sponsor utama yang menciptakan aplikasi SIMPATI sehingga secara langsung dan tidak langsung program ini sangat membantu perusahaan dalam hal branding dan positioning. Keberhasilan penanggulangan stunting di Kabupaten Sumedang tentu sangat berpengaruh terhadap popularitas perusahaan Telkomsel yang memang merupakan anak perusahaan BUMN PT Telkom Indonesia, semakin menguatkan Telkomsel adalah perusahaan yang bergerak di bidang IT dan komunikasi yang mendukung program – program pemerintah. Telkomsel pun saat ini banyak mendapatkan penawaran dari sejumlah pemerintah daerah untuk bekerja sama dalam peningkatan digitalisasi pelayanan masyarakat. Dari kasus ini keberhasilan dari sebuah kolaborasi tidak bisa lepas dari insentif yang diberikan dan adanya saling menguntungkan dari kedua belah pihak dan tentunya manfaat kolaborasi dapat dirasakan oleh seluruh aktor yang terlibat. 81 “…secara materi telkomsel mendapatkan insentif karena kader posyandu diberikan hape dan kartu, jadi harus langganan beli kuota dan pulsa, kalo yang lainnya ga ada. Kalua non finansial Brand bisnisnya mereka juga terangkat dan lebih dikenal jadi mereka banyak diajak Kerjasama oleh pemda pemda lain…” (Deni, Bappppeda Kabupaten Sumedang) 3. Sejarah Konflik atau Kerja Sama di Masa Lalu diantara Pemangku Kepentingan Ansell dan Gash (2008) menyatakan bahwa ketika para pemangku kepentingan (stakeholder) saling tergantung satu sama lain, tingkat konflik yang tinggi dapat menciptakan insentif yang kuat untuk adanya kerja sama dalam tata kelola bersama (collaborative governance). Konflik sering kali muncul karena adanya perbedaan mendasar antara karakter dan kepentingan dari setiap stakeholder. Namun, kesadaran bahwa mereka saling membutuhkan dapat menciptakan interaksi yang dapat mengurangi atau mengatasi konflik yang terjadi. Dalam konteks kolaborasi, latar belakang konflik yang ada memiliki pengaruh yang signifikan dalam menjalankan proses kolaboratif. Sejarah kolaborasi dalam penanggulangan stunting di Kabupaten Sumedang diawali oleh kebijakan Bupati Sumedang yang ingin memperbaiki nilai SPBE (Sistem Pemerintah Berbasis Elektronik) yang mana pada tahun 2018 hanya 2,6 atau dengan kategori cukup. Kabupaten Sumedang meluncurkan program Sumedang Happy Digital Region yang mana semua bisnis proses pemerintahan dan pelayanan publik berbasis digital. Pemerintah Kabupaten Sumedang meluncurkan slogan “Sumedang Kabupaten Digital” Pemerintah memiliki komitmen yang kuat untuk merencanakan masa depan bahwa tata kelola pemerintahan sudah tidak dapat lagi menggunakan tata kelola yang bersifat konvensional namun menggunakan tata kelola yang lebih berwawasan kedepan yaitu digitalisasi. 82 Untuk mengembangkan Sumedang menjadi kabupaten digital atau kawasan literasi digital, Pemerintah Daerah Kabupaten Sumeadang melakukan kerja sama dengan penyedia jaringan internet agar lebih menjangkau khususnya di desa-desa yang jauh dari pusat kota. Hal tersebut dilakukan agar seluruh wilayah di Kabupaten Sumedang menjadi terhubung (Sumedang Connected).