1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki ±17.000 pulau, saat ini terdapat 8 provinsi yang termasuk ke dalam Badan Kerja Sama Daerah Kepulauan (BKSDK) salah satunya adalah Provinsi Maluku (Kelen, 2017). Provinsi Maluku memiliki 1.337 pulau (BPS, 2022) untuk memenuhi kebutuhan konektivitas inter dan antar pulau menjadi lebih dominan. Pemerintah Provinsi Maluku membentuk program 12 gugus pulau dan perencanaan pengembangan infrastruktur keluar dan masuk pulau berdasarkan moda aksesnya sebagai jawaban isu strategis pembangunan daerah, salah satunya permasalahan penataan ruang yakni terbatasnya aksesibilitas (RPJMD Maluku, 2019). Tabel I.1 Moda akses pada program gugus pulau (RPJMD Maluku, 2019) No. Gugus Pulau Moda Udara Laut Penyeberangan 1. Pulau Buru Namniwel Namlea Teluk Bara 2. Seram Barat - Waepirit - 3. Seram Utara - Wahai Wahai 4. Seram Timur Kufar Bula - 5. Seram Selatan Amahai Amahai - 6. Kepulauan Banda Banda Neira Banda Neira - 7. Ambon & P.P. Lease Ambon Ambon, Hunimua, Tulehu - 8. Kep. Kei Ibra Tual - 9. Kep. Aru Dobo Dobo Dobo 10. Kep. Tanimbar Saumlaki Saumlaki - 11. Kep. Babar Moa - - 12. Kep. P.P. Terselatan Kisar Kisar Ilwaki Banyaknya jumlah pulau yang dimiliki dan program gugus pulau sebagai salah satu strategi pembangunan daerah sangat membutuhkan transportasi udara. Pentingnya peran transportasi udara dalam melayani kebutuhan masyarakat di tiap – tiap pulau guna memenuhi kebutuhan masyarakat baik secara ekonomi maupun sosial, 2 aksesibilitas orang dan barang sehingga membuka keterisoliasian daerah terutama bagi daerah 3T (Terdepan, Terluar dan Tertinggal). Berikut peta sebaran 13 bandar udara tersebar di beberapa pulau: Gambar I.1 Peta Lokasi Bandara Provinsi Maluku (Dishub Maluku, 2019) Sebaran bandar udara pada Gambar I.1 memiliki beragam panjang dan lebar landasan pacu. Perbedaan landasan pacu akan mempengaruhi jenis pesawat yang dapat didarati dan pelayanan bandar udara itu sendiri, maka bandar udara memiliki Tatanan Kebandarudaraan. Menurut Undang – Undang No. 1 tahun 2009 tentang Penerbangan pasal 193, Tatanan Kebandarudaraan merupakan sistem perencanaan kebandarudaraan nasional yang menggambarkan interdependensi, interrelasi, dan sinergi antar – unsur yang meliputi sumber daya alam, sumber daya manusia, geografis, potensi ekonomi, dan pertahanan keamanan dalam rangka mencapai tujuan nasional. Tahun 2019, memiliki 251 bandar udara, 37 bandara hub dan 214 bandara spoke. Rencananya akan dibangun 75 bandara hub dan 226 bandara spoke, sehingga totalnya sebanyak 301 bandara. Total tersebut sesuai dengan Rencana Induk Bandar Udara KM No. 166 Tahun 2019 (Profil Direktorat Perhubungan Udara, 2022). Tatanan kebandarudaraan nasional dibagi berdasarkan hierarki, dan klasifikasinya sesuai rencana induk nasional bandar udara. 3 Berdasarkan hierarkinya terbagi menjadi 2, digolongkan berdasarkan jumlah penumpang yang akan dilayaninya: 1. Bandar Udara Pengumpul (Hub), mulai melayani jumlah ≥ 500.000 (lima ratus ribu) hingga ≥ 5.000.000 (lima juta) orang per tahun. 