1 Bab I Pendahuluan Pada bab ini akan dibahas berbagai aspek yang berkaitan dengan topik penelitian secara umum. Ini termasuk latar belakang penelitian, rumusan masalah dan pertanyaan penelitian, tujuan dan sasaran penelitian, signifikansi penelitian, ruang lingkup penelitian, kerangka konseptual, dan sistematika penulisan penelitian. I.1 Latar Belakang Indonesia saat ini memiliki penduduk sebanyak 270 juta jiwa, dengan penduduk usia produktif mencapai 70,72 persen. Menghadapi bonus demografi ini, Indonesia harus mampu mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan berdaya saing dalam mengusung visi Indonesia Emas 2045. (Kemenkominfo, 2021) Dalam upaya mewujudkan hal tersebut, Indonesia harus mampu menjamin Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitas yang nantinya akan mewujudkan Indonesia Emas, hal ini akan tercapai apabila anak-anak Indonesia terjaga kualitasnya sejak tahap awal kehidupannya. Salah satu upaya pembangunan yang perlu direncanakan untuk mempersiapkan generasi yang kuat di masa depan adalah pembangunan Kesehatan yang terintegrasi, menyeluruh dan berkelanjutan. Pembangunan kesehatan di Indonesia tidak terlepas dari berbagai masalah. Permasalahan kesehatan yang dapat mengganggu perkembangan generasi yang akan datang salah satunya adalah adalah Stunting atau kekurangan gizi kronis. Stunting merupakan kondisi perkembangan anak balita yang gagal disebabkan terutama oleh kekurangan gizi kronis pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (1.000 HPK). Kasus Stunting ini sering terjadi pada negara berkembang termasuk Indonesia. Stunting memiliki konsekuensi di masa mendatang pada anak yaitu kemampuan kognisi dan perkembangan fisik yang rendah sehingga berdampak pada kapasitas dan produktivitas anak saat dewasa nanti. Anak yang Stunting rentan terhadap 2 berbagai penyakit degeneratif. Hasil penelitian memprediksi dampak terjadinya Stunting pada anak yaitu kerugian psikososial dan kesehatan mental pada anak-anak akan berakibat hilangnya PDB sampai 300 triliun rupiah setiap tahunnya. (Bappenas, 2018) Penyebab Stunting disebabkan oleh penyebab langsung dan penyebab tidak langsung. Penyebab langsung dipicu oleh berbagai faktor diantaranya yaitu: 1) Faktor rumah tangga dan keluarga; 2) Pemberian makanan pendamping yang tidak mencukupi; 3) Pemberian asi; 4) Infeksi; 5) Faktor kontekstual: komunitas dan sosial. (Stefanus Mendes Kiik, 2020). Selain itu, disebabkan oleh faktor kesehatan lingkungan yang meliputi tersedianya sarana air bersih dan sanitasi (lingkungan) juga mempengaruhi asupan gizi dan status kesehatan ibu dan anak. Selain penyebab langsung, ada juga penyebab tidak langsung dari stunting antara lain ketimpangan pendapatan dan ekonomi, perdagangan, urbanisasi, globalisasi, sistem pangan, jaminan sosial, sistem kesehatan, pembangunan pertanian, dan pemberdayaan perempuan. Untuk mengatasi penyebab stunting diperlukan prasyarat pendukung yang meliputi: a) Komitmen politik dan implementasi kebijakan; b) Keterlibatan pemerintah dan lintas sektor; dan c) Kapasitas kelembagaan untuk implementasi. Berdasarkan hasil SSGI tahun 2022 angka Stunting secara nasional sebesar 21.6% mengalami penurunan sebesar 2,8 persen dari 24.4% di 2021. Penurunan stunting pula diikuti oleh 27 provinsi di Indonesia yang menunjukkan penurunan dibandingkan tahun 2021, namun masih ada 7 provinsi yang menunjukkan kenaikan. Sedangkan angka prevalensi Stunting di Jawa Barat pada Tahun 2022 sebesar 20,2 menurun dari tahun sebelumnya sebesar 24,5% pada Tahun 2021. Hal tersebut menunjukkan bahwa implementasi dari kebijakan pemerintah mendorong percepatan penurunan Stunting di Indonesia telah memberi hasil yang cukup baik. (Kemenkes, 2022). Namun pencapaian ini masih harus ditingkatkan apabila merujuk pada target 14% pada Tahin 2024. Disamping itu, apabila merujuk standar 3 WHO, masalah kesehatan masyarakat dianggap kronis apabila prevalensi Stunting lebih dari 20%. Penanggulangan Stunting di Indonesia terintegrasi dilakukan dengan beberapa tahapan, tahap pertama di 2018, pemerintah fokus pada penyelenggaraan intervensi di 100 kabupaten/kota. Tahap kedua di 2019, penyelenggaraan intervensi diperluas menjadi 160 kabupaten/kota. Tahap ketiga (2020-2023), kegiatan akan diperluas ke seluruh kabupaten/kota secara bertahap. Salah satu daerah di Jawa Barat yang menjadi prioritas penanggulangan Stunting adalah Kabupaten Sumedang. