1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Perkembangan kota selalu diiringi dengan penngkatan jumlah penduduk, kegiatan ekonomi, dan perkembangan system transportasi baik dari segi jumlah pergerakan, jalur serta moda transportasi. Pelaku perjalanan perlu memutuskan moda alternatif yang cocok untuk tujuan perjalanan yang sesuai dengan kriteria pelaku perjalanan. Salah satu aspek terpenting dalam pemodelan transportasi adalah untuk memprediksi perilaku pilihan perjalanan yang merupakan keputusan perjalanan yang paling sering dimodelkan (Almasri & Alraee, 2013). Mode choice modelling merupakan suatu hal penting untuk memprediksi perilaku perjalanan untuk pemilihan moda danmenentukan faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan moda tersebut (Ortuzar & Willumsen, 2011). Pergerakan penumpang yang berasal dari DKI Jakarta menuju Bandung Raya yaitu sebesar 27.418.521 orang/tahun (Kementerian Perhubungan, 2011). Provinsi DKI Jakarta dan Bandung Raya memiliki jumlah penduduk masing-masing lebih dari 10 dan 8 juta pendudukan (Badan Pusat Statisik, 2020). Melihat pergerakan yang masih sangat tinggi. Pemerintah perlu meningkatkan pembangunan infratstruktur untuk koridor Jakarta – Bandung dengan menyediakan konektivitas antar kota dan pengembangan kawasan. Salah satu transportasi yang dikembangkan saat ini adalah kereta api dengan kecepatan tinggi ( > 250 km/jam) dan dikategorikan sebagai kereta cepat atau High Speed Train (HST). Pemerintah membangun infrastruktur KCJB (Kereta Cepat Jakarta Bandung) bertujuan untuk pengembangan kinerja transportasi massal dan menunjang kebutuhan pergerakan dari DKI Jakarta ke Bandung (Tetama dkk, 2022). Proyek pembangunan Kereta cepat Jakarta-Bandung (KCJB) diprediksi rampung pada tahun 2023. Proyek dengan total panjang jalur 142,3 km yang akan menghubungkan Stasiun Halim (Jakarta), Stasiun Karawang, Stasiun Padalarang (Kabupaten Bandung Barat) dan Stasiun Tegalluar (Kabupaten Bandung). Proyek ini menghabiskan lahan sekitar 650 hektar dengan biaya investasi proyek sebesar USD 6,071 miliar atau sekitar Rp 81,96 triliun (kurs 13.500 per dolar AS). Dengan jumlah investasi tersebut bukan nilai yang sedikit bila dibandingkan dengan pembangunan 2 kereta api reguler. Beberapa penelitian telah dilakukan terkait potensi perpindahan moda ke kereta cepat Jakarta-Bandung yaitu diantaranya dilakukan oleh JICA (2012) menyatakan bahwa pada tahun 2020 sekitar 17% (39.000 penumpang/hari) akan memilih naik HST (High Speed Train), ini dialihkan dari moda kereta api 65% yaitu 5.300 penumpang/hari, 25% dari gerbong antarkota (1150 penumpang/hari) dan 14% dari mobil pribadi (22.400 penumpang/hari) dengan menggunakan variabel tariff, headway, aksesibilitas dan waktu keterlambatan. Permintaan jumlah penumpang kereta cepat Jakarta – Bandung perkiraan mencapai 61.000 penumpang per hari di tahun 2019 atau perkiraan sedang mencapai 78.000 penumpang per hari dengan tingkat pertumbuhan yaitu 2%- 3% per tahun (LAPI ITB, 2015). Kereta cepat tidak bisa lepas dengan moda transportasi lainnya sebagaimana disebutkan bahwa akesibilitas merupakan hal penting untuk setiap manfaat dari transportasi, sementara bentuk dan definisi aksesibilitas sangat banyak. Terdapat elemen penting dalam pengukuran akesebilitas yaitu waktu perjalanan (Geurs dan Van Wee, 2004; Van Wee dkk, 2001). Dalam kasus HST (High Speed Train), menunjukkan bahwa waktu tempuh dianggap sangat penting. Waktu perjalanan dapat diukur dengan berbagai cara, idealnya waktu perjalanan harus dilakukan dari pintu ke pintu yang berarti termasuk perjalanan akses dan keluar (misalnya ke stasiun kereta api, serta waktu tunggu dan transfer antar moda (Banister dkk, 2000; Giovni, 2006). Masalah last mile dapat mempengaruhi penggunaan transportasi umum, untuk meningkatkan pengguna angkutan umum diperlukan adanya peningkatan aksesibilitas moda transit ke akhir perjalanan (Tilahun dkk, 2016). Peran aksesibilitas dari pintu ke pintu (door to door) tidak boleh diabaikan saat mengevaluasi faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan moda (Biggiero dkk, 2017). Transportasi pengumpan/feeder dibutuhkan dalam meningkatkan konektivitas antar moda maupun dalam kemudahan pengguna moda untuk mencapai moda transportasi umum utama atau massal. Penggunaan transportasi pengumpan/feeder melibatkan aktivitas berjalan dan menunggu angkutan yang dapat mengakibatkan penggunaan angkutan umum sebagai moda pengumpan/feeder kurang diminati oleh penumpang dan justru menjadi penghambat komuter untuk menggunakan kereta api atau transportasi massal lainnya (Ceder dan Yim, 2003). 