13 Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Selulosa Selulosa pertama kali ditemukan pada tahun 1838 oleh ahli kimia Perancis Anselme Payen. Ribuan tahun sebelum ditemukan, selulosa digunakan dalam bentuk kayu, kapas, dan serat tanaman lainnya yang digunakan sebagai sumber energi, bahan bangunan, dan bahan pakaian (Klemm dkk., 2005). Dari sudut pandang saat ini, selulosa adalah polimer organik yang sangat umum dengan total produksi sekitar 1,5 u 10 12 ton per tahun dan dianggap sebagai sumber bahan baku terbarukan (renewable) dan berkelanjutan (sustainable) untuk produk-produk biocompatible dan ramah lingkungan (Kaplan, 1998). Selulosa adalah polimer rantai lurus dari molekul cincin glukosa. Unit ulangnya terdiri dari dua cincin glukosa anhidrat yang terhubung melalui atom oksigen yang terikat secara kovalen pada atom C1 dari satu cincin glukosa dan atom C4 dari cincin glukosa yang berdampingan sehingga disebut ikatan E-1,4-glukosidik (Gambar II.1) (Moon dkk., 2011). Struktur molekul untuk selulosa dapat dituliskan sebagai (C 6H10O5)n, n adalah derajat polimerisasi (DP) yang nilainya tergantung pada sumber dan pengolahan bahan baku selulosa (Samir dkk., 2005; Klemm dkk., 2005). Tabel II.1 menyajikan derajat polimerisasi beberapa jenis selulosa (Zugenmaier, 2008). Gambar II.1 Struktur molekul selulosa (diambil dari Wertz dkk., 2010) Hingga saat ini terdapat empat jalur berbeda untuk memperoleh selulosa (Gambar II.2). Jalur yang paling umum adalah produksi selulosa dalam tanaman melalui 14 suatu proses biosintesis yang mengubah CO2 dan H2O menjadi selulosa. Dalam serat kapas, selulosa tersedia dalam bentuk hampir murni. Sebaliknya, selulosa kayu membentuk bahan komposit alami dengan lignin dan hemiselulosa, sehingga untuk memperoleh selulosa yang relatif murni diperlukan proses pemisahan dan pemurnian. Selain tanaman, beberapa bakteri, alga, dan jamur tertentu dapat pula menghasilkan selulosa dengan jalur biosintesis yang dimulai dari gula atau sumber karbon lainnya. Tabel II.1 Derajat polimerisasi beberapa selulosa (Zugenmaier, 2008) Selulosa Derajat Polimerisasi Kayu 6.000–10.000 Pulp 500–2.000 Kapas 10.000–15.000 Kapas yang telah diolah 1.000–5.000 Alga 25.000 Bakterial 4.000–6.000 Rami 10.000 Rayon 300–500 Selofan 300 Gambar II.2 Skema jalur pembentukan selulosa (diambil dari Klemm dkk., 2005) 15 Akhir-akhir ini perkembangan yang cukup penting adalah sintesis selulosa secara in vitro baik dengan bantuan enzim selulase maupun kemosintesis. Sintesis selulosa terkatalisis enzim selulase yang pertama kali dilaporkan adalah yang berbasis selubiosil fluorida (Kobayashi dkk., 2001), sedangkan kemosintesis selulosa dilakukan melalui polimerisasi pembukaan cincin D-glukosa pivalat tersubstitusi (Nakatsubo dkk., 1996). Pada proses biosintesis, gaya van der Waals dan ikatan hidrogen antara gugus hidroksil dan atom oksigen pada molekul yang berdampingan menghasilkan tumpukan paralel beberapa rantai selulosa membentuk suatu elementary fibril yang selanjutnya bergabung membentuk suatu mikrofibril dengan ukuran yang lebih besar (diameter sekitar 5–50 nm dan panjang beberapa mikrometer). Jaringan ikatan hidrogen intra- dan antar-rantai menyebabkan selulosa termasuk polimer yang relatif stabil dan memiliki axial stiffness yang tinggi. Fibril selulosa inilah yang menjadi fasa penguat bagi pohon, tanaman, beberapa hewan laut (tunicate), alga, dan bakteri (beberapa bakteri mengeluarkan fibril selulosa untuk membentuk stuktur jaringan eksternal). Dalam fibril selulosa terdapat daerah rantai selulosa yang tersusun dengan struktur sangat teratur (kristalin) dan daerah yang tidak teratur (amorf) seperti diperlihatkan pada gambar II.3, dengan demikian selulosa merupakan polimer semikristalin (Moon dkk., 2011). Gambar II.3 Skema hirarkis fibril selulosa dari molekul selulosa (diambil dari Moon dkk., 2011) 16 Jumlah relatif daerah kristalin pada selulosa alami sangat bervariasi tergantung pada sumbernya. Selulosa alami pada umumnya mempunyai kristalinitas lebih tinggi daripada selulosa buatan (Tabel II.2). Derajat kristalinitas dapat mencapai nilai yang sangat tinggi, khususnya pada alga dan tunicate (Wertz dkk., 2010). Tabel II.2 Kristalinitas selulosa alami dan buatan yang diperoleh secara XRD (Wertz dkk., 2010) Sumber Selulosa Kristalinitas Tanaman tingkat tinggi 50–75 Alga 90 