24 BAB IV Hasil dan Analisis Pada bagian ini diperlihatkan hasil pengolahan data mikrotremor dari beberapa stasiun yang tersebar di sekitar Gunung Merapi dan Gunung Merbabu dengan waktu perekaman selama ± 1 jam. Hasil pengolahan data dibagi menjadi 2 bagian, yang pertama merupakan hasil pengolahan data HVSR dan yang kedua merupakan hasil inversi yang telah dilakukan terhadap kurva HVSR. Kedua tahapan tersebut dilakukan untuk dapat mengestimasi sebaran nilai Vs di sekitar Gunung Merapi dan Merbabu. Pengolahan data HVSR menghasilkan 2 parameter utama, yaitu nilai frekuensi dominan (f0) dan amplifikasi (A0). Inversi terhadap kurva HVSR menghasilkan kurva eliptisitas dan profil 1D di setiap stasiun seismik. Selanjutnya dilakukan perhitungan nilai Vs rata-rata hingga kedalaman 30 m (Vs30) pada setiap stasiun seismik DOMERAPI. Ketebalan endapan sedimen/vulkanik dapat diestimasi berdasarkan sebaran nilai Vs30 di sekitar Gunung Merapi dan Merbabu. IV.1 Frekuensi Dominan dan Amplifikasi Salah satu parameter yang dihasilkan dalam pengolahan terhadap HVSR adalah nilai frekuensi dominan, dimana frekuensi dominan merupakan frekuensi yang kerap muncul dan di tandai dengan nilai amplitudo yang tinggi. Kemiripan bentuk hasil dari kurva HVSR pada beberapa titik pengukuran dapat terjadi karena kondisi geologi daerah penelitian yang tidak begitu jauh berbeda. Kriteria reliabilitas pada kurva HVSR mengacu pada standar yang telah ditetapkan oleh SESAME European Research Project. Hasil pengolahan data dengan menggunakan bantuan perangkat lunak GEOPSY menghasilkan nilai frekuensi dominan pada sumbu x dan faktor amplifikasi pada sumbu y. Dalam pengukuran mikrotremor HVSR, terdapat beberapa kriteria bentuk dari kurva umum HVSR, di antaranya adalah kurva dengan tipe single peak/clear peak, unclear low frequency peak, broad peak, multiple peaks, kurva dengan 2 puncak (2 peaks cases), dan flat H/V curve (Bard, P., and SESAME-Team, 2004). Adanya variasi bentuk kurva pada HVSR dapat disebabkan karena adanya variasi kontras 25 impedansi, struktur geologi bawah permukaan, kekompakan hingga tingkat kekerasan batuan, dan lain sebagainya. Dalam penelitian ini, terdapat beberapa jenis kurva yang mengacu pada kriteria umum kurva H/V oleh SESAME-Team seperti yang ditunjukkan pada Gambar IV.1 di bawah ini. (a) (b) (c) (d) Gambar VI.1 Jenis kurva yang terdapat dalam penelitian ini Dalam penelitian ini terdapat beberapa jenis kurva yang dihasilkan, yaitu : (a) Kurva dengan tipe clear peak/single peak. Kurva ini merupakan kurva ideal di dalam pengolahan data mikrotremor karena reabilitas data kurva ini 26 memiliki verifikasi yang terpenuhi berdasarkan SESAME-Team, sehingga frekuensi natural yang dihasilkan pada kurva ini dapat dipercayai sebagai frekuensi natural pada site tersebut. (b) Kurva dengan tipe multiple peaks. Pada Gambar IV.1 bagian (b) terlihat seperti adanya 2 puncak kurva dengan nilai frekuensi sebesar ~1,5 Hz dan ~6,0 Hz dengan amplitudo yang tidak jauh berbeda. Dalam gambar tersebut puncak yang dipilih ialah puncak dengan nilai frekuensi yang lebih tinggi, yaitu ~6 Hz. Hal ini dapat terjadi dengan menganalisis titik pengamatan di sekitarnya, maupun kondisi topografinya. Jika titik pengamatan berada pada elevasi yang cukup tinggi, bisa saja hal tersebut yang mengakibatkan frekuensinya menjadi tinggi. (c) Kurva dengan tipe 2 peaks cases. (d) Kurva dengan tipe flat H/V curve. Kanai (1983) telah membuat klasifikasi jenis tanah berdasarkan nilai frekuensi dominan yang dapat dilihat pada Tabel IV.1 di bawah ini: Tabel IV.1 Klasifikasi tanah oleh Kanai berdasarkan nilai frekuensi dominan Frekuensi (Hz) Klasifikasi Klasifikasi Kanai Deskripsi Tipe Jenis 6,6-20 IV I Batuan tersier atau yang lebih tua (hard sandy, gravel) Ketebalan sedimen sangat tipis, didominasi batuan keras 4-10 II Batuan aluvial (sandy gravel, sandy hard, clay, loam) Ketebalan sedimen dalam kategori menengah (5-10 m) 2,5-4 III III Batuan aluvial (sandy gravel, sandy hard, clay, loam) Ketebalan sedimen kategori tebal (10-30 m) 30m) I 27 Gambar VI.2 Peta