10 Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Ukuran Kebijakan Desentralisasi Harguindéguy dkk. (2018) mengulas 25 indeks desentralisasi dan menemukan bahwa Regional Authority Index (RAI) sebagai indeks yang paling sesuai dalam hal pendefinisian otonomi daerah, kedetailan unit analisis, cakupan negara, kelengkapan variabel desentralisasi fiskal, administratif, dan politik, skala waktu, pengumpulan data, penilaian validitas dan reliabilitas, serta transparansi proses produksi data. Berdasarkan RAI, Indonesia termasuk negara yang memiliki indeks desentralisasi tinggi, yakni sebesar 15,77 dari 30 dengan nilai self rules (15,71) yang jauh lebih dominan daripada shared rules (0,06). Nilai self rules Indonesia dinilai dari aspek (1) institutional depth: sejauh mana pemerintah daerah bersifat otonom dan bukan hanya dekonsentrasi; (2) policy autonomy: sejauh mana cakupan kebijakan yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah yang didekonsentrasikan; (3) fiscal autonomy: sejauh mana pemerintah daerah dapat memungut pajak secara mandiri dari penduduknya; (4) borrow autonomy: sejauh mana pemerintah daerah dapat meminjam; dan (5) representation: sejauh mana daerah memiliki lembaga eksekutif dan legislatif yang independen; sedangkan nilai shared rules Indonesia yang rendah dipengaruhi oleh aspek (1) lawmaking: sejauh mana perwakilan daerah ikut menentukan legislasi nasional; (2) execution control: sejauh mana pemerintah daerah ikut menentukan kebijakan nasional dalam pertemuan dengan pemerintah pusat; (3) fiscal control: sejauh mana perwakilan daerah ikut menentukan distribusi pendapatan pajak nasional; (4) borrow control: sejauh mana pemerintah daerah ikut menentukan batasan pinjaman daerah dan nasional; dan (5) constitutional: sejauh mana perwakilan daerah ikut menentukan perubahan konstitusional (Hooghe dkk., 2021). Menurut BKF (2021) dalam dokumen “Dua Dekade Desentralisasi Fiskal di Indonesia”, kebijakan desentralisasi di Indonesia sejatinya didesain dalam empat pilar utama, yakni (1) fiskal; (2) administrasi; (3) politik; dan (4) ekonomi. 11 Desentralisasi fiskal dilakukan dengan memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengelola keuangan daerahnya baik dari sisi penerimaan maupun pengeluaran. Desentralisasi administratif dilakukan dengan mengalihkan sebagian besar kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintahan daerah seluas- luasnya untuk sebagian besar pelayanan publik, kecuali urusan politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama. Desentralisasi politik dilaksanakan melalui pelimpahan kewenangan politik kepada daerah dengan penyelenggaraan pemilihan langsung kepala daerah (Pilkada) gubernur dan bupati/walikota dan pemilihan legislatif anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi dan kabupaten/kota. Sementara itu, desentralisasi ekonomi dilaksanakan melalui pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatasi permasalahan ekonomi dan mengoptimalkan potensi ekonomi daerah yang dimiliki agar berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Desentralisasi ekonomi mendorong pemerintahan daerah untuk mengembangkan ekonomi lokal; daerah-daerah dengan intervensi pemerintah daerah tinggi secara signifikan memiliki nilai investasi bisnis yang tinggi pula (Zhao dkk., 2018). II.2 Prediktor Performa Ekonomi Qian dan Roland (1998) menyebutkan asosiasi antara desentralisasi fiskal dan inflasi terhadap performa ekonomi. Adanya sentralisasi fiskal akan menyebabkan inflasi yang lebih tinggi dan pembatasan anggaran yang lebih longgar. Dengan demikian, inflasi dapat memprediksi performa ekonomi melalui desentralisasi fiskal. Desentralisasi diasosiasikan dengan tingkat inflasi yang lebih rendah. Namun demikian, performa ekonomi yang lebih tinggi ditandai oleh naiknya tingkat inflasi. Prediktor performa ekonomi lainnya, yakni populasi penduduk perkotaan. Pertumbuhan penduduk perkotaan akan meningkatkan ekspansi lahan perkotaan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di suatu negara (Mahtta dkk., 2022). Sementara itu, prediktor berdasarkan lapangan usaha andalan suatu negara juga diperlukan untuk memprediksi performa ekonomi suatu negara dibandingkan negara lain (Gharehgozli, 2017). Dalam hal ini, lapangan usaha yang menjadi andalan negara Indonesia adalah sektor primer total nilai sumber daya alam yang dihitung dari selisih antara harga unit komoditas sumber daya alam dengan harga 12 produksi serta sektor perdagangan ekspor dan impor barang dan jasa yang ditunjukkan sebagai persen dari PDB (World Bank, 2023). Selain itu, Pepinsky dan Wihardja (2011) mengukur performa ekonomi dengan PDB per kapita dalam satuan USD konstan, bahwa PDB per kapita pada masa sebelumnya dapat memprediksi pertumbuhan performa ekonomi pada masa yang akan datang. II.3 Indikator-indikator Desentralisasi berdasarkan Pilar