1 Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Kegagalan atau keberhasilan suatu mekanisme ekonomi saat ini sering dikaitkan dengan kemampuan individu maupun kelompok usaha dalam mengelola rantai pasok mereka. Dengan memperhatikan bahwa lingkungan bisnis terus berkembang, individu maupun kelompok usaha akan diharapkan untuk terus mengevaluasi kinerja rantai pasok mereka dalam memenuhi permintaan konsumen. Evaluasi ini mencakup penetapan standar untuk memenuhi permintaan pasar dengan menyediakan pelayanan yang baik dan produk berkualitas tinggi, tetapi tetap dengan biaya yang terjangkau (Zhang, 2011). Salah satu faktor kunci keberhasilan rantai pasok adalah jumlah dan lokasi fasilitas yang dimiliki atau dapat diakses (Puga dan Tancrez, 2017). Bahkan, lebih dari 75% dari biaya rantai pasok terkait dengan penentuan lokasi fasilitas dan optimalisasi aliran produk antara fasilitas tersebut (Watson dkk, 2013). Mengambil keputusan terkait penerapan mekanisme jaringan rantai pasok adalah hal yang krusial karena melibatkan perencanaan jangka panjang dan investasi yang besar. Adanya perubahan yang memerlukan penyesuaian dan perbaikan juga dapat menimbulkan tekanan tambahan terhadap pengeluaran. Menurut Pujawan & Mahendrawati (2010), perancangan mekanisme pelaksanaan jaringan rantai pasok merupakan kegiatan strategis yang penting dalam pengelolaan rantai pasok. Ini melibatkan pengambilan keputusan tentang kapasitas fasilitas produksi, lokasi, jumlah, dan distribusi yang akan digunakan dalam rantai pasok, baik oleh satu unit usaha maupun beberapa unit usaha yang berkolaborasi. Keputusan tentang susunan atau urutan dalam rantai pasok termasuk dalam kriteria pengambilan keputusan strategis, karena akan berdampak jangka panjang pada seluruh komponen manajemen rantai pasok. Oleh karena itu, penting untuk mengatur mekanisme dan susunan rantai pasok dengan cermat, agar kombinasi yang ditetapkan dapat berfungsi dengan baik, terlepas dari kompleksitas dan cakupan lingkungan bisnis yang semakin meningkat (Govindan dkk, 2017). 2 Untuk mencari formula terbaik dalam rantai pasok sesuai dengan strategi kompetitif, diperlukan sebuah skema jaringan rantai pasok yang efektif dan efisien (Varsei dan Polyakovskiy, 2017). Perusahaan atau lembaga yang melakukan peninjauan ulang dalam pembentukan jaringan rantai pasok mereka ternyata dapat menghemat biaya dan meningkatkan profit secara signifikan. Kinerja rantai pasok ini dipengaruhi oleh stabilitas pilihan rantai pasokannya. Gangguan dalam rantai pasok merupakan peristiwa yang tidak terencana dan tidak terduga yang dapat menyebabkan ketidakstabilan. Gangguan tersebut menghambat aliran normal barang dan informasi dalam rantai pasok (Craighead dkk, 2007). Potensi gangguan yang mungkin terjadi dalam rantai pasok dapat disebabkan oleh faktor alam seperti angin puting beliung, gempa bumi, dan banjir; serta faktor manusia seperti stabilitas politik, konflik, dan perbedaan sudut pandang (Vakharia dan Yenipazarli, 2009). Potensi gangguan yang telah dijelaskan di atas pastinya akan berdampak pada rantai pasok, yang pada gilirannya akan mempengaruhi aspek keuangan dan pelayanan bagi perusahaan terkait. Dampak keuangan terkait dengan munculnya biaya tambahan yang tidak terduga atau di luar perkiraan sebagai akibat dari gangguan yang mempengaruhi aliran dalam rantai pasok (Macdonald dan Corsi, 2013). Kegagalan layanan yang disebutkan sebelumnya merupakan hasil samping dari gangguan, di mana perusahaan tidak dapat memenuhi permintaan pasar dengan baik seperti yang seharusnya (Melnyk dkk, dalam Macdonald dan Corsi, 2013). Ketidakstabilan sebenarnya dapat diartikan dalam berbagai makna dan perspektif yang kompleks, terutama dalam dinamika jaringan rantai pasok. Dengan mempertimbangkan adanya potensi ketidakstabilan yang bisa terjadi pada rantai pasok, kemudian muncul suatu konsep mengenai ketahanan atau resiliensi rantai pasok. Dalam konteks ini, resiliensi rantai