1 Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Sungai berperan sebagai unsur dalam berlangsungnya siklus hidrologi yaitu mengalirkan air dari Daerah Aliran Sungai (DAS) ke laut. DAS merupakan suatu ekosistem dimana organisme dan lingkungannya memiliki ketergantungan satu dengan yang lain dalam setiap komponennya. Gangguan terhadap salah satu komponen ekosistem akan dirasakan oleh komponen lainnya dengan sifat dampak yang berantai. Aktivitas tata guna lahan menjadi sangat erat hubungannya dengan perubahan keadaan suatu DAS karena semakin meningkatnya kondisi pembangunan membutuhkan sumber daya alam yang semakin besar. Hal ini akan merubah tipe dan proporsi tutupan lahan yang selanjutnya akan mempengaruhi hidrologi suatu kawasan (Ardiansyah dkk, 2013). DAS dapat dibagi menjadi sub DAS yang berfungsi menerima air hujan dan mengalirkannya melalui anak sungai ke sungai utama (PP No 37 tentang Pengelolaan DAS, Pasal 1). Sungai Landak merupakan salah satu sub-DAS Kapuas yang berada di wilayah pesisir Provinsi Kalimantan Barat yang mengalir dari utara ke arah barat daya Pulau Kalimantan. Sungai Landak dengan panjang aliran yaitu sekitar 400 km melintasi tiga kabupaten/kota yakni Kabupaten Landak, Kabupaten Kubu Raya dan Kota Pontianak yang memberikan manfaat bagi penduduk di sekitarnya, antara lain sebagai sarana transportasi, sumber air pertanian, dan sumber air bersih. Ketergantungan masyarakat untuk menggunakan air Sungai Landak sebagai pemenuhan kebutuhan akan air baku sehari-hari cukup berlimpah, namun dari segi kualitas sumber air baku Kota Pontianak telah tercemar (Fitri, 2012). Pencemaran air Sungai Landak yang terjadi merupakan proses yang komplek sebagai representasi dampak dari interaksi antara zat pencemar, hidrogeomorfologi sungai dan aktivitas manusia (Hindriyani dkk, 2013). Sumber pencemar dari bantaran Sungai Landak dapat berasal dari limbah domestik, aktivitas perdagangan dan jasa, limbah industri besar dan kecil serta limpasan perkotaan. Selain itu, penggunaan lahan yang tidak seimbang (ladang berpindah dan permukiman) yang 2 tidak memperhatikan kondisi alam dan kestabilan aliran sungai dapat menjadi salah penyebab pencemaran di sungai. Beban pencemar ini akan terus meningkat sehingga dapat berpengaruh terhadap air baku Kota Pontianak dan Kabupaten Kubu Raya yang menggunakan air Sungai Landak bagian hilir. Hasil pemantauan kualitas air yang dirilis oleh Balai Wilayah Sungai Kalimantan (BWSK) I dari tahun 2017 hingga 2020, beberapa titik Sungai Landak belum dapat memenuhi baku mutu air yang telah ditetapkan dan secara keseluruhan berada di kisaran antara tercemar ringan di hulu dan sedikit berpindah ke tercemar sedang di hilir berdasarkan indeks pencemaran sungai. Selain itu, dari skenario penelitian yang dilakukan oleh Purnaini (2019), bahwa saat kondisi pasang dan surut sebaran biological oxygen demand (BOD) (mg/l) di Sungai Kapuas Kecil mengalami lonjakan cukup signifikan setelah beban pencemaran dari Sungai Landak masuk ke segmen tersebut dan BOD mulai meningkat dari titik pertemuan Sungai Kapuas Kecil dengan Sungai Landak. Sedangkan skenario tanpa Sungai Landak menampilkan sebaran konsentrasi BOD (mg/l) yang relatif lebih rendah, sehingga secara signifikan load dari Sungai Landak telah tercemar. Oleh karena itu, diperlukan saran strategi pengendalian terhadap pencemaran Sungai Landak bagian hilir yang akan menerima pencemaran dari hulu untuk menghindari kerusakan yang lebih besar terhadap lingkungan perairan sekitar. Salah satu strategi yang dapat ditempuh adalah melakukan pemodelan kualitas air Sungai Landak bagian hilir dengan menganalisis beban pencemar untuk menetapkan besar daya tampung