Desentralisasi seringkali ditandai dengan indikator fiskal. Menurut Iimi (2005), desentralisasi fiskal memiliki dua sisi. Di satu sisi, pemerintah daerah bertanggung jawab atas pengeluaran untuk pelayanan publik di daerah; di sisi lain, dari sisi pendapatan, hak pemungutan pajak dan retribusi juga dapat dialihkan ke tingkat daerah. Selanjutnya, perbedaan derajat desentralisasi pengeluaran dan pendapatan fiskal tersebut dapat mengindikasikan perlunya transfer oleh pemerintah pusat. Amelia dan Ekobelawati (2018) berhasil mengukur dampak signifikan desentralisasi terhadap PDRB melalui variabel besaran transfer pusat ke daerah. Adapun Wibowo (2022) menyebutkan bahwa desentralisasi yang diukur dari indikator fiskal berupa variabel porsi PAD terhadap total pendapatan memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap PDRB. Namun, masih terdapat gap dalam literatur empiris mengenai dampak desentralisasi yang diukur dari indikator politik dan administratif terhadap capaian pembangunan (Canare, 2021). Studi Bariyah (2022) berhasil mengukur dampak indeks demokrasi pada daerah-daerah provinsi di Indonesia terhadap penurunan ketimpangan. Diketahui salah satu penyusun dari indeks demokrasi tersebut adalah variabel hak-hak politik dan kesetaraan. Sedangkan, terkait dengan administrasi, Tosun dan Yilmaz (2010) menyatakan dalam studinya bahwa variabel jumlah pemerintahan daerah kabupaten/kota per kapita memberikan dampak negatif terhadap PDRB per kapita. Kemudian, studi Zhao dkk. (2018) mengindikasikan adanya pengaruh indikator ekonomi investasi bisnis terhadap pengembangan ekonomi lokal di daerah-daerah di China. 13 II.4 Pertumbuhan Ekonomi dan Ukuran Ekonomi Pembangunan II.4.1 Pertumbuhan Ekonomi Mengukur aktivitas ekonomi di suatu negara atau wilayah dapat memberikan wawasan tentang kesejahteraan ekonomi penduduknya (Slesnick, 2020). Produk Domestik Bruto (PDB) mengacu pada total nilai bruto yang ditambahkan oleh semua produsen dalam perekonomian. Pertumbuhan ekonomi dapat diukur dari perubahan PDB pada harga konstan. Untuk memungkinkan perbandingan data sosioekonomi antar wilayah atau negara, digunakan PDB per kapita dengan menambahkan jumlah penduduk sebagai penyebut. Selain itu, indikator yang juga banyak digunakan dalam menilai kekayaan dan kapasitas suatu negara untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya adalah Produk Nasional Bruto (PNB) per kapita, yakni jumlah total nilai tambah domestik dan nilai tambah luar negeri yang dilakukan oleh penduduk di suatu negara maupun yang berada di luar negeri kemudian dibagi dengan jumlah penduduk total (Rahman & Ulubaşoğlu, 2017). Lebih lanjut, PDB atau PNB per kapita digunakan untuk mengklasifikasikan ekonomi ke dalam empat kelompok pendapatan utama, yakni negara berpendapatan rendah, pendapatan menengah ke bawah, pendapatan menengah ke atas, dan negara berpendapatan tinggi. Dalam penelitian ini, digunakan konsep PDB karena pada akhirnya penelitian ini ingin memodelkan pengaruh desentralisasi terhadap kesejahteraan masyarakat dalam lingkup suatu negara dan mengabaikan penduduk Indonesia di luar negeri. II.4.2 Tingkat Kemiskinan Garis kemiskinan nasional suatu negara merupakan ambang batas pengeluaran bagi satu orang penduduk untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya selama sebulan (BPS, 2023a). Namun, ukuran tingkat kemiskinan didefinisikan cukup bervariasi di seluruh dunia. Negara yang lebih kaya biasanya memiliki garis kemiskinan yang lebih tinggi daripada negara yang lebih miskin. Begitu pun, masing-masing wilayah di Indonesia memiliki garis kemiskinan yang berbeda. Di Indonesia, garis kemiskinan didefinisikan sebagai hasil penjumlahan antara garis kemiskinan untuk memenuhi kebutuhan dasar kalori minimum (makanan) dan kebutuhan dasar perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan (non makanan) 14 sesuai dengan data susenas BPS modul konsumsi. Pada tahun 2022, garis kemiskinan nasional Indonesia ditetapkan sebesar Rp535.547,00 per kapita per bulan yang dibagi atas 74,15 persen garis kemiskinan dan 25,85 persen garis kemiskinan non makanan (BPS, 2023b). Tingkat kemiskinan kemudian diukur dengan membandingkan jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan dengan jumlah penduduk total. II.4.3 Tingkat Ketimpangan Seperti halnya kemiskinan, ada beberapa cara untuk mengukur tingkat ketimpangan. Basisdata World Development Indicators (WDI) menyajikan berbagai macam indikator ketidaksetaraan, salah satunya indeks gini. Indeks gini sebagai ukuran ketimpangan pendapatan antara kelompok terkaya dan termiskin, lebih sensitif terhadap perubahan di bagian tengah distribusi daripada di bagian ujung ekor kelompok terkaya dan termiskin (Alvaredo, 2011). Selan itu, terdapat indikator distribusi pengeluaran atau pendapatan yang dibagi ke dalam setiap kuintil (per dua puluh persen) penduduk.