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Jawa Barat tahun 2018, Stunting di Kabupaten Sumedang tergolong kedalam daerah yang memiliki prevalensi Stunting yang tinggi yaitu sebesar 32,20%. Kondisi tersebut membuat Kabupaten Sumedang melakukan berbagai langkah intervensi dan memberikan hasil positif dalam penurunan Stunting. Merujuk pada data hasil Bulan Penimbangan Balita (BPB), prevalensi Stunting di Kabupaten Sumedang menunjukkan adanya penurunan dalam 3 tahun terakhir yaitu 12,05% (2020), 10,99% (2021), dan 8,27% (2022). Sedangkan berdasarkan data hasil SSGI Tahun 2022 data Stunting Kabupaten Sumedang menunjukkan penurunan dari tahun 2020 ke tahun 2021 yaitu 24,40 % (2020) menjadi 22,00% (2021). Namun sangat disayangkan terjadi peningkatan pada tahun 2022 menjadi 27,6%. Meskipun berdasarkan SSGI 2022 angka prevalensi Stunting di Kabupaten Sumedang mengalami kenaikan, namun apabila kita lihat dalam 5 tahun terakhir sebelumnya berhasil menurunkan angka Stunting dari 32,27 persen pada tahun 2018 hingga menjadi menjadi 27,6 persen di tahun 2022. Keberhasilan penurunan Stunting secara signifikan tersebut terjadi karena dukungan seluruh stakeholders pembangunan baik dari pemerintah maupun di luar pemerintah dengan konsep collaborative governance. Collaborative governance muncul di era paradigma governance, dimana masyarakat semakin berkembang sehingga pemerintah menghadapi masalah yang 4 lebih kompleks sedangkan pemerintah memiliki keterbatasan sumber daya untuk mengatasi masalah tersebut sehingga membutuhkan kolaborasi dengan aktor eksternal. Collaborative governance adalah proses dan struktur pengambilan keputusan dan pengelolaan kebijakan publik yang melibatkan orang-orang secara konstruktif dengan melintasi batas-batas lembaga publik, tingkat pemerintahan, dan atau masyarakat lingkungan swasta serta sipil dalam rangka untuk melaksanakan kepentingan umum yang sebelumnya tidak bisa dicapai. (Emerson, 2015) Pembangunan tidak dapat berjalan optimal apabila dilakukan oleh hanya pemerintah, tentunya adanya keterlibatan kolektif dari berbagai stakeholder yang dilibatkan secara sistemik dapat memaksimalkan efektifitas dan efisiensi pembangunan. Menurut Bingham, “Collaborative means to co-labor to achieve common goals working across boundaries in multisector anda multiactor relationships”. Bingham menggambarkan makna collaborative yang melibatkan beberapa aktor yang saling membantu satu sama lain untuk mencapai tujuan tertentu, aktor-aktor ini bekerja tidak hanya dalam satu sektor melainkan di beberapa sektor. Sedangkan governance merupakan suatu sistem pemerintahan. Maka dari itu, collaborative governance adalah sistem pemerintahan yang menggunakan metode kolaborasi dengan melibatkan state dan non-state yang bekerja dalam beberapa sektor untuk mencapai tujuan bersama (Blomgren Bingham, 2010). Definisi lainnya, collaborative governance menekankan enam kriteria penting yaitu: (1) forum tersebut diprakarsai oleh badan atau lembaga public; (2) peserta dalam forum termasuk aktor non-negara; (3) peserta terlibat langsung dalam pengambilan keputusan dan tidak hanya sekedar “berkonsultasi” dengan badan public; (4) forum secara formal diselenggarakan dan bertemu secara kolektif; (5) forum bertujuan untuk membuat keputusan melalui konsensus (walaupun dalam 5 praktiknya konsensus tidak tercapai), dan (6) fokus kolaborasi adalah pada kebijakan publik atau manajemen publik. (Chris Ansell, 2008) Praktek kolaborasi yang dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten Sumedang berhasil melibatkan semua unsur baik pemerintah maupun non pemerintah melalui Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan, dalam hal ini Telkomsel sebagai penyedia layanan telekomunikasi menyediakan dan mengembangkan aplikasi Sistem Informasi Penanggulangan Stunting Terintegrasi (SIMPATI). Penggunaan aplikasi tersebut juga menguatkan pelaksanaan Sistem Pemerintah Berbasis Elektronik (SPBE). Penyelenggaraan SPBE bukan hanya urusan teknologi semata tapi berkaitan dengan e-governance, berkaitan dengan people, good governance dan collaborative governance-nya. Disinilah bagaimana kolaborasi dan teknologi bersatu padu dalam mengatasi permasalahan di masyarakat, dalam hal ini penanganan permasalahan Stunting. (Setkab, 2023) Aplikasi Simpati menghubungkan berbagai pemangku kepentingan, antara lain kader Posyandu pendataan berat badan dan tinggi badan anak, tokoh masyarakat, puskesmas, desa, dan dinas terkait lainnya, untuk mendapatkan laporan terkait stunting.