1 Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Sejak pertengahan abad ke-20, negara-negara di dunia telah mengadopsi kebijakan desentralisasi. Studi Hooghe dkk. (2010) sejak tahun 1950 di 42 negara demokrasi menunjukkan terjadinya peningkatan Regional Authoriy Index (RAI) selama lebih dari 50 tahun. Indeks otoritas regional yang meningkat tersebut merupakan pertanda era desentralisasi. Mayoritas negara di dunia mengalami regionalisasi dengan membentuk satu atau lebih level pemerintahan daerah serta menjalankan kebijakan desentralisasi dalam berbagai dimensi hingga saat ini. Bagi sebagian besar negara, desentralisasi menjadi sarana untuk meningkatkan efisiensi pelayanan publik sehingga berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi (Canavire-Bacarreza dkk., 2020). Namun, Qiao dkk. (2008) menyebutkan adanya trade off antara pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesenjangan antar wilayah dalam kebijakan desentralisasi. Begitu pun Prud’homme (1995) menyatakan bahwa desentralisasi yang murni tanpa bantuan dari pemerintah pusat dapat meningkatkan kesenjangan, membahayakan stabilitas, dan menimbulkan inefisiensi khususnya di negara berkembang. Di negara Indonesia, kemunculan kebijakan desentralisasi tidak bisa dilepaskan dari peristiwa krisis tahun 1998. Pada tahun itu, perekonomian Indonesia mengalami kontraksi disebabkan oleh krisis multidimensi (Susilo & Handoko, 2002). Meski pada periode 1994-1997 Indonesia mengalami pertumbuhan positif berturut-turut sebesar 7,54; 8,22; 7,82; dan 4,91 persen, pada tahun 1998, Indonesia mengalami defisit pertumbuhan ekonomi sebesar minus 13,68 persen (BPS, 1999). Krisis multidimensi ini merupakan antiklimaks dari kesuksesan perekonomian Indonesia selama tiga dekade era pemerintahan orde baru yang dipimpin oleh Presiden Suharto (Karmeli & Fatimah, 2008). Krisis dimensi ekonomi, sosial, dan politik yang terjadi berawal dari adanya krisis moneter. Menyusul krisis finansial Asia, nilai rupiah terus mengalami depresiasi 2 dari semula bernilai 2.600 hingga mencapai 14.900 per USD (United States Dollar) atau setara 473 persen (Harahap, 2013). Kepercayaan publik terhadap pemerintah terus melemah akibat kegagalan pemerintah dalam menangani krisis. Puncaknya, Suharto mundur dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia pasca aksi demonstrasi besar-besaran oleh kelompok mahasiswa dan masyarakat pro demokrasi (Hadiz, 1999; Aspinal, 2005 dalam Rajab, 2022). Para demonstran itu menuntut diadakannya reformasi. Salah satu dari tuntutan reformasi adalah diwujudkannya desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah (MPR RI, 2017). Gambar I.1 Aksi demonstrasi 1998 Sumber: Prasetya, 1998 Satu tahun sejak krisis, lahirlah Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. UU 22/1999 mengatur mengenai desentralisasi sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom provinsi dan kabupaten/kota untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab daerah menurut asas otonomi; dan urusan pemerintahan yang bukan tanggung jawab daerah menurut asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Kewenangan yang diberikan pusat kepada daerah antara lain pembagian sumber daya nasional sesuai potensi daerah serta perimbangan keuangan secara vertikal antara pusat dan daerah demi mencapai pemerataan kesejahteraan. Sementara itu, UU 25/1999 mengatur bahwa pelaksanaan desentralisasi dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang di antaranya berasal dari pendapatan asli daerah, 3 dana transfer dari pusat atau disebut dana perimbangan, dan pinjaman daerah. Kedua UU tersebut merupakan cikal bakal kebijakan “big bang” desentralisasi di Indonesia. Hingga kini, dua dekade sejak pertama kali diterapkannya kebijakan desentralisasi, Indonesia telah merasakan beberapa dampak desentralisasi di bidang ekonomi dan kesejahteraan. Adanya kebijakan desentralisasi meningkatkan rasio pengeluaran daerah terhadap pemerintah pusat yang memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi (Sasana, 2015; Nurhemi & Suryani, 2015). Begitu pun desentralisasi secara empiris berdampak positif terhadap pendidikan dan kesehatan di daerah (Wihastuti, 2016). Selain itu, desentralisasi juga berkontribusi secara signifikan terhadap penurunan tingkat kemiskinan dan kesenjangan kabupaten/kota dan provinsi di Indonesia (Wibowo & Oktivalerina, 2022; Sidig, 2018). Akan tetapi, UU Desentralisasi yang berlaku saat ini, yakni Undang-Undang No. 23 Tahun 2014, pada beberapa ketentuan pasalnya kemudian diubah secara omnibus law dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Pengubahan pasal ini cenderung mendukung sentralisasi, daripada memperkuat kebijakan desentralisasi. Dalam konteks perizinan usaha, UU Cipta Kerja mengubah Pasal 350 UU Pemerintahan Daerah sedemikian sehingga daerah wajib mengikuti norma, standar, prosedur, dan kriteria perizinan berusaha yang ditetapkan pemerintah pusat, serta wajib menggunakan sistem perizinan berusaha elektronik yang dikelola oleh pemerintah pusat demi memberikan kemudahan berusaha dan investasi. Tidak hanya itu, UU CK juga menghapus beberapa kewenangan pemerintah daerah Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota lainnya, seperti dihapusnya kewenangan pemrosesan dan penerbitan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dan izin lingkungan; dihapusnya persetujuan daerah untuk kawasan ekonomi khusus; serta pengambilalihan kewenangan ketenagalistrikan (Fauzani, 2020; Nalle, 2020). Terbaru, kebijakan desentralisasi di Indonesia kembali diperkuat dengan hadirnya Undang-Undang No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah 4 Pusat dan Pemerintahan Daerah. UU ini memberikan kewenangan pembiayaan utang daerah dengan pembaruan skema berupa pinjaman, obligasi, maupun sukuk daerah. Lebih detail, UU HKPD mengatur pembaruan sistem pajak dan retribusi, mekanisme transfer ke daerah dan insentif fiskal kepada daerah, pembiayaan utang daerah, pengelolaan belanja daerah, dan sinergi kebijakan fiskal antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah. Dengan demikian, kebijakan desentralisasi diharapkan dapat mendorong terwujudnya pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang merata pada seluruh daerah di Indonesia. I.2 Masalah Penelitian Wallis dan Oates (1988) mengungkapan salah satu hipotesisnya mengenai rasionalitas ekonomi dari desentralisasi sektor publik bahwa semakin tinggi pendapatan per kapita pada suatu negara, maka akan semakin tersentralisasi. Pernyataan tersebut memiliki makna yang setara bahwa semakin tidak tersentralisasi suatu negara, maka pendapatan per kapitanya tidak akan semakin tinggi. Namun, kondisi negara Indonesia yang semakin tidak tersentralisasi, tetapi pendapatan per kapitanya justru semakin tinggi menunjukkan hal yang berbeda dari hipotesis tersebut. Temuan Iimi (2005) dan Gong dkk.