beban pencemaran dan kapasitas asimilasinya. Hasil dari pemodelan beban pencemar tersebut akan dilakukan dengan berbagai skenario pencemaran sebagai bentuk pengelolaan dampak lingkungan dan dapat memberikan informasi dasar dan dukungan teknik bagi lembaga pemerintah yang mengelola lingkungan untuk membuat keputusan yang tepat (Wang dkk, 2013). Simulasi dari berbagai skenario akan mendapatkan total beban pencemaran sungai yang apabila masuk lebih besar dibandingkan kapasitas beban suatu perairan menunjukkan kapasitas asimilasi berada dalam kondisi telah terlampaui. 3 Kapasitas asimilasi air bisa diketahui dengan pemodelan kualitas air, termasuk simulasi kualitas air dan pembentukan model matematika. Mengingat kurangnya data dan kompleksitas dalam membuat model matematika, maka model kualitas air dipilih untuk memprediksi beban pencemar air untuk studi tersebut. Terdapat berbagai model kualitas air yang telah dikembangkan, seperti SWAT, WASP, QUALs, MIKE 11, HSPF, CE-QUAL-W2, EFDC dan lain-lain. Seluruh model tersebut memiliki kelebihan dan keterbatasan untuk situasi tertentu (Gao dan Li, 2014). Model WASP 8.32 (Water Quality Analysis Program versi 8.32) salah satu dari beberapa model kualitas air merupakan software terbaru yang didesain agar mampu mengatasi keterbatasan metode neraca massa dalam penetapan daya tampung beban pencemaran. Selain itu, model mampu untuk menganalisa dan memprediksi beban pencemar yang berasal dari fenomena alam maupun polutan yang dibuat oleh manusia dalam berbagai macam penentuan manajemen polusi air. Model WASP telah dikembangkan untuk berbagai kajian di antaranya Shabani dkk (2021) melakukan penelitian dengan menggabungkan HEC-RAS 2D dan WASP untuk mensimulasikan sedimen akibat banjir dan transportasi kontaminan di lokasi yang terkontaminasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua model dapat dikombinasikan untuk mensimulasikan parameter sedimen, racun, dan kualitas air pada kondisi banjir. Diikuti Larico dan Medina (2019) yaitu melakukan penelitian dengan memodelkan kualitas air chlorophyll-a, BOD, NH 3, NO3, dan PO4 untuk kontrol eutrofikasi di Waduk El Pane menggunakan WASP8 yang dimana dapat merepresentasikan hasil realita dengan sehingga dapat membantu dalam membuat keputusan. Mbowongo J dkk (2018) dalam penelitiannya, melakukan pemodelan menggunakan WASP7 untuk mensimulasikan dinamika nutrisi, DO, dan klorofil-a di DAS Shenandoah dengan melakukan analisis ketidakpastian untuk menguji kompleksitas variabel-variabel tersebut dalam estimasi kualitas air dan pengaruhnya terhadap Sungai Shenandoah. Hasil pengujian menunjukkan bahwa model mampu memprediksi nilai DO yang cenderung mendekati data terukur dan pentingnya suhu, aliran sungai, dan kecepatan dalam mempengaruhi kualitas air antara musim dan tingkatan yang berbeda dari DAS. Model WASP juga digunakan dalam penelitian Richter (2018), untuk memeriksa dampak air limbah IPAL ke hilir 4 sungai berdasarkan total nutrisi dan klorofil a prediksi dari model ini untuk menentukan seberapa jauh dampak hilir mungkin terjadi. Selain itu Huang dkk (2017), melakukan pemodelan menggunakan WASP7 dengan tujuan mendapatkan profil longitudinal DO untuk mengukur pergeseran kualitas air di bawah kondisi aliran sungai yang rendah di bagian perkotaan. Dari hasil simulasi diperoleh bahwa model mampu mengidentifikasi proses untuk pengembangan defisit DO dan memberikan perkiraan yang baik tentang metabolisme sungai. Sedangkan di Indonesia WASP telah digunakan dalam berbagai penelitian di antaranya Diansyukma dkk (2021), menggunakan model WASP untuk mengidentifikasi daya tampung beban pencemar parameter BOD di sub-DAS Karang Mumus, Samarinda.