163 VII. Pengaruh Habitus Pengambilan Keputusan Dalam Zonasi di Taman Nasional Karimunjawa Terhadap Tujuan Penggunaan Dimensi Manusia Keputusan perencanaan yang terikat dengan dilema, modal dan habitus institusi menimbulkan pertanyaan tentang pencapaian keberlanjutan sosial yang menjadi tujuan penggunaan dimensi manusia dalam PRL. Bab ini akan mengulas hal tersebut dengan meminjam tiga komponen keberlanjutan sosial yang dipromosikan oleh (Saunders dkk., 2020) yaitu kedalaman demokrasi, eksistensi nilai sosial dan budaya dan keadilan distribusi manfaat. Proposisi awal adalah adanya ancaman terhadap keberlanjutan sosial sebagai implikasi dari terbatasnya implementasi nilai dimensi manusia dalam PRL. VII.1 Kedalaman Demokrasi dalam PRL di Taman Nasional Karimunjawa Sebagai suatu proses perencanaan, PRL memiliki siklus berputar di mana setiap siklus secara sederhana terdiri dari tahap persiapan, perencanaan, implementasi, dan evaluasi. Oleh karena itu kedalaman demokrasi yang melihat sebagaimana masyarakat terlibat dalam pengambilan keputusan juga harus tercermin dalam tiap tahapan (lihat gambar VII.1). Pada praktik perencanaan di taman nasional Karimunjawa, partisipasi masyarakat pada tahap pra perencanaan dan evaluasi sangat minimal di mana hanya sebagai pihak yang mendapatkan informasi. Tidak ada input yang diberikan oleh masyarakat berkaitan dengan perumusan tujuan, sasaran, waktu target waktu sampai dengan evaluasi yang menentukan apakah rezonasi kawasan perlu dilakukan atau tidak. Sementara partisipasi masyarakat dalam tahap perencanaan dan implementasi adalah sebagaina dalam penjabaran sub poin a dan b berikut. 164 Gambar VII.1 Fase-fase Keterlibatan Masyarakat dalam PRL Sumber : (Ehler dan Douvere, 2007b) a. Keterlibatan masyarakat dalam tahap perencanaan Masyarakat memang cukup banyak terlibat dalam pembahasan peta zonasi khususnya pada saat pelaksanaan konsultasi publik. Mereka setidaknya terlibat dalam enam pertemuan yang digelar mulai dari tingkat desa sampai dengan kabupaten. Konsultasi tersebut pada dasarnya mencari persetujuan dari skenario spasial yang telah disiapkan oleh tim BTNKJ dengan waktu yang terbatas. Seluruh rangkaian konsultasi publik tersebut dilaksanakan dalam waktu yang singkat yaitu kurang dari 1 bulan mulai dari 6 November sampai dengan 14 Desember 2010 (BTNKJ, 2012). Identifikasi Kebutuhan dan Membangun Otoritas Mendapatkan Dukungan Pendanaan Mengorganisasi Partisipasi Pemangku Kepentingan Mengorganisasi Proses Melalui Pra Perencanaan Membentuk tim dan Mengembangkan Rencana Kerja Mendefinisikan Tujuan dan Sasaran Menspesifikasikan batasan dan jangka waktu Mendefinisikan dan Menganalisis Kondisi Eksisting Memetakan daerah penting secara biologi dan ekologi Identifikasi konflik kompatibilitas spasial Memetakan area yang terdampak oleh aktivitas manusia Mendefinisikan dan Menganalisis Kondisi Masa Depan Memetakan permintaan ruang laut di masa yang akan datang Mendefinisikan skenario spasial alternatif Memilih skenario spasial yang disukai Mempersiapkan dan Menyetujui Rencana Manajemen Spasial Mengidentifikasi alternatif manajemen spasial Mengembangkan dan Mengevaluasi rencana manejemen spasial Menyetujui Rencana Manajemen Spasial Adaptasi proses manajemen spasial Monitoring dan Evaluasi Kinerja Implementasi dan Penegakan Aturan dalam Rencana Manajemen Spasial 165 Hal di atas memperlihatkan bahwa konsultasi publik tidak dirancang untuk membangun dialog yang mendalam antara BTNKJ dan masyarakat. Morf dkk. (2019) menjelaskan bahwa partisipasi publik dalam PRL membutuhkan waktu yang lama untuk memungkinkan terjadinya pemahaman bersama dan terbentuknya rasa saling percaya. Konsultasi publik dilakukan lebih pada pemenuhan tuntutan regulasi yang mengharuskan adanya persetujuan publik atas rencana peta zonasi sebelum ia dapat diusulkan dan disahkan menjadi zonasi yang baru. Akhirnya konsultasi publik masuk dalam situasi “unstructured problems dialogue and discourse” yaitu situasi tidak ideal untuk mencapai kesepakatan karena pertentangan nilai, pengetahuan dan rasa