Hasil Ringkasan
1 Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Pemerintah menetapkan timah sebagai bahan galian strategis pada tahun 1980 dengan menerbitkan PP no. 27 tahun 1980 tentang Penggolongan Bahan-Bahan Galian. Selanjutnya pada tahun 1999 terjadi perubahan dengan berlakunya UU no. 22/1999 tentang pemerintahan daerah dan UU no. 25/1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Peraturan ini mengawali diberlakukannya era otonomi daerah. Kemudian Kementerian Perindustrian dan Perdagangan menerbitkan Kepmenperindag No. 146/MPP/Kep/4/1999 tentang ketentuan umum dibidang ekspor yang menyebutkan bahwa timah bukan lagi komoditas strategis yang penambangan dan perdagangannya harus diawasi oleh pemerintah pusat sehingga tidak lagi menjadi barang strategis Negara untuk barang ekspor (Wijayanto, 2017). Sejalan dengan diberlakukannya peraturan-peraturan tersebut maka Pemerintah Daerah Tingkat II mulai membuat kebijakan-kebijakan di daerahnya sendiri. Tahun 2001, Pemerintah Kabupaten Bangka mengeluarkan Perda No. 6 tahun 2001 tentang pengelolaan pertambangan umum. Peraturan ini membuka kesempatan kepada masyarakat untuk melakukan penambangan (pasal 24). Perubahan kebijakan ini disikapi oleh masyarakat di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dengan melakukan kegiatan penambangan timah beramai-ramai di darat. Secara umum, kegiatan tersebut dilakukan di lokasi-lokasi penambangan milik PT. Timah Tbk. Penambangan tersebut pada akhirnya berkembang ke lokasi- lokasi cadangan timah aluvial darat milik PT. Timah Tbk. (Sujitno, 2007). Sejak itu penambangan timah oleh masyarakat semakin banyak dengan jumlah mencapai ribuan unit tambang. Sehubungan dengan jumlah unit penambangan timah oleh masyarakat di darat ini, tidak ada angka yang pasti karena penambangan oleh masyarakat tidak dapat dipastikan kesinambungannnya dan cenderung berpindah-pindah atau tidak menetap dalam waktu yang lama di suatu tempat.