Tunicate 80 Bakterial 40–63 Serat buatan 25–40 Terdapat beberapa struktur polimorf untuk selulosa kristalin yaitu selulosa I, II, III, dan IV. Dengan hanya sedikit pengecualian, semua selulosa alami terdiri dari selulosa I. Kisi kristalin yang khas untuk hampir seluruh selulosa alami dikesankan dari pola difraksi sinar-X-nya. Pola yang khas ini berasal dari struktur yang dirujuk sebagai seluosa I. Akan tetapi, dengan perkembangan teknik investigasi yang mutakhir, diketahui bahwa selulosa I pada kenyataannya merupakan suatu komposit dari dua allomorf yang dinamai Ia dan Ib dengan komposisi yang bergantung pada sumber selulosa. Telah diketahui pula bahwa fasa Ia bersifat metastabil dan dapat diubah menjadi fasa Ib yang secara termodinamika lebih stabil melalui perlakukan hidrotermal (~260qC) dalam larutan alkalin (Moon dkk., 2011). Selulosa I yang dilarutkan dan diendapkan kembali (regenerasi), atau diolah dengan alkalin pekat sebagai reagen penggembung (swelling agent) (~20%) dan dicuci dengan air (merserisasi) dapat berubah menjadi selulosa II. Selulosa II lebih stabil secara termodinamika dibandingkan selulosa I. Selulosa III terbentuk melalui penggembungan (swelling) selulosa I atau II dalam amina atau amonia cair, dan dilanjutkan dengan penghilangan reagen penggembung secara anhidrat. Selulosa III merupakan polimorf yang cukup stabil dengan sub-golongan III I dan IIIII tergantung dari bahan awalnya apakah selulosa I atau II. Selulosa IV biasanya dibentuk melalui pemanasan (annealing) selulosa III dalam gliserol, terdiri dari 17 sub-golongan IVI dan IVII tergantung dari bahan awalnya apakah selulosa IIII atau III II (Wertz dkk., 2010). Konversi polimorf selulosa diperlihatkan pada skema dalam Gambar II.4. Pembahasan selanjutnya difokuskan pada struktur polimorf selulosa I dan II. Gambar II.4 Skema konversi polimorfi selulosa (diambil dari Kroon-Batenburg dkk., 1996) II.1.1 Selulosa I Selulosa I mempunyai dua allomorf yaitu suatu struktur triklinik (ID) dan monoklinik (IE). Orientasi relatif satuan sel triklinik terhadap monoklinik diperlihatkan dalam Gambar II.5a. Struktur ID mempunyai fasa P1, mengandung satu rantai selulosa per satuan sel, dengan parameter satuan sel a = 0,672 nm; b = 0,596 nm; c = 1,040 nm; D = 118,08q; E = 114,8q; dan J = 80,375q. Strukur IE mempunyai fasa P2 1, mengandung dua rantai selulosa per satuan sel, dengan parameter satuan sel a = 0,778 nm; b = 0,820 nm; c = 1,038 nm; dan J = 96,5q. Tiga bidang kisi dengan nilai pendekatan untuk d-spacings 0,39 nm; 0,53 nm; dan 0,61 nm berturut-turut berhubungan dengan bidang kisi ID (110) t, (010)t, dan (100)t dan dengan bidang kisi IE (200) m, (100)m, dan (ss$r) m. Huruf subskrip t dan m berturut-turut menunjukkan triklinik dan monoklinik (Sugiyama dkk., 1991; 18 Nishiyama dkk., 2002; Nishiyama dkk., 2003). Gambar II.5b dan II.5c berturut- turut memperlihatkan ilustrasi skematik rantai selulosa sepanjang bidang (ss$r) pada bangun triklinik untuk selulosa Ia dan sepanjang sumbu b pada bangun monoklinik untuk selulosa Ib. Proyeksi rantai selulosa dalam satuan sel dengan koordinat yang berbeda untuk selulosa Ia dan selulosa Ib dilakukan oleh Nishiyama dkk. (2003) seperti diperlihatkan pada Gambar II.6a dan II.6b. (a) (b) (c) Gambar II.5 Skema sel satuan untuk selulosa Ia (triklinik) dan Ib (monoklinik). (a) Orientasi relatif sel satuan triklinik terhadap monoklinik. Gambaran skematis untuk lima rantai selulosa (b) sepanjang bidang (ss$r) pada bangun triklinik, nampak satu sel satuan berisi satu rantai selulosa, (c) sepanjang sumbu b pada bangun monoklinik, nampak satu sel satuan berisi dua rantai selulosa (diambil dari Sugiyama dkk., 1991) II.1.2 Selulosa II Seperti telah dibahas sebelumnya, proses merserisasi melalui penggembungan (swelling) intrakristalin suatu selulosa I dalam NaOH, pencucian, dan pengeringan akan menghasilkan selulosa II. Selulosa II mengkristal dalam suatu satuan sel monoklinik yang mengandung dua rantai selulosa, sehingga membutuhkan fasa ruang P2 1. Rantai selulosa menempati sudut dan pusat satuan sel dengan arah diagonal. Gambar II.6c memperlihatkan proyeksi rantai selulosa II pada bidang a- b. Dikarenakan selulosa II umumnya diperoleh dari selulosa I melalui merserasi atau regenerasi, maka parameter satuan sel dapat berbeda-beda seperti ditunjukkan pada Tabel II.3 (O’Sullivan, 1997).