saling tidak percaya (Hurlbert dan Gupta, 2015). Akibat dari situasi tersebut adalah rendahnya penyelesaian masalah sebenarnya dari pemanfaatan ruang pesisir dan laut. Pendapat Hurlbert and Gupta (2015) terbukti dari tertolaknya usulan penambahan zonasi inti dari 444,6 Ha (0,4%) menjadi 1.883,3 Ha (1.7%) di kawasan taman nasional karimunjawa. Penambahan zona inti dinilai mempersulit kehidupan nelayan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Menurut nelayan, semua usulan penambahan zona inti berada pada wilayah terumbu karang yang telah menjadi tempat mereka mencari ikan secara turun temurun. Apalagi regulasi zonasi inti melarang mereka melakukan penangkapan ikan tanpa terkecuali. Menurut salah satu tokoh nelayan di Karimunjawa sebetulnya masyarakat tidak menolak zonasi inti selama area yang ditentukan bukan daerah orang nelayan bekerja selama ini (R15, Wawancara 4 September 2020). Penolakan penambahan zonasi inti di atas membuat BTNKJ menjalankan strategi alternatif di mana mengalihkan usulan tambahan tersebut ke dalam zona perindungan. Pada prinsipnya zona perlindungan juga tidak dapat diekstrasi oleh nelayan hanya saja mereka masih dapat melintas. Strategi ini berhasil melahirkan kesepakatan meski pada kenyataannya terdapat pemahaman yang berbeda antara masyarakat dan BTNKJ. Bagi masyarakat zona yang dilarang menangkap ikan hanyalah zona inti di mana pada peta ditandai dengan warna merah, sedangkan zona pelindungan masih diperbolehkan selama menggunakan alat tangkap ramah 166 lingkungan. Kesalahpahaman ini terjadi karena pembahasan pada konsultasi publik hanya menitikberatkan pada masalah zonasi inti. Pemahaman tentang zona perlindungan tidak banyak dibahas karena khawatir mengalami penolakan sebagaimana nasib usulan zona inti. Masalah lain yang menyertai konsultasi publik adalah tidak adanya diskusi mengenai regulasi yang akan dimainkan dalam zona-zona yang telah disiapkan. Padahal pembahasan ini penting untuk mencapai tujuan pengelolaan kawasan. Bahkan BTNKJ sendiri mengakui pentingnya keterlibatan masyarakat dalam pembahasan regulasi seperti tertuang dalam dokumen evaluasi zonasi (BTNKJ, 2004). Ketiadaan pembahasan ini membuat masyarakat berpikir bahwa penyusunan zonasi lebih didasari oleh kepentingan BTNKJ semata. Sementara masalah yang dihadapi oleh masyarakat khususnya nelayan kurang mendapat perhatian. Keterlibatan masyarakat pada realitasnya memang baru terjadi ketika hal tersebut diatur berdasarkan regulasi formal. Ketika regulasi yang mengatur hal tersebut absen maka hilang pula kehadiran masyarakat seperti halnya dalam pembahasan regulasi dalam zonasi. Ia telah ditetapkan terlebih dahulu melalui pendekatan teknokratik oleh tim yang bertugas. Contoh lainnya adalah ketiadaan partisipasi masyarakat dalam pembahasan rencana pengelolaan kawasan. Padahal dokumen ini menentukan visi dan misi yang ingin diwujudkan. Ketiadaan mandat untuk melibatkan masyarakat menjadi salah satu alasan utama mengapa mereka tidak ikut berpatisipasi. Kehadiran masyarakat juga dinilai dapat mengaburkan nilai-nilai ideal yang ingin dicapai dalam pengelolaan kawasan karena adanya senjang pengetahuan antara BTNKJ dan masyarakat (R1, wawancara Oktober 2021). b. Keterlibatan masyarakat dalam tahap implementasi BTNKJ memiliki pekerjaan rumah yang berat untuk membuat zonasi berjalan secara efektif sejak terbentuk pada tahun 2012. Hal ini disebabkan oleh masih besarnya senjang pengetahuan dan kesadaran dimasyarakat tentang pelaksanaan zonasi. Pada tahun 2009 pengetahuan masyarakat terhadap zonasi baru sebatas mendengar mencapai 61 % (Kartawijaya dkk., 2012). Menyadari permasalahan 167 tersebut, BTNKJ membuat serangkaian kegiatan yang melibatkan masyarakat sebagai bagian dari implementasi zonasi tahun 2012. Salah satunya dengan mengaktifkan Sentra Penyuluhan Kehutanan Pedesaan (SPKP) yang sebetulnya telah dibentuk sejak tahun 2006. Kehadiran SPKP diharapkan mampu memperluas masyarakat yang sadar dan terlibat dalam upaya pelestarian lingkungan, namun sayangnya hal ini tidak berjalan efektif (BTNKJ, 2010).