9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Pemilihan Moda Pemilihan moda adalah suatu tahapan dalam proses perencanaan angkutan yang dapat menentukan proses dan proporsi orang dalam memilih moda transportasi apa yang akan dia gunakan sehingga kebutuhan pergerakan dari titik asal ke titik tujuan dapat terpenuhi. Pemilihan moda transportasi ini merupakan kelanjutan tahapan dari model matriks asal tujuan dan bangkitan perjalanan. Pada setiap tahap sebaran perjalanan kita dapat menentukan berapa jumlah perjalanan dari masing-masing zona asal ke masing-masing zona tujuan dalam pembentukan matriks asal tujuan (MAT). Pada penelitian ini moda transportasi yang terlibat dalam proses observasi dan analisis adalah moda Non-Motorized Transport baik berjalan kaki ataupun bersepeda, penggunaan bus sekolah, penggunaan angkutan umum dan penggunaan kendaraan pribadi termasuk mobil dan motor pribadi. II.1.1 Moda Non-Motorized Transport (NMT) Non-Motorized Transport atau kendaraan tidak bermotor adalah kendaraan yang menggunakan tenaga manusia atau hewan untuk dapat bergerak dan melakukan mobilitas sebagai sarana transportasi, kendaraan ini tidak dilengkapi dengan mesin atau motor, namun menggunakan tenaga manusia atau hewan untuk menggerakkan kendaraan tersebut seperti delman, becak ataupun gerobak yang dilengkapi dengan roda dan dipergunakan untuk mengangkut orang dan barang. Non-Motorized Transport dapat dijadikan pilihan alternatif moda yang ramah lingkungan, efektif dan efisien baik ditinjau dari segi biaya maupun waktu. Pada daerah perkotaan, perjalanan terbanyak adalah perjalanan dengan jarak dekat dan jarak sedang, baik perjalanan langsung dari lokasi asal menuju lokasi tujuan maupun hanya sebagai perjalanan first mile maupun last mile yang terintegrasi dengan simpul layanan transportasi publik. Namun di beberapa kota di dunia Non-Motorized Transport ini dalam beberapa dekade ini tersingkirkan oleh kendaraan bermotor, baik sepeda motor maupun mobil. Mobilitas, fasilitas dan waktu perjalanan merupakan alasan utama orang- 10 orang lebih memilik kendaraan bermotor dibandingkan dengan kendaraan tidak bermotor. Fleksibilitas dari NMT ini juga menjadi kendala pada transportasi khususnya pada transportasi perkotaan, namun dewasa ini NMT kembali didorong untuk menjadi pilihan moda transportasi bagi masyarakat perkotaan, khususnya pilihan moda berjalan kaki dan bersepeda. Beberapa negara maju menyiapkan fasilitas bagi pejalan kaki dan sepeda dengan menyiapkan fasilitas jalur khusus pejalan kaki dan sepeda, meskipun begitu masyarakat belum dapat merespon fasilitas ini dengan memilih NMT karena faktor keselamatan, keamanan, dan kenyamanan masih menjadi isu utama mengapa masyarakat enggan beralih ke moda Non-Motorized Transport baik berjalan kaki maupun bersepeda. Pengembangan layanan sistem transportasi massal tidak hanya diharuskan terkoneksi dengan sistem jaringan jalan kendaraan bermotor tapi juga sangat diperlukan terintegrasi dengan jaringan Non-Motorized Transport dalam hal ini terintegrasi dengan fasilitas pejalan kaki (trotoar/pedestrian) maupun fasilitas pesepeda baik jalur yang aman, nyaman dan selamat maupun fasilitas lain seperti bike sharing dan tempat parkir sepeda yang aman di pusat-pusat kegiatan. Pengembangan fasilitas Non-Motorized Transport baik untuk pejalan kaki maupun untuk pesepeda harus memiliki kriterian aman, nyaman, humanis, serta telah terhubung dengan layanan angkutan umum menyesuaikan dengan karakteristik para pejalan kaki dan pesepeda. Beberapa karakteristik dasar yang harus diperhatikan dalam mendesain fasilitas Non-Motorized Transport adalah jarak tempuh, kecepatan dan ruang gerak yang mempertimbangkan dengan kmampuan serta kemaun orang untuk berjalan kaki dan bersepeda dengan nyaman. Berikut beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam mendesain fasilitas Non-Motorized Transport diantaranya adalah: 1. Jarak Tempuh Jarak tempuh bagi pejalan kaki adalah maksimal 500 meter sedangkan untuk pesepeda pemula jarak tempuh maksimal adalah 3 Km, jarak terpuh tersebut dapat dilakukan oleh para pejalan kaki dan pesepeda dengan nyaman. Simpul- simpul transportasi seperti titik pemberhentian bus, fasilitas bike sharing, halte