sebaran nilai frekuensi dominan masing-masing stasiun seismik di sekitar Gunung Merapi dan Merbabu Gambar IV.2 menyajikan peta sebaran nilai frekuensi dominan di sekitar wilayah Gunung Merapi dan Merbabu. Berdasarkan peta sebaran nilai frekuensi dominan, dapat terlihat bahwa sebagian besar wilayah penelitian memiliki nilai frekuensi yang relatif rendah-menengah hingga tinggi dengan nilai frekuensi dominan yang bervariasi, berkisar antara 0,6 – 14,0 Hz. Daerah utara Gn. Merapi memiliki nilai frekuensi dominan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan daerah bagian selatan. Namun di beberapa titik pengamatan juga terlihat adanya tren nilai frekuensi dominan yang meninggi, seperti di bagian tengah atau titik perpotongan antara Gn. Merapi dan Merbabu, dan di sebagian wilayah pada bagian selatan. Dari peta sebaran nilai frekuensi dominan, dapat terlihat bahwa secara umum Gn. Merapi dan Merbabu memiliki nilai frekuensi dominan yang semakin meninggi ke arah timur. 28 Sebaran nilai frekuensi dominan yang bervariasi dapat dipengaruhi oleh kondisi litologi maupun topografi daerah penelitian. Dapat terlihat bahwa pada wilayah yang berada di dataran rendah dari kaki Gunung Merapi memiliki nilai frekuensi dominan yang cenderung lebih rendah. Stasiun ME04 merupakan stasiun dengan nilai frekuensi dominan tertinggi, yaitu 14,0 Hz, tepatnya berada di wilayah Kebrok arah utara dari Gn. Merapi dan Merbabu. dengan nilai sebesar 14,0 Hz. Mengacu pada hasil pengamatan yang telah dilakukan oleh Parolai dan Milkereit (2001) yang mengemukakan bahwa nilai frekuensi dominan rendah bersesuaian dengan lapisan batuan dasar yang dalam. Artinya, wilayah dengan frekuensi dominan yang rendah memiliki ketebalan endapan sedimen yang cukup tebal, hingga mencapai >30 meter (berdasarkan klasifikasi tanah oleh Kanai tahun 1983). Sedangkan wilayah dengan nilai frekuensi dominan yang tinggi dapat diklasifikasikan sedimen dengan endapan yang tergolong tipis. Sehingga dalam penelitian ini, diperkirakan ketebalan endapan vulkanik semakin menipis ke arah timur dari Gn. Merapi dan Merbabu karena memiliki nilai frekuensi dominan yang semakin meninggi ke arah timur, dengan klasifikasi jenis batuan tersier atau yang lebih tua dan di dominasi oleh batuan keras. Sementara beberapa titik pengamatan stasiun DOMERAPI lainnya memiliki ketebalan endapan sedimen dengan kategori menengah, tebal dan sangat tebal, dengan nilai frekuensi berkisar antara 0-10 Hz dan dapat dikategorikan sebagai batuan aluvial dengan jenis batuan sandy gravel, sandy hard, clay, loam, sedimentasi delta, top soil dan lumpur. 29 Gambar VI.3 Peta amplifikasi masing-masing stasiun seismik di sekitar Gunung Merapi dan Merbabu Faktor amplifikasi yang dihasilkan pada suatu lokasi pengamatan dapat dipengaruhi oleh kecepatan gelombang dan berhubungan dengan tingkat kompaksi atau kepadatan batuan. Batuan yang tidak terkompaksi dengan baik akan meningkatkan nilai faktor amplifikasi. Hal tersebut dapat dikarenakan oleh sedimen tanah yang lunak, yang dapat memperlambat penjalaran gelombang yang merambat di lokasi tersebut. Semakin besar nilai faktor amplifikasi di suatu daerah maka semakin besar pula potensi kerusakan bangunan akibat gempa apabila terjadi guncangan di wilayah tersebut. Marjiyono (2010) membagi zona amplifikasi tanah menjadi 4 keterangan resiko, yaitu: - Resiko rendah dengan nilai amplifikasi 0 < A0 < 3 kali - Resiko sedang dengan nilai amplifikasi 3 < A0 < 6 kali - Resiko tinggi dengan nilai amplifikasi 6< A0 < 9 kali - Resiko sangat tinggi dengan nilai amplifikasi > 9 kali 30 Pada Gambar IV.3 dapat terlihat bahwa sebagian besar wilayah pengamatan memiliki nilai faktor amplifikasi pada rentang 0-4, yang diperkirakan dampak yang ditimbulkan memiliki resiko rendah hingga sedang apabila terjadi suatu guncangan gempa bumi. Sedangkan pada bagian barat laut, timur laut dan di beberapa titik pada bagian tenggara memiliki nilai amplifikasi berkisar antara 5-8. Dengan kata lain, tren faktor amplifikasi semakin meninggi ke arah barat dari Gn. Merapi dan Merbabu.