1 Bab I Pendahuluan Penelitian ini secara umum merupakan sebuah jawaban tentang dilema dan bagaimana penggunaan dimensi manusia dalam Perencanaan Ruang Laut (PRL). Dimensi ini penting untuk menjamin keberlanjutan sosial dalam pemanfaatan ruang pesisir dan laut, meski pada kenyataannya masih jauh dari penggunaan yang layak. Melalui studi kasus yang dilakukan pada Taman Nasional Karimunjawa, penelitian ini juga melengkapi kekurangan bukti empiris penggunaan dimensi manusia di Indonesia khususnya pada konteks kawasan konservasi perairan. I.1 Latar Belakang Fenomena degradasi lingkungan laut yang semakin meluas melahirkan gerakan global untuk pengelolaan pesisir dan laut yang keberlanjutan di mana salah satunya adalah PRL. PRL didefinisikan sebagai suatu proses perencanaan yang mempengaruhi di mana dan kapan aktivitas manusia terjadi pada wilayah laut dengan tujuan mencari titik keseimbangan antara tujuan lingkungan, ekonomi dan sosial (Douvere, 2008). Sasaran yang ingin dicapai adalah sehatnya ekosistem, aktifitas pemanfaatan yang berkelanjutan, dan berjalannya prinsip kolaborasi dan integrasi dalam pengelolaan wilayah laut (Foley dkk., 2010). PRL menekankan pada pentingnya perlindungan ekosistem di tengah kegiatan pembangunan yang memberi tekanan kepada lingkungan dengan memperhatikan interaksi yang terjadi antara wilayah daratan dan lautan (Ehler and Douvere, 2007a; Smith dkk., 2011a). Prinsip-prinsip pada PRL tersebut mengacu pada pendekatan berbasis ekosistem yang memiliki tujuan untuk proteksi struktur, fungsi dan proses- proses yang terjadi dalam ekosistem, memastikan interkoneksi baik di dalam maupun antara sistem yang ada di udara, daratan dan lautan, serta mengintegrasikan aspek ekologi, sosial, ekonomi dan kelembagaan (Ehler dan Douvere, 2007; Douvere, 2008). Berdasarkan perkembangan terkini, aspek sosial mendapat perhatian yang lebih, dalam debat akademik karena posisinya yang cenderung tertinggal dengan aspek 2 lainnya (Gissi dkk., 2019). Misalnya (St. Martin and Hall-Arber, 2008) yang menyebut bahwa PRL saat ini belum memasukkan kompleksitas, keberagaman dan dinamika bentang sosial budaya. Permasalahan tersebut terus terjadi karena belum menemukan metode yang memuaskan agar dapat mengidentifikasi dan merepresentasikan manfaat atau kepentingan sosial budaya, ketergantungan masyarakat dan pola pemanfaatan secara temporal dan spasial atas wilayah pesisir dan laut (Stamoulis and Delevaux, 2015). Penggunaan dimensi manusia bertujuan untuk menghadirkan PRL yang inklusif (Bennett, 2019). Sementara pengabaian terhadap dimensi manusia diyakini berakibat pada terancam hilangnya warisan, mata pencaharian, dan budaya masyarakat pesisir yang selama ini mengandalkan lingkungan laut (Koehn dkk., 2013). Distorsi informasi seringkali mereka terima atas konsekuensi minimnya keterlibatan dalam pengaturan ruang laut sehingga produk PRL menyimpan potensi konflik sosial Gissi dkk. (2019). Hal ini dinilai mengaburkan esensi PRL untuk mereduksi konflik dan distribusi manfaat yang berkeadilan (Flannery dkk., 2016). Bennett dkk. (2017) menggunakan terminologi dimensi manusia untuk istilah yang serupa dengan aspek sosial yang menurutnya masih terbatas penggunaannya dalam PRL. Grimmel dkk. (2019) berpendapat bahwa dimensi ini terdiri atas integrasi keberlanjutan sosial, kesetaraan dan keadilan sosial, serta etika dan nilai instrinsik. Sementara isu yang terkait dengan dimensi ini mencakup pengaturan dan pengelolaan, pemanfaatan oleh manusia dan dampaknya, penguasaan dan hak, nilai-nilai dan budaya, kesejahteraan manusia dan dampak sosial, kesetaraan dan keadilan, ketahanan sosial, perilaku dan sumber penghidupan (Bennett, 2019). I.2 Masalah Penelitian Perhatian terhadap berbagai pandangan khususnya dari kelompok-kelompok yang hidupnya tergantung dan atau terpengaruh dari pengaturan ruang laut merupakan salah satu isu pokok dimensi manusia dalam PRL. Pada sisi lain, perspektif masyarakat dan para pemangku kepentingan adalah beragam dan seringkali saling berlawanan satu sama lain. Ehler dkk. (2019) mengakui adanya dilema pada PRL 3 di mana salah satunya adalah antara melakukan preservasi dan eksploitasi terhadap ekosistem pada saat yang bersamaan. Kepentingan menyelamatkan lingkungan yang menjadi pusat perhatian PRL sering pula dihadapkan pada tekanan kepentingan ekonomi yang