bus sekolah, halte angkutan umum semacam mikrotrans, simpul transil, simpul transfer antar moda dan lain-lain haruslah berada di batas aman dan nyaman 11 orang untuk berjalan kaki yaitu maksimal 500 meter. Indonesia dengan iklim tropis dibutuhkan fasilitas tambahan yang disediakan untuk para pejalan kaki dan pesepeda diantaranya adalah peneduh baik berbentuk kanopi ataupun pohon dan taman, tempat duduk istirahat di sepanjang jalur prdestrian serta lingkungan yang memiliki daya tarik tertentu seperti taman-taman dan desain lainnya, hal ini dapat membuat pengguna jalan memiliki kemauan yang lebih untuk berjalan kaki atau bersepeda lebih jauh. Sebagai ilustrasi jarak tempuh maksimal yang direkomendasikan sehingga para pejalan kaki dan pesepeda masih dapat melakukan pergerakan dengan nyaman seperti yang ditunjukkan pada ilustrasi gambar dibawah ini. Gambar II. 1 Ilustrasi jarak nyaman ditempuh pejalan kaki dan pesepeda. Sumber: ITDP (2020) 2. Kecepatan Perbedaan kecepatan dari para pengguna jalur khusus pedestrian atau pun jalur khusus sepeda menyebabkan para perencana transportasi dan perancang desain jalur harus memberikan jarak/space tambahan kepada pengguna jalan tersebut untuk dapat mendahului pengguna lainnya. Gambar II. 2 Ilustrasi Kecepatan pengguna fasilitas pejalan kaki dan pesepeda Sumber: ITDP (2020) 12 3. Ruang Gerak Kebutuhan ruang gerak pengguna jalan sangat beragam, khususnya pengguna fasilitas NMT. Hal ini harus menjadi pertimbangan dan wajib diakomodasi dalam merancang fasilitas pejalan kaki dan pesepeda. II.1.1.1 Moda berjalan kaki Berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan jalan, pada pasal 25 ayat 1 dinyatakan bahwa setiap jalan wajib dilengkapi dengan perlengkapan jalan jika jalan tersebut digunakan untuk lali lintas umum. Sedangkan jika ditinjau lebih dalam lagi dalam butir g pada pasal 25 ayat 1 diperjelas dengan pernyataan perlengkapan jalan yang dimaksud pada pasal 25 ayat 1 adalah fasilitas untuk kepentingan dan keselamatan para pejalan kaki, pesepeda dan disabilitas. Kemudian dipertegas kembali pada pasal 106 ayat 2 yang menjelaskan bahwa manajemen dan rekayasa lalu lintas harus memperhatikan dan memberikan prioritas kepada pejalan kaki dan pesepeda sehingga terjamin keamanan dan kenyamanan bagi pejalan kaki dan pesepeda. Hal ini berlaku juga untuk para pengemudi kendaraan bermotor yang memiliki kewajiban mengutamakan keselamatan para pejalan kaki dan para pesepeda. Hak pejalan kaki berdasakan pasal 131 dalam berlalu lintas, sebagai berikut: 1. Pejalan kaki memiliki hak tersedianya fasilitas pendukung pejalan kaki berupa jalur pedestrian (trotoar), fasilitas penyeberangan jalan, dan fasilitas pejalan kaki lainnya. 2. Pejalan kaki memiliki hak untuk mendapatkan prioritas saat hendak menyeberang Jalan. 3. Pejalan kaki mempunyai hak untuk menyeberang jalan di tempat yang dia dipilih dengan sangat memperhatikan keselamatan dirinya, jika fasilitas penyebrangan jalan untuk para pejalan kaki belum tersedia. Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerja Umum Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2014, prinsip dari perencanaan prasarana jaringan bagi pejalan kaki adalah sebagai berikut: 1. Mempermudah bagi pejalan kaki untuk mencapai tujuan dengan jarak yang relatif dekat. 13 2. Dapat menghubungkan suatu tempat dengan tempat yang lain dengan fasilitas yang terkonektivitas dan kontinyu antar dua tempat yang terhubung. 3. Menjamin keterlangsungan dan keterpaduan antara penataan bangunan dan lingkungan dengan aksesibilitas lingkungan dan kawasan, ataupun dengan sistem transportasi terpadu. 4. Memiliki sarana dan prasarana ruang pejalan kaki bagi seluruh pengguna jalan, hal ini juga termasuk bagi pejalan kaki yang memiliki disabilitas tertentu. 5. Derajat kemiringan yang landai, permukaan jalan rata dan halus, sehingga pejalan kaki merasa aman dan nyaman melakukan perjalanan. 6. Mampu memberikan kondisi yang aman, nyaman dan ramah lingkungan, serta dapat dengan mudah dilakukan mandiri. Menurut (ITDP, 2018) piramida hirarki kebutuhan Walkability memberikan pondasi dalam melakukan pengembangan dan prioritas metrik walkability di ketiga tingkat pengukuran yaitu kota metropolitan, lingkungan, dan jalan.