2. Bandar Udara Pengumpan (Spoke), mempunyai cakupan pelayanan dan mempengaruhi perkembangan ekonomi lokal, merupakan bandar udara penunjang dari bandar udara pengumpul, dan sebagai salah satu prasarana penunjang pelayanan kegiatan lokal. Lebih lanjut berikut tabel ketentuan hirarki bandar udara berdasarkan PM 39 Tahun 2019 tentang Tatanan Kebandarudaraan Nasional: Tabel I.2 Hirarki Bandar Udara Hirarki Bandar Udara Macam - Macam Ketentuan Bandar Udara Pengumpul (Hub) Bandar udara pengumpul dengan skala pelayanan primer Prasarana penunjang pelayanan Pusat Kegiatan Nasional (PKN) melayani penumpang dengan jumlah ≥5.000.000 (lima juta) orang per tahun. Bandar udara pengumpul dengan skala pelayanan sekunder Prasarana penunjang pelayanan Pusat Kegiatan Nasional (PKN) yang melayani penumpang dengan jumlah ≥1.000.000 (satu juta) dan <5.000.000 (lima juta) orang per tahun. Bandar udara pengumpul dengan skala pelayanan tersier Prasarana penunjang pelayanan Pusat Kegiatan Nasional (PKN) dan Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) terdekat yang melayani penumpang dengan jumlah ≥500.000 (lima ratus ribu) dan <1.000.000 (satu juta) orang per tahun. Bandar Udara Pengumpan (Spoke) a.Bandar udara yang mempunyai cakupan pelayanan dan mempengaruhi perkembangan ekonomi lokal. b.Bandar udara tujuan penunjang dari bandar udara pengumpul. c.Bandar udara sebagai salah satu prasarana penunjang pelayanan kegiatan lokal. Selain dikelompokan berdasarkan hierarkinya, bandar udara juga dikelompokan berdasarkan klasifikasi. Klasifikasi bandar udara ditetapkan berdasarkan kapasitas 4 pelayanan dan kegiatan operasional bandar udara. Kapasitas pelayanan merupakan kemampuan bandar udara untuk melayani jenis pesawat udara terbesar dan jumlah penumpang atau barang meliputi Kode Angka (Code Number) yaitu perhitungan panjang landasan pacu berdasarkan referensi pesawat Aeroplane Reference Field Length (ARFL), Kode Huruf (Code Letter) yaitu perhitungan sesuai lebar sayap dan lebar jarak roda terluar pesawat. Berikut tabel kriteria klasifikasi bandar udara: Tabel I.3 Kriteria Klasifikasi Bandar Udara Kode Angka (Code Number) Panjang Landasan Pacu berdasarkan Referensi Pesawat (Aeroplane Reference Field Length - ARFL) Kode Huruf (Code Letter) Bentang Sayap (Wing Span - WS) Jarak Roda Utama Terluar (Outer Mean Gear - OMG) 1 ARFL < 800 m A WS < 15 m OMG < 4.5 m 2 800 m <= ARFL <1200 m B 15 m <= WS < 24 m 4.5 m <= OMG < 6 m 3 1200 m <= ARFL < 1800 m C 24 m <= WS < 36 m 6 m <= OMG < 9 m 4 1800 m <= ARFL D 36 m <= WS < 52 m 9 m <= OMG < 14 m E 52 m <= WS < 56 m 9 m <= OMG < 14 m F 56 m <= WS < 80 m 14 m <= OMG < 16 m Sesuai Rencana Induk Bandar Udara tahun 2019 telah dilakukan peningkatan kelas guna meningkatkan pelayanan, berikut kondisi bandar udara yang berklasifikasi 3C dan 4C dapat menampung pesawat tipe ATR 72 hingga B737 atau A320: Tabel I.4 Bandar udara dengan klasifikasi 3C dan 4C di Kepulauan Maluku (Ditjenhubud, 2021) Bandara Pattimura – Ambon Bandara Karelsadsuitubun – Langgur Bandara Mathilda – Saumlaki Bandar Udara Namniwel – Kep. Buru Bandara Dobo – Kep. Aru Pengelola PT Angkasa Pura I Ditjen Hubud Ditjen Hubud Ditjen Hubud Ditjen Hubud Hierarki (KM 166 Pengumpul Sekunder Pengumpan Pengumpan Pengumpan Pengumpan 5 Tahun 2019) Kelas Kelas I Kelas II Kelas III Kelas III Kelas III Klasifikasi 4C 4C 4C 3C 3C Panjang Runway 2.500 m x 45 m 2.350 m x 45 m 2.300 m x 45 m 1.600 m x 30 m 1.400 m x 30 m Air Traffic Service TWR, APP Procedural TWR AFIS AFIS AFIS Maskapai LCC yang beroperasi Lion Air, Wings Air, Citilink Lion Air, Wings Air Wings Air Wings Air Wings Air Di samping pembangunan infrastruktur bandara yang menjadi simpul transportasi, peran maskapai sebagai penyedia moda angkutan pesawat sangat penting untuk menghubungkan simpul antar pulau. Selanjutnya, tantangan yang muncul ditengah arah pasar yang selalu berubah merupakan tantangan bagi bandar udara kecil/regional terutama di daerah kepulauan timur Indonesia ini tetap