datang dari masyarakat dan bisnis (Santos dkk., 2019). Perbedaan pandangan dan fenomena perebutan kepentingan atas suatu pengaturan seringkali dihadapi oleh para perencana sehingga menimbulkan konflik batin pada saat menjalankan proses perencanaan. Pada satu sisi ada mandat untuk menjaga keberlanjutan ekosistem laut, namun pada sisi lain ada tekanan secara sosial dan ekonomi baik dari masyarakat ataupun berbagai pemangku kepentingan lain yang membatasi rasionalitas dalam bertindak. Sebagaimana dikatakan oleh Saunders dkk. (2019) bahwa salah satu sebab tertinggalnya dimensi manusia dalam PRL adalah kekhawatiran terjadinya ketidakharmonisan antara kepentingan membela keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan di mana melibatkan generasi saat ini dan yang akan datang. Dilema memasukkan dimensi manusia ke dalam PRL telah dibahas dalam beberapa penelitian sebelumnya. Sebagai contoh Ehler & Douvere (2007) menyebutkan alasan luasnya cakupan penelitian sehingga menyebabkan biaya tinggi dan proses yang memakan waktu lama sebagai dilema penggunaan dimensi manusia (Blæsbjerg et al., 2009). Sebagian akademisi lainnya menekankan sulitnya mengaitkan nilai-nilai dalam dimensi manusia dengan satu lokasi perairan yang spesifik (Gee et al., 2017; Ives & Kendal, 2014; McKinley et al., 2019). Dilema juga hadir karena tingginya permintaan untuk kegiatan ekonomi seperti perumahan, pariwisata, kegiatan pelabuhan, budidaya laut, dan industri khususnya pada wilayah pesisir (Kay & Alder, 1999). Sementara pada daerah pesisir mencakup ekosistem penting bagi sumber daya laut seperti hutan bakau, rumput laut, dan terumbu karang. Kekuasaan perencana dalam mempengaruhi kepentingan politik dan keuangan juga mendapat sorotan khususnya dalam menghadapi tekanan dari masyarakat dan investor untuk melindungi kepentingan ekonomi mereka (Calado et al., 2010; Santos et al., 2018; Savini et al., 2014). 4 Berbagai literatur tersebut sayangnya belum dibahas secara utuh sehingga dapat melahirkan pemahaman yang parsial. Oleh karenanya perlu mencari konsepsi dilema perencanaan dari literatur yang lebih luas seperti Savini dkk. (2014) yang mengembangkan konsep dilema perencanaan dalam konteks wilayah dan kota melalui tiga bentuk dilema yaitu: (1) dilema intervensi yang menitikberatkan pada isu ruang dan waktu; (2) dilema regulasi yang fokus pada norma materi dan prosedural; (3) dilema investasi yang terkait dengan risiko dan penerimaan. Penelitian mengenai dilema perencanaan yang berkembang pada konteks teresterial tersebut dapat digunakan untuk memperkaya diskursus mengenai dilema dalam PRL. Sebagaimana pendapat Gee (2007) di mana menyarankan pentingnya mengambil pembelajaran dari perencanaan teresterial yang telah lebih dahulu mapan meski terdapat perbedaan karakteristik antara keduanya. Terlebih sampai dengan saat ini PRL masih terlalu kuat didominasi oleh peneliti bidang lingkungan, sedangkan kontribusi ilmu perencanaan masih relatif minim (Retzlaff dan LeBleu, 2018). Manfaat memahami dilema perencanaan adalah membuka pengetahuan tentang sistem politik atau budaya perencanaan yang berlaku (Savini dkk., 2014). Sebelumnya Campbell dan Marshall (1998) menyatakan urgensi penelitian seperti ini adalah untuk mengungkap isu etika dalam menjalankan sistem perencanaan. Dilema perencanaan juga penting untuk mengungkap konflik teknis dan politis yang dihadapi perencana khususnya terkait dengan kelangkaan sumberdaya dan lahan (Ferreira, 2013). Atas berbagai alasan di atas, penelitian ini berargumentasi bahwa penting untuk membangun kerangka dilema PRL dengan memanfaatkan pengetahuan yang tersedia pada perencanaan teresterial. Setelah memahami dilema perencanaan penggunaan dimensi manusia dalam PRL, muncul pertanyaan bagaimana perencana mengambil keputusan di tengah dilema. Selama ini berbagai penelitian menekankan pada aspek objektif seperti masalah keterbatasan sumberdaya dan kekuasaaan sebagai aspek penentu penggunaan dimensi manusia (Ehler dkk., 2019; Flannery dkk., 2016, 2018; Jones dkk., 2016; Pomeroy dkk., 2014). Contohnya adalah keterbatasan sumberdaya dalam menilai 5 pergerakan arus air yang terus menerus sehingga kondisi dan pemanfaatan spasial secara sosial dan ekonomi juga berubah-ubah, sementara peta dan dokumen perencanaan menunjukkan pengertian yang statis (Gee, 2019; Steinberg, 2014).