1 Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Kejadian gempa besar umumnya diikuti oleh rangkaian gempa susulan (aftershock). Studi pada sejumlah gempa besar menunjukkan bahwa sebagian besar aftershock terdistribusi di luar zona slip coseismic tinggi (Das dan Henry, 2003; Ito dkk., 2004) atau di zona transisi slip tinggi ke rendah (Rietbrock dkk., 2012). Selain terjadi di sepanjang bidang sesar gempa utama, aftershock juga terjadi di dalam volume seismogenik di sekitar bidang sesar (Asano dkk., 2011; Yukutake dan Iio, 2017). Penelitian lain juga menunjukkan bahwa aftershock dapat terjadi melalui reaktivasi sesar di sekitar bidang sesar utama (Daniarsyad dkk., 2021; Sahara dkk., 2021). Mengetahui proses mekanisme pemicuan rangkaian aftershock dari sebuah gempa besar menjadi topik yang menarik untuk dibahas. Di zona subduksi yang menjadi sumber gempa-gempa besar dan beragam proses seismik dan aseismik, telah banyak studi yang membahas mekanisme terjadinya aftershock. Perubahan Coulomb stress statik yang dihasilkan oleh rupture coseismic gempa utama menjadi mekanisme utama yang memicu rangkaian aftershock di sepanjang bidang rupture maupun di zona outer-rise (Lin dan Stein, 2004; Sladen dan Trevisan, 2018). Namun obervasi dan studi teoritis terbaru menunjukkan bahwa afterslip juga memberikan peran penting dalam mekanisme pembangkitan aftershock (Perfettini dkk., 2018). Misalnya, distribusi aftershock gempa Ekuador Mw 7,8 tahun 2016 yang menunjukkan korelasi linier antara peningkatan jumlah kumulatif aftershock dengan kumulatif momen postseismic, mengindikasikan evolusi temporal aftershock yang dipicu oleh afterslip (Agurto- Detzel dkk., 2019). Di zona megathrust Sumatra, keterkaitan tersebut ditemukan pada gempa Nias-Simeulue Mw 8,7 tahun 2005 (Hsu dkk., 2006). Bahkan, studi lain menunjukkan rangkaian aftershock yang dipicu oleh kombinasi antara perubahan stress statik akibat gempa utama dan deformasi postseismic awal (Chaves dkk., 2017). Selain itu, aftershock juga dapat terjadi pada struktur splay fault di zona megathrust yang diaktivasi oleh aliran fluida (Waldhauser dkk., 2012). 2 Gempa Mentawai Mw 7,8 terjadi pada tanggal 25 Oktober 2010 di segmen Mentawai-Pagai zona megathrust Sumatra. Gempa ini menghasilkan gelombang tsunami besar yang menerjang Kepulauan Mentawai dengan run-up maksimum mencapai ~16,9 m di Pulau Pagai Selatan (Hill dkk., 2012). Gelombang tsunami yang lebih besar daripada yang diperkirakan berdasarkan magnitudo gempa memasukkan gempa Mentawai 2010 dalam kategori tsunami earthquake (Kanamori, 1972). Gempa ini melengkapi rangkaian rupture di segmen Mentawai setelah gempa Bengkulu Mw 8,4 dan Mw 7,9 yang terjadi tahun 2007. Rupture coseismic gempa utama berada di bagian dangkal zona megathrust (Gambar I.1), di area updip dari zona rupture gempa Bengkulu tahun 2007 yang terdistribusi di kedalaman menengah (Konca dkk., 2008; Tsang dkk., 2016). Telah banyak penelitian yang membahas gempa Mentawai 2010, antara lain analisis proses rupture gempa utama (mainshock) (Bilek dkk., 2011; Lay dkk., 2011; Newman dkk., 2011; Hill dkk., 2012; Satake dkk., 2013; Yue dkk., 2014; Priyobudi, 2015), relokasi gempa susulan (aftershock) (Bilek dkk., 2011), interpretasi citra seismik refleksi dan batimetri di zona rupture gempa utama (Singh dkk., 2011; Hananto dkk., 2020), serta identifikasi afterslip yang mengikuti gempa utama (Feng dkk., 2016). Namun, belum terdapat penelitian yang secara komprehensif membahas mekanisme sumber serta pola distribusi aftershock gempa Mentawai 2010. Bilek dkk. (2011) melakukan relokasi pada aftershock awal gempa Mentawai 2010 dengan menggunakan data tambahan fase kedalaman gelombang seismik dan menghasilkan dua kluster aftershock, di bagian dangkal dekat palung (10–20 km) dan di zona megathrust yang lebih dalam (20–30 km) (Gambar I.2d). Namun jumlah aftershock yang sedikit dan tidak adanya solusi mekanisme sumber membatasi interpretasi pada rangkaian aftershock tersebut. Solusi mekanisme sumber dari katalog GCMT hanya tersedia untuk sebagian aftershock gempa Mentawai 2010 yang mungkin disebabkan oleh penggunaan data teleseismik dalam inversi sehingga tidak mampu mengidentifikasi gempa dengan magnitudo yang lebih kecil. Selain itu, penggunaan frekuensi yang relatif rendah (~0.006–0.025 Hz) pada prosedur inversi GCMT (Ekstrom dkk., 2012) menurunkan tingkat presisi kedalaman centroid gempa. Lokasi hiposenter dari katalog GCMT dan USGS 3 memberikan perbedaan yang signifikan yang dapat disebabkan oleh bias sistematik dan penggunaan fixed depth (Gambar I.2a, b). Meskipun seismisitas di Mentawai telah direlokasi oleh beberapa studi baik menggunakan data lokal maupun teleseismik (Bilek dkk., 2011; Nugraha dkk., 2018; Engdahl dkk., 2020), lokasi hiposenter gempa di antara katalog tersebut masih bervariasi secara signifikan (Gambar I.2). Hal tersebut membatasi pemahaman tentang pola distribusi aftershock serta kaitannya dengan proses coseismic dan postseismic gempa Mentawai 2010. Selain itu, lokasi hiposenter yang kurang presisi juga menghalangi interpretasi geometri sesar yang mungkin berperan dalam mengontrol perilaku rupture gempa utama. Gambar I.1 Peta zona megathrust Mentawai sebagai area penelitian. Distribusi aftershock M ≥ 4,9 gempa dari USGS selama periode 4 tahun ditunjukkan oleh lingkaran warna merah.