mempertahankan kegiatan penerbangan. Kesulitan tersebut ditunjukan dari grafik jumlah penumpang berikut: Gambar I.2 Grafik data penumpang selama 5 tahun (2017–2021) di Bandar Udara Langgur, Bandar Udara Saumlaki, Bandar Udara Dobo, dan Bandara Namniwel (BPS Statistik Transportasi Udara, 2017 – 2021) Sebagian besar pasar pergerakan pertumbuhan penumpang pesawat di Indonesia muncul dikarenakan deregulasi penerbangan, ditandai dengan industri penerbangan Indonesia memasuki liberalisasi tahap keempat ketika memasuki awal tahun 2000– 0 20000 40000 60000 80000 100000 120000 140000 160000 2017 2018 2019 2020 2021 Data Penumpang Langgur Saumlaki Dobo Namniwel 6 an, abad Milenium. Pemerintah memperbolehkan berdiri dan beroperasinya maskapai penerbangan bujet atau yang dikenal sebagai Low Cost Carrier (LCC) (Askhara, 2019). Deregulasi penerbangan membentuk ekosistem dan memperluas jaringan rute yang dilayani. LCC sering dicirikan dengan pola point-to-point, menggunakan jenis pesawat tunggal, penggunaan bandara sekunder, menjual tiket langsung, kabin kelas tunggal (ekonomi), dan tidak ada layanan gratis selama penerbangan (Loh dkk., 2020). LCC dapat merangsang pasar dan membuat permintaan baru, sehingga akan memperoleh pangsa pasar yang besar (Pitfield, 2007). Dengan karakteristik dan keuntungan beroperasinya LCC sangat sesuai dengan kondisi geografis Indonesia berupa kepulauan memiliki banyak jumlah bandar udara kecil/regional/sekunder yang bukan primer/hub. LCC yang muncul akibat deregulasi menemui puncaknya terjadi pada tahun 2014, terjadinya pelayanan angkutan udara mengarah ke liberalisasi. Ditandai dengan tidak adanya pola penerbangan ‘hub & spoke’, tidak adanya perhitungan penambahan kapasitas untuk semua rute (rute padat, rute kurang padat, dan rute tidak padat), tidak ada lagi perlindungan kepada maskapai penerbangan yang membuka rute baru, dan persaingan antar maskapai penerbangan semakin tidak terarah. Semua maskapai penerbangan bermain di tarif batas bawah, atau antara tarif batas bawah dan tarif batas atas. Tarif batas atas hanya diberlakukan oleh maskapai penerbangan pada saat musim sibuk (peak seasons) (Askhara, 2019). Seiring waktu, strategi maskapai mengalami perubahan, menyebabkan banyak LCC baru – baru ini pindah ke bandara utama yang memiliki demand pasar besar (Marcin Dziedzic dkk., 2020). Di banyak kasus, bandara sekunder akhirnya kehilangan maskapai LCC yang beroperasi dan hanya mempertahankan penerbangan ke tujuan yang kurang penting (M Dziedzic, 2016). Fenomena semakin cenderungnya maskapai berlomba dalam beroperasi di rute gemuk menyebabkan beberapa bandara sepi peminat, bahkan mengalami mati suri. 7 Diantaranya Bandara KertaJati, Bandara JB Soedirman Purbalingga, Bandara Ngloram Blora, dan Bandara Wiriadinata Tasikmalaya (Yanwardhana Emir, 2022). Diantara bandara yang mengalami sepi penumpang tersebut memiliki lokasi strategis atau daya tarik lebih besar. Tetapi sayangnya minat maskapai beroperasi cenderung rendah. Ini disebabkan, maskapai memiliki beberapa faktor yang dipertimbangkan dalam memilih bandara. Adanya fenomena seleksi pilihan bandara dapat menjadi salah satu faktor penting yang menentukan keberhasilan atau kegagalan LCC (Warnock-Smith & Potter, 2005). Faktor seleksi pemilihan bandara oleh LCC tersebut diantaranya biaya, permintaan, dan efisiensi masih menjadi kriteria terpenting untuk beroperasi (M. Dziedzic & Warnock-Smith, 2016). Selain faktor tersebut, terdapat beberapa faktor yang dapat dikontrol yakni, faktor terkait