pasok merujuk pada kemampuan adaptif suatu mekanisme rantai pasok untuk menjawab tantangan yang tidak terduga, merespons gangguan, dan melakukan pemulihan sambil tetap menjaga kelangsungan operasi jaringan dan kendali terhadap struktur dan fungsi rantai pasok (Ponomarov dan Holcomb, 2009). Gangguan potensial dalam rantai pasok dapat terjadi dalam jangka pendek (short term) ataupun jangka panjang (long term) (Lucker dan Seifert, 2017). Variasi ini tergantung pada jenis gangguan yang terjadi. Oleh karena itu, jaringan rantai pasok harus dirancang sedemikian rupa sehingga 3 memiliki tingkat ketahanan yang baik terhadap situasi yang merugikan yang mungkin terjadi. Beberapa penelitian sebelumnya telah dilakukan untuk mengeksplorasi upaya meningkatkan ketahanan rantai pasok dengan mempertimbangkan kegesitan (agility), fleksibilitas, kekokohan (robustness), redundansi, dan faktor-faktor lainnya (Singh dkk, 2019). Untuk mencapai kondisi yang kembali normal atau lebih menguntungkan, penting untuk menerapkan indikator keberdayaan (resilience) sebagai strategi keberdayaan jaringan rantai pasok dalam menghadapi gangguan. Beberapa indikator telah digunakan untuk mengidentifikasi dan mengukur keberdayaan suatu jaringan rantai pasok guna merumuskan formulasi yang tepat. Setidaknya teridentifikasi bahwa terdapat tiga fase dalam perencanaan strategi peningkatan keberdayaan rantai pasok, yaitu Antisipasi, Resistensi, dan Pemulihan dan Tanggapan (Kamalahmadi dan Parast, 2017). Kabupaten Natuna merupakan bagian dari Provinsi Kepulauan Riau dan memiliki luas wilayah sekitar 1.978,29 kilometer persegi, atau sekitar 24,50% dari total luas provinsi tersebut. Ibukota Kabupaten Natuna terletak di Ranai. Wilayah ini terdiri dari sekitar 15 kecamatan, 70 desa, dan 7 kelurahan. Secara topografi, Kabupaten Natuna sebagian besar terdiri dari tanah berbukit dan pegunungan batu, namun juga mencakup daerah dataran rendah dan landai yang membentang sepanjang pantai. Hal ini wajar terjadi karena wilayah ini merupakan wilayah kepulauan yang dikelilingi oleh lautan. Oleh karena itu, ketinggian wilayah kecamatan di atas permukaan laut (DPL) berada pada rentang antara 58 sampai dengan 980 meter (BPS, 2022). Pemanfaatan hasil laut di sekitar Perairan Laut Natuna Utara, yang termasuk dalam WPP-RI 711, telah mencapai tingkat pemanfaatan penuh berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 47/KEPMEN-KP/2016. Pengawasan yang ketat diperlukan dalam pengelolaan sumber daya laut di wilayah Natuna, terutama untuk spesies udang paneid, cumi-cumi, lobster, kepiting, dan ikan pelagis kecil yang telah mencapai tingkat pemanfaatan maksimum. Namun, pemanfaatan kelompok ikan pelagis besar masih berada pada tingkat moderat. 4 Dalam hal permintaan, pasar lokal di wilayah Natuna saat ini memiliki daya serap yang sangat terbatas terhadap hasil tangkapan nelayan. Data menunjukkan bahwa permintaan pasar lokal hanya berasal dari sekitar 74.520 jiwa (19.296 KK) yang tinggal di Kabupaten Natuna. Penduduk tersebut tersebar di 12 kecamatan, dengan rata-rata 4 orang dalam setiap rumah tangga. Diasumsikan setiap orang dalam rumah tangga tersebut mengkonsumsi sekitar 4 kg ikan per bulan. Selain itu, proses pengolahan ikan segar menjadi produk olahan dalam skala rumah tangga seperti ikan asap dan amplang juga terbatas dalam wilayah Natuna. Permintaan untuk produk olahan tersebut, seperti kerupuk atom, hanya sekitar 1 ton per bulan secara keseluruhan. Namun, permintaan sejumlah tersebut tidak semuanya berasal dari konsumen lokal Natuna, melainkan dari pengunjung sementara yang datang ke Natuna. Nelayan dan pengusaha perikanan di Natuna memiliki fokus utama pada ekspor, terutama untuk ikan karang. Di sisi lain, pasar domestik utama untuk ikan tongkol, cakalang, dan ikan pelagis kecil adalah konsumen di Kalimantan Barat dan sekitarnya. Namun, daerah ini sering mengalami fluktuasi harga karena mendapatkan pasokan ikan serupa dari daerah lain.