Hasil Ringkasan
19 Bab III Metode Penelitian Penelitian terhadap beberapa jenis Elang di Kawasan Panaruban menggunakan metode deskriptif dengan cara observasi langsung di lapangan yang dilakukan antara bulan Mei hingga bulan Agustus 2006. Penelitian diawali dengan melihat keberadaan jenis-jenis elang yang sering ditemukan kehadirannya. Pengelompokkan tipe habitat dengan cara mengkategorikan tipe-tipe habitat yang diperkirakan sering dipergunakan Elang untuk melakukan aktivitas hariannya. Pengamatan terhadap sarang dilakukan untuk mengetahui daerah teritori jenis Elang. Titik lokasi pengamatan ditentukan berdasarkan kriteria yang menguntungkan bagi pengamat (Lampiran A) dan mencatat titik koordinatnya dengan menggunakan GPS. Pencatatan data cuaca dilakukan untuk mengetahui kondisi cuaca dengan mengacu pada kriteria cuaca (Lampiran B) dan mengetahui hubungannya terhadap kehadiran Elang di lokasi pengamatan. 3.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di kawasan Panaruban yang berada di kaki Gunung Tangkuban Perahu Jawa Barat. Daerah ini merupakan salah satu kawasan yang sangat penting bagi keberadaan keanekaragaman hayati di Indonesia maupun bagi kehidupan masyarakat sekitarnya (Anonim, 2004). Kawasan Panaruban terletak antara 107º37’56” BT dan 6º44’18” LS yang secara administratif masuk ke dalam Kecamatan Sagala Herang, Kabupaten Subang (Gambar III.1). Gambar III.1 Lansekap lokasi penelitian (Kawasan Panaruban) 20 Daerah Panaruban merupakan kawasan yang penting secara ekologi karena memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi serta merupakan salah satu area hutan hujan tropis pegunungan yang masih tersisa di Pulau Jawa. Keberadaan kawasan tersebut semakin terdesak oleh kehadiran dan pertumbuhan populasi manusia (Anonim, 2004). Hasil wawancara dengan Wakil Kepala PTP VIII Bapak Aang memaparkan bahwa kawasan Panaruban berfungsi sebagai daerah tangkapan air (catchment area) sehingga pemerintah provinsi Jawa Barat menetapkan daerah tersebut sebagai kawasan konservasi melalui Peraturan Daerah No. 12 Tahun 2002. Kawasan konservasi dengan luas wilayah ±500 Ha ini, awalnya merupakan hutan alam yang pada tahun 1937 sekitar 200 Ha diubah menjadi perkebunan teh. Dari 300 Ha hutan alami yang tersisa, terdapat 100 Ha lahan yang kurang produktif sehingga pada tahun 1996/1997 pemerintah melakukan optimalisasi lahan dengan menjadikannya sebagai hutan produksi yang pada saat ini luasannya mengalami penyusutan karena semakin terdesak oleh konversi lahan berupa lahan pertanian. Bapak Aang juga menyatakan bahwa perkebunan teh yang produktif memiliki luas sekitar 50 Ha dan sisanya yang berbatasan dengan hutan alami dibiarkan tidak produktif. Perkebunan teh yang tidak produktif dijadikan daerah penyangga (buffer zone) dengan beberapa tujuan, selain untuk menahan atau mengurangi keluar masuknya predator dan penyakit dari hutan alam menuju kebun teh ataupun sebaliknya juga sebagai tempat penyerapan air dan mengurangi masuknya penjarah kayu ke hutan alam. Selain tiga habitat yang berada di dalam kawasan konservasi, terdapat juga area di luar kawasan konservasi yang dikategorikan sebagai tipe habitat pertanian yang merupakan area sawah dan perkebunan masyarakat yang berada di sekitar perkampungan penduduk yang luasan totalnya sekitar 50 Ha. 21 3.2 Penentuan Titik Lokasi Pengamatan Pengamatan terhadap jenis Elang dilakukan di kawasan Panaruban pada satu titik pengamatan. Menurut Morton & Ryder (1975 dalamMosherdkk., 1987), penentuan lokasi pengamatan pada satu titik pengamatan biasa dilakukan oleh para pengamat hewan pemangsa (raptor) dengan kriteria tertentu yang menguntungkan pengamat (Lampiran B).