3 Saat ini kereta cepat Jakarta hanya berhenti sampai di Stasiun Padalarang (Kabupaten Bandung Barat) dan Stasiun Tegalluar (Kabupaten Bandung), sehingga sangat penting untuk melihat seberapa besar peluang permintaan moda lanjutan kereta cepat yang tidak bisa mengantar penumpang ke dalam Bandung, Dalam Dokumen Feasibility Study tentang Studi Konektivitas KCJB di Stasiun Padalarang yang menyatakan bahwa stasiun tempat pemberhentian Kereta Cepat Jakarta-Bandung hanya sampai di Padalarang, untuk itu akan disediakan moda feeder KA Feeder sebagai moda lanjutan perjalanan kereta cepat dari Stasiun Padalarang menuju Kota Bandung(PT.KAI, 2022), selain KA Feeder, moda transportasi KRD Lokal Bandung Raya yang merupakan kereta ekonomi lokal rute Padalarang – Cicalengka yang akan melewati Stasiun Bandung juga dapat digunakan sebagai moda lanjutan kereta cepat. Pemilihan moda adalah tahap terpenting karena moda transportasi umum berkontribusi dalam berbagai kebijakan transportasi. Tidak ada seorangpun yang tidak setuju bahwa moda transportasi umum menggunakan ruang jalan yang lebih efisien daripada moda transportasi pribadi (Tamin, 2000) dan Moda kereta api merupakan moda transportasi darat paling aman sehingga menjadi pilihan yang tepat karena tingkat ketepatan waktu dan tingkat efektifitas perjalanan yang tinggi (Sriastuti, 2015), sehingga sangat cocok menjadi alternatif moda dari moda utama menuju lokasi tujuan. Stasiun Padalarang sebagai tempat pemberhentian KCJB merupakan kawasan heritage yang akan dilalui KA Feeder dan KRD Lokal Bandung Raya sebagai moda perjalanan lanjutan untuk mencapai Kota Bandung. Stasiun Padalarang yang dipilih untuk menjadi topik wilayah studi karena telah direncanakan pemerintah untuk mengintegrasikannya dengan KA Feeder. Maka dari itu penelitian ini melihat peluang pemilihan moda antara KA Feeder dan KRD Lokal Bandung Raya sebagai moda lanjutan perjalanan KCJB dari Stasiun Padalarang menuju Bandung. I.2 Rumusan Masalah Dari penjelasan latar belakang yang telah dipaparkan, permasalahan yang berusaha dipecahkan dalam penelitian ini adalah dengan adanya moda eksisting KRD Lokal Bandung Raya, bagaimana peluang adanya KA Feeder sebagai moda perjalanan lanjutan/moda feeder lanjutan kereta cepat dari Stasiun Padalarang menuju Bandung. Potensi pemilihan moda dilakukan dengan analisis yang berusaha mengidentifikasi permintaan perjalanan individu, tetapi setiap individu memiliki karakteristik yang 4 berbeda-beda, bahkan individu yang memiliki karakteristik sosial-ekonomi yang sama memiliki preferensi yang berbeda. Pemodelan dengan pendekatan disaggregate ini perlu dilakukan untuk mengetahui faktor yang unik dan paling berpengaruh dalam pemilihan moda feeder. Model utilitas terbaik yang dihasilkan dari pemodelan digunakan dalam menghitung probabilitas yang akan menjadi pilihan terbaik bagi masyarakat dalam memilih moda feeder KCJB dari Stasiun Padalarang. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut. 1. Apa saja faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap pemilihan moda feeder. 2. Berapa probabilitas peluang pemilihan moda feeder berdasarkan model utilitas yang dihasilkan. I.3 Tujuan dan Sasaran Penelitian I.3.1 Tujuan Penelitian Tujuan utama dari penelitian ini yaitu mengidentifikasi peluang pemilihan moda antara KA Feeder dan KRD Lokal Bandung sebagai moda lanjutan penumpang KCJB dari Stasiun Padalarang menuju Kota Bandung.