bandar udara dan catchment area yang paling bisa dikendalikan oleh operator bandara dan pemerintah daerah (A. Graham, 2014). Faktor yang dapat dikontrol tersebut diharapkan mempengaruhi dan merangsang minat LCC, diharapkan pengelola bandar udara dan pemerintah setempat dapat menyusun strategi untuk meningkatkan jumlah penumpang melalui pergerakan pesawat. Sebelum menentukan strategi, perlu memahami bagaimana pihak pendukung kegiatan penerbangan ini (stakeholder) memahami fenomena tersebut. Diharapkan diskusi kriteria pemilihan oleh LCC untuk melayani penerbangan di bandar udara regional/kecil dapat mengatasi tren permasalahan, yakni rentannya LCC suka mengubah jaringan rute, sering terjadi perubahan dalam waktu cukup singkat menyebabkan frekuensi penerbangan berkurang bahkan rute ditutup (Marcin Dziedzic dkk., 2020). Strategi bisnis LCC dan arah pertumbuhan pasar yang sering berubah dapat menyebabkan fluktasi penumpang. Hal ini menjadi tantangan bagi bandar udara kecil/regional seperti Bandar Udara Langgur dan Saumlaki dalam mempertahankan kegiatan penerbangannya. Maka penelitian ini disusun dengan judul “Analisis Prioritas Faktor Seleksi Pemilihan Bandar Udara Oleh Maskapai LCC di Bandar Udara Kecil Berdasarkan Perspektif Stakeholder (Studi Kasus: Bandar Udara Kepulauan Maluku)”. 8 I.2 Pertanyaan Penelitian Berikut pertanyaan penelitian yang disusun berdasarkan uraian di atas: 1. Bagaimana kondisi eksisting bandar udara yang melayani penerbangan komersil LCC di bandara kecil/regional kepulauan Maluku. 2. Apa saja faktor seleksi pemilihan bandar udara oleh maskapai berbasis bisnis Low Cost Carrier (LCC). 3. Bagaimana prioritas fenomena faktor seleksi pemilihan bandar udara di bandara kecil/regional oleh maskapai LCC berdasarkan perspektif stakeholder. I.3 Tujuan dan Sasaran Penelitian Tujuan penelitian ini untuk mengetahui prioritas faktor seleksi pemilihan bandar udara di bandara kecil/regional Kepulauan Maluku oleh maskapai LCC berdasarkan perspektif stakeholder guna mempertahankan dan meningkatkan kegiatan penerbangannya. Sasaran penelitian: 1. Menganalisis kondisi eksisting bandar udara yang melayani penerbangan komersil LCC di kepulauan Maluku. 2. Mengidentifikasi faktor seleksi pemilihan bandar udara oleh maskapai berbasis bisnis Low Cost Carrier (LCC) melalui literature review. 3. Menentukan prioritas faktor seleksi pemilihan bandar udara di bandara kepulauan oleh maskapai LCC berdasarkan perspektif stakeholder. 9 I.4 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian “Analisis Prioritas Faktor Seleksi Pemilihan Bandar Udara Oleh Maskapai LCC di Bandara Kecil Berdasarkan Perspektif Stakeholder (Studi Kasus: Bandara Kepulauan Maluku)” sebagai berikut: 1. Mendapatkan gambaran trend pengoperasiaan maskapai Low Cost Carrier (LCC) dalam mengekspansi bisnis menggunakan faktor seleksi pemilihan bandar udara di wilayah kepulauan Maluku. 2. Memberikan saran pengembangan berupa strategi mempertahankan dan meningkatan kegiatan maskapai LCC di bandar udara kecil/regional berdasarkan prioritas faktor. 3. Menjadi bahan kajian penelitian berikutnya terkait topik faktor seleksi pemilihan bandar udara oleh maskapai Low Cost Carrier (LCC). I.5 Ruang Lingkup Penelitian I.5.1 Ruang Lingkup Wilayah Ruang lingkup wilayah studi merujuk pada provinsi kepulauan yang tergabung ke dalam Badan Kerja Sama Daerah Kepulauan (BKSDK). Berikut perbandingannya: Tabel I.5 Perbandingan jumlah pelayanan simpul udara Provinsi BKSDK (BPS, 2021 dan Ditjenhubud, 2019) Kep.