Hasil Ringkasan
1 Bab I Pendahuluan Sejak pertengahan abad ke-20, kebutuhan akan alat yang dapat mengukur jumlah, ukuran, dan konsentrasi partikulat yang tersuspensi di dalam udara (aerosol) mulai meningkat (Batchelor, 1960). Saat itu, pengukuran, yang mana menggunakan aerosol sampler, utamanya adalah untuk mempelajari polusi udara akibat aktivitas industri dan mempelajari komposisi kimia/unsur hidup (Andersen, 1958) dan kandungan bahan radioaktif (Lockhart dkk. 1965) pada partikulat. Bahkan, hingga saat ini (Sadigh dkk. 2021), aerosol sampler dengan menggunakan impaksi bertingkat yang telah dikembangkan oleh Andersen (1958), masih digunakan. Untuk keperluan lebih praktis, Young dan Roberts (1951) telah menemukan cara untuk mengukur ukuran partikulat dengan lebih akurat dengan memodifikasi mikroskop optik (Flaying-spot microscope) dan menggunakannya untuk mengukur distribusi ukuran partikel. Walau demikian, metode pencitraan berbasis mikroskop tetap memerlukan penyampelan partikel ke dalam substrat atau kaca preparat. Keperluan pemantauan, misal untuk clean room, diperlukan alat yang dapat mengukur konsentrasi partikulat secara on-line. Martens dan Keller (1968) berhasil mengembangkan optical particle counter (OPC) untuk mengukur distribusi partikel. Dalam OPC, partikel dilewatkan ke daerah deteksi (viewing- volume). Sebuah sumber cahaya difokuskan pada daerah deteksi, sehingga ketika partikel melewati daerah tersebut ia menghamburkan cahaya. Jumlah dan ukuran partikel dihitung berdasarkan sinyal keluaran fotometer saat mendeteksi hamburan cahaya oleh partikel. I.1 Latar Belakang Hingga saat ini, masalah polusi udara masih tetap terus membayangi kehidupan manusia, sebab dapat berimbas pada kesehatan saluran pernapasan (Lestari dkk. 2003; Sahani dkk. 2014; Fujii dkk. 2015). Berdasarkan viability-nya, partikulat yang tersuspensi di udara (aerosol) terbagi menjadi dua jenis yaitu viabel (mengandung unsur hidup, disebut juga sebagai bioaerosol) dan tidak viabel (Batchelor, 1960). Bioaerosol bisa jadi jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan aerosol biasa, misalnya apabila unsur hidup yang terkandung dalam partikulat 2 adalah bakteri/virus patogen (Gollakota dkk. 2021). Selain bioaerosol, tidak kalah penting untuk diperhatikan adalah aerosol yang mengandung unsur radioaktif (aerosol radioaktif) baik akibat kecelakaan reaktor